December 5, 2025
#WaveForEquality Issues

Saat ‘Cinta’ Ibu Mencekikku: Dilarang Kerja, Hilang Percaya Diri 

Beberapa ibu kerap membatasi pilihan karier anak perempuan atas nama “kasih sayang”. Padahal ini justru bisa menghambat mereka mencapai impian.

  • April 29, 2025
  • 6 min read
  • 7301 Views
Saat ‘Cinta’ Ibu Mencekikku: Dilarang Kerja, Hilang Percaya Diri 

Enggak usah capek-capek ngurusin brand, kan cuma iseng aja. Nanti juga kamu nikah.” 

Sejak merintis bisnis pakaian pada 2013, “Dinda”, 32 sering mendengar kalimat yang diucapkan oleh ibunya itu. Menurut ibu Dinda, perempuan tak perlu berkarier dan kerja keras untuk meraih pencapaian. Sebab, ketika menjadi istri, perempuan akan dinafkahi oleh suami. 

Prinsip yang terus ibu Dinda tekankan pada anak, dilatarbelakangi oleh pengalamannya berumah tangga. Ibu Dinda merupakan ibu rumah tangga, sedangkan ayah Dinda satu-satunya pencari nafkah. Dalam pernikahan mereka, ayah Dinda pernah berselingkuh. Untuk menebus rasa bersalah, ayah Dinda melebihkan uang yang diberikan. 

“Makanya mama bilang, jadi perempuan yang penting bisa ngurus suami. Terus cari suami yang bisa menafkahi, biar kita cuma ngurus rumah tangga, dibantu PRT (Pekerja Rumah Tangga),” ujar Dinda. “Pokoknya perempuan tinggal kayak ratu.” 

Prinsip itu sempat menghambat Dinda berkarier. Selama sepuluh tahun, yang seharusnya bisa merilis dua puluh koleksi, brand pakaiannya hanya merilis lima koleksi. Padahal, brand Dinda pernah tampil di Jakarta Fashion Week, sehingga punya kesempatan lebih besar untuk terkenal jika terus dikembangkan. Namun, kekangan ibu membuat Dinda berhenti mengurus bisnis pakaian

“Aku enggak mau (berhenti ngurusin brand-nya),” kata Dinda. “Cuma aku capek (dengerin mama), jadi terpaksa mengiyakan omongannya.” 

Kejadian serupa kembali terjadi belakangan, saat Dinda mulai merintis bisnis toko kue. Ibunya menyarankan supaya Dinda cukup menjual kuenya secara daring. Sebab, bisnis yang dikerjakan hanya untuk hobi, bukan mencari penghasilan. 

Yang enggak ibunya ketahui, berbisnis pakaian dan toko kue adalah cita-cita Dinda. Keduanya merupakan bukti pencapaian, yang baru bisa Dinda kejar setelah menikah dua tahun lalu. 

Idealnya, ibu mendukung anak untuk meraih cita-cita. Namun, mengapa ini terjadi dalam relasi ibu dan anak perempuan? 

Baca Juga: Dear Bunda, Saya Tak Akan Pergi Ke Mana-mana 

Internalisasi Misogini Menghalangi Cita-cita Anak Perempuan 

Membatasi anak perempuan berkarier dan menyarankan agar bergantung pada laki-laki, adalah contoh internalisasi misogini oleh perempuan. Ketika menginternalisasi misogini, ia menganggap, seharusnya perempuan menjalankan peran gender tradisional. Bukan menantangnya dengan mencari nafkah dan berkarier. 

Pernyataan yang dijelaskan filsuf asal Denmark, Berit Brogaard dalam riset pada 2020 itu, menjelaskan mengapa perempuan cenderung enggak suka dengan perempuan lain, yang “menantang” peran gender tradisional. Mereka juga menolak memperjuangkan hak-hak kesetaraan, karena meyakini perempuan lebih inferior daripada laki-laki. 

Fenomena ini kerap terjadi pada perempuan yang lebih tua, karena seumur hidupnya mengalami perlakuan seksis. Karenanya, mereka mengkritisi perempuan muda yang punya ambisi dan tak lagi fokus pada pekerjaan domestik.  

Dalam relasi ibu dan anak perempuan, ibu jadi memosisikan pencapaian anak tak ada artinya. Toh mencari nafkah adalah tanggung jawab suami. Tugas perempuan sebagai istri, adalah mendampingi suami dan mengurus rumah tangga. 

Masalahnya, internalisasi misogini di kalangan perempuan ini bisa merusak lingkungan dan relasi, serta menyakiti orang lain. Dinda, misalnya, yang sempat takut kembali mengembangkan bisnis. 

“Aku keburu negative thinking dan mempertanyakan kemampuanku,” cerita Dinda. “Kayaknya susah deh bikin usaha, mempekerjakan karyawan. Kata mama, tanggung jawabnya besar.” 

Merujuk pada Girls, Women, and Internalized Sexism (2014) oleh akademisi asal AS, Steve Bearman dan Marielle Amrhein, ketakutan Dinda merupakan conoth dari ketidakberdayaan yang diinternalisasi perempuan akibat misogini. 

Pada tipe internalisasi ini, perempuan percaya kemampuannya terbatas. Padahal, mereka punya kapabilitas yang mumpuni. Namun, sistem patriarki membuat perempuan sering diinvalidasi, sehingga mereka mendiskreditkan pemikiran dan pencapaiannya sendiri. 

Sebenarnya, dampak internalisasi misogini bukan hanya pada kondisi mental perempuan, melainkan mempertahankan posisi perempuan di masyarakat sebagai warga kelas dua. Sementara laki-laki tetap menjalankan peran sebagai pencari nafkah, dan lebih sedikit berkontribusi dalam tugas pengasuhan—yang dianggap sebagai tanggung jawab perempuan. 

Contohnya di kalangan ibu, yang kehilangan diri karena memprioritaskan diri untuk keluarga. Biasanya, mereka meninggalkan pekerjaan atau mengurangi jam kerjanya demi mengurus anak-anak. Bahkan lebih mengutamakan karier pasangannya, seperti dicatat oleh Deloitte dalam survei Women @ Work 2023: A Global Outlook. Akibatnya, perempuan cenderung mendapatkan pekerjaan yang tidak stabil dan berpenghasilan rendah. Membuat perempuan minim harapan memiliki karier yang lebih baik. 

Jika terus dilanggengkan, ruang gerak perempuan akan semakin terbatas. Karena itu, kita perlu mendobrak internalisasi misogini. Di antaranya dengan learn and unlearn fenomena ini, dan membentuk support system. 

Baca Juga: Apa itu ‘Collective Care’: Saling Jaga Warga di Tengah Rezim yang Menekan

Pentingnya Support System 

Dalam berkarier dan meraih pencapaian, peran ibu sebagai support system adalah hal yang signifikan. “Rena”, 25 mengalami ini. Sejak kecil, ibu Rena selalu mendukungnya untuk berkarya. Melihat Rena suka menulis dan bercerita, ibu Rena mendaftarkan lomba menulis cerita pendek dan storytelling. 

Setelah Rena dewasa, ibunya juga yang mendorong untuk melanjutkan pendidikan S3, dan mengingatkan supaya enggak berhenti kerja jika sudah punya anak. 

“Buatku, itu dukungan nyokap yang paling konkret,” katanya. 

Rena mengatakan, ibunya begitu suportif karena pengalaman waktu kecil, setelah kakek Rena meninggal. Waktu itu, nenek Rena yang tak bekerja hanya bergantung pada uang pensiunan suaminya. Lalu, ibu Rena juga melihat banyak perempuan yang enggak punya apa pun, pasca-diselingkuhi dan bercerai dengan pasangan. 

Perempuan yang bekerja sebagai jurnalis itu menyadari, dukungan dari ibu adalah privilese, yang Rena jadikan fondasi untuk mengeksplorasi karier dan mengambil berbagai pilihan dalam hidup—meski ia akan segera berkeluarga. Sebab, tak semua ibu bisa memberikan waktu, kebebasan, dan pengertian pada anak perempuannya. 

“Sempat takut kalau punya anak nanti, hidupku akan 100 persen untuk berkeluarga,” ujar Rena. “Tapi kalau ngeliat ibu dan ibu mertua yang berkarier, ketakutan itu lumayan berkurang.” 

Untuk melawan internalisasi misogini, sebenarnya bukan hanya dukungan ibu yang diperlukan. Terlebih jika hubungan antara ibu dan anak lebih kompleks, atau ibu menginternalisasi misogini. 

Bagi Dinda, dukungan suami, ayah, dan teman-teman menjadi kunci untuk berkarier dan mengejar berbagai keinginan. Suami Dinda berperan sebagai teman bertukar pikiran, karena ia masih punya ketakutan dan meragukan diri sendiri ketika menjalankan bisnis. Ayah Dinda lebih memerhatikan detail dan kebersihan toko kue. Sedangkan teman-teman Dinda, membantunya mengeksplorasi passion—antara fashion dan toko kue. 

Baca Juga: Andai Jadi Ibu, Ini yang Takkan Saya Lakukan pada Anak 

Namun, di luar support system, kembali belajar soal internalisasi misogini juga tak kalah penting. Dalam riset yang sama, Bearman dan Amrhein menyebutkan beberapa cara yang bisa dilakukan. 

Pertama, memvalidasi perempuan dan menanggapi perasaan mereka dengan serius. Kedua, mendorong perempuan untuk percaya diri dengan pemikirannya dan mau bersuara. Ketiga, mengharapkan perempuan untuk memprioritaskan dirinya sendiri. Keempat, mendorong perempuan sebagai pemimpin. Kelima, tidak mengkritik dan meremehkan perempuan. Dan keenam, mendukung perempuan untuk saling bekerja sama. 

Dengan menciptakan support system dan mendukung perempuan lewat beberapa cara tersebut, harapannya perempuan bisa melepaskan internalisasi misogini dan berani mengejar impiannya. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply