Irene Sokoy, perempuan hamil di Jayapura, meninggal bersama bayi yang dikandungnya pada (16/11) setelah gagal mendapatkan layanan medis darurat di empat rumah sakit. Kondisi Irene sudah kritis—ketuban pecah, pembukaan enam, dan napas tersengal—ketika keluarga membawa dirinya ke RSUD Yowari.
Namun setelah menunggu lebih dari dua jam, rumah sakit hanya memberikan rujukan karena kondisi dinilai memburuk dan bayi tidak turun ke jalan lahir.
Baca Juga: Negara yang Menggilas Anak-anaknya dan Duka yang Tak Pernah Dihitung
Di rumah sakit berikutnya, RS Dian Harapan, keluarga kembali ditolak karena ruang bersalin penuh dan dokter anestesi tidak tersedia. Rujukan ketiga, RSUD Abepura, juga tak dapat menangani karena ruang bersalin disebut sedang direnovasi. Dengan kondisi Irene yang semakin kritis, keluarga membawa Irene ke RS Bhayangkara. Namun di sana mereka diminta uang muka Rp4 juta untuk kamar VIP—satu-satunya ruang yang tersisa.
“Kami bilang tolong selamatkan dulu, urusan bayar nanti kami atur. Tapi tidak diterima,” kata Abraham Kabey, mertua Irene, kepada Jubi.id (21/11).
Suami Irene, Neil Castro Kabey, mengatakan keluarga hanya membawa uang di bawah Rp1 juta dan sepenuhnya mengandalkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Saat keluarga diarahkan kembali ke RSUD Jayapura, kondisi Irene semakin memburuk. Dalam perjalanan, mulutnya mengeluarkan busa, napas tersengal, dan ia mengalami kejang. Ketika kembali ke RS Bhayangkara, Irene dan bayinya tidak terselamatkan.
Keluarga kini mempertimbangkan langkah hukum. “Sudah sering kejadian seperti ini. Harus ada keadilan,” kata Neil.
Baca Juga: Kematian Ibu di Bandung: Utang, Kemiskinan, dan Beban Tak Terlihat Perempuan
Permintaan Maaf Gubernur dan Apakah Ini Cukup?
Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri, mendatangi keluarga Irene dan menyampaikan permintaan maaf. Ia menyebut kematian Irene sebagai “contoh kebobrokan pelayanan kesehatan di Papua” dan berjanji akan mengevaluasi seluruh rumah sakit serta membuka kemungkinan pergantian direksi RS. Ia juga mengakui banyak alat medis yang rusak karena tidak dikelola dengan baik.
Namun, data menunjukkan masalah ini jauh lebih struktural dan berlangsung lama. Papua memiliki angka kematian ibu tertinggi di Indonesia, sebanyak 565 per 100.000 kelahiran hidup, menurut data Badan Pusat Statistik (2020). Angka kematian bayi juga tertinggi nasional: 38,17 per 1.000 kelahiran hidup.
Angka-angka ini menggambarkan krisis sistemik yang tidak bisa dijawab dengan permintaan maaf semata.
Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, meminta investigasi menyeluruh terhadap rumah sakit yang terlibat.
“Rumah sakit tidak boleh menolak pasien dalam kondisi kritis, bahkan tanpa KTP sekalipun,” ujarnya, meminta Kementerian Kesehatan turun tangan, dikutip dari Antara, (24/11).
Baca Juga: Ethan Hunt Tak Butuh Konseling: Kesehatan Mental yang Absen di ‘Mission: Impossible’
Ia menilai kematian Irene bukan insiden tunggal, melainkan puncak gunung es dari lemahnya layanan maternal di Papua.
Dengan catatan buruk AKI dan AKB Papua selama bertahun-tahun, minimnya fasilitas, rujukan yang berbelit, serta absennya pengawasan efektif, pertanyaan besar muncul: Apakah permintaan maaf gubernur cukup ketika sistem yang lebih luas terus gagal melindungi perempuan dan bayi di Papua?
Tanpa investigasi independen, sanksi tegas, serta perbaikan struktural layanan kesehatan, risiko kematian seperti yang dialami Irene Sokoy akan terus menghantui para perempuan Papua lainnya.
















