Lima Rekomendasi Buku yang Wajib Kamu Baca soal Tragedi 1998
Kenapa Tragedi 1998 termasuk pelanggaran HAM yang masih belum dapat titik terang? Lima buku ini akan membantu menunutunmu memahaminya.
1998 adalah tahun mencekam. Rangkaian peristiwa yang kemudian berbekas jadi catatan kelam sejarah bangsa ini terjadi bergiliran. Mulai dari aksi penjarahan dan kerusuhan, pemerkosaan masal, insiden Trisakti dan Semanggi, hingga penghilangan paksa para aktivis menjadi realitas sejarah yang mengiringi akhir era Orde Baru.
Saat itu kondisi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Krisis moneter 1997 memicu inflasi gila-gilaan hingga menimbulkan gelombang massif pengangguran dan semakin memperdalam jurang kemiskinan. Bukannya menyelesaikan permasalahan ini pemerintah di kepemimpinan Presiden Soeharto justru sibuk menggendutkan kantong sendiri. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela hingga para pejabat itu tak punya ruang lagi untuk memikirkan rakyatnya lagi.
Tentu saja masyarakat Indonesia marah akan situasi ini. Rangkaian unjuk rasa di sejumlah wilayah di Indonesia pun dimulai, namun saat empat mahasiswa Trisakti tewas diberondong peluru panas aparat, panas emosi masyarakat semakin bertambah. Kerusuhan akhirnya tidak dapat terhindarkan.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Presiden BJ Habbie menyatakan ada 1.190 orang terenggut nyawanya di Jakarta akibat peristiwa ini. Dari jumlah tersebut, 27 di antaranya meninggal karena senjata, sementara sisanya akibat terbakar. Sedangkan berdasarkan hasil pengumpulan dan verifikasi data, sebanyak 85 perempuan mengalami tindak kekerasan seksual, 52 di antaranya adalah kasus pemerkosaan dengan sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa.
Tragedi ini menyisakan beban sejarah. Meski sudah lewat dua dekade, kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang telah merenggut banyak nyawa dan menorehkan trauma besar pada korban serta keluarganya belum juga mendapat titik terang. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memasukan tragedi ini dalam peringatan September Hitam.
Demi merawat ingatan, Magdalene merekomendasikan kepada para pembaca lima buku baik fiksi ataupun nonfiksi terkait tragedi 1998. Harapannya dari buku-buku ini kita bisa terus merajut asa dan mendorong keadilan bagi korban serta penyintas.
Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja
1. Laut Bercerita oleh Leila S. Chudori
Buku yang satu ini sudah banyak sekali direkomendasikan para pecinta buku tanah air. Berbagai diskusi buku hingga penayangan film pendeknya yang dibintangi Reza Rahardian selalu penuh peserta. Tentu, kepopulerannya bukan tanpa sebab.
Berdasarkan riset mendalam dan wawancara bersama eks aktivis yang berhasil “dipulangkan”, Leila yang merupakan mantan wartawan Tempo menelurkan novel fiksi sejarah tentang penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi pada 1997 – 1998.
Sampai saat ini, masih ada 13 orang aktivis yang tidak diketahui keberadaannya. Salah satu di antaranya adalah Wiji Thukul, penyair yang dikenal kerap mengkritik keras rezim Orde Baru. Dalam Laut Bercerita, Leila menceritakan sosok Biru Laut, mahasiswa yang kala itu menjadi korban penghilangan oleh rezim represif Orde Baru.
Leila membagi novel ini menjadi dua bagian cerita. Pada bagian pertama, pembaca akan mendengar cerita dari sudut pandang Biru Laut tentang “pemberontakan” ia dan teman-teman sebaya pada negara. Hal yang kemudian membuat Laut harus menerima berbagai kekerasan oleh para aparatur negara.
Pada bagian kedua, cerita dilanjutkan oleh sudut pandang Asmara Jati, adik Laut. Dalam sudut pandang Asmara, pembaca bisa merasakan rasa sesak, hampa, beserta kesedihan berlarut yang dialami Asmara bersama ibu dan ayahnya pasca kehilangan Laut. Di sinilah pembaca diajak untuk memahami perasaan keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa yang kemudian selama 17 tahun tetap setia melakukan Aksi Kamisan di depan istana presiden.
Baca Juga: Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri
2. Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman oleh Afifah Afra
Tahun 1998 menyimpan memori kelam kebencian dan kekerasan rasial terhadap warga Tionghoa terutama para perempuannya. Dalam panasnya situasi politik kala itu, perempuan Tionghoa menjadi sasaran target kekerasan seksual. Dalam novel fiksi sejarah ini, Afifah Afra berusaha merawat ingatan pembaca soal pemerkosaan massal yang hingga kini tak jua dapat titik terang.
Novel ini bercerita soal Mei Hwa, gadis keturunan Tionghoa, mahasiswa kedokteran diperingatkan oleh keluarganya untuk tidak pulang ke Jakarta. Namun, ia nekat karena merasa situasi aman-aman saja. Tak disangka sesampainya di Jakarta, yang ia temui hanya luka dan trauma. Karena sentimen rasial ketika itu, rumah Mei Hwa dijarah massa.
Abangnya entah hilang ke mana, ayahnya jadi gila, dan ibunya mati bunuh diri. Mei Hwa sendiri juga mengalami kekerasan seksual. Kekerasan sistematis yang kala itu memang secara spesifik menyasar para perempuan Tionghoa.
Dalam kondisi pingsan, Mei Hwa dibawa ke rumah sakit jiwa. Saat ia terjebak dalam keterpurukan, Mei Hwa justru bertemu Sekar Ayu. Dia adalah perempuan pelintas zaman yang terus berjuang hidup pasca-mengalami berbagai kekerasan seksual selama masa penjajahan Jepang hingga peristiwa berdarah Tragedi 65. Bersamanya, Mei Hwa berbagi kisah yang perlahan menyemaikan semangat pada hati gadis Tionghoa ini.
3. Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan oleh Dewi Hanggraeni
Menyusul novel fiksi terkait pemerkosaan massal 1998, Magdalene juga ingin merekomendasikan buku non fiksi terkait untuk memberikan konteks lebih dalam terkait peristiwa ini. Dewi Hanggraeni sebagai penulis mengungkapkan Kerusuhan Mei 1998 merupakan hasil rekayasa pihak-pihak berkepentingan yang sengaja memanfaatkan krisis ekonomi, kondisi sosial politik, dan sentimen rasial yang sudah ada saat itu.
Etnis Tionghoa jadi sasaran empuk dalam rencana besar ini karena mereka mudah diidentifikasi secara fisik dan biasanya tinggal berkelompok dalam permukiman tertentu. Menurut catatan dan penelusuran Dewi, etnis Tionghoa dijadikan kelompok target yang layak untuk dicurigai dan hal ini telah disiapkan selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru berjalan. Perempuan Tionghoa dalam hal ini kemudian jadi target kekerasan seksual.
Tidak hanya di Jakarta, pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa juga terjadi di beberapa kota seperti Palembang, Medan, Solo, dan Surabaya. Pada 16 Juni 1998, sejumlah aktivis membentuk koalisi Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Mereka menginisiasi kampanye terkait pertanggungjawaban negara terhadap kasus kekerasan yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998.
Pada 15 Juli mereka Presiden Habibie. Dari hasil dari pertemuan itu, Habibie membentuk Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kerusuhan Mei, termasuk dugaan terjadinya perkosaan massal sewaktu peristiwa tersebut. Hasil temuan mengungkap terjadinya kasus sistemik kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998.
Berangkat dari temuan tersebut, Habibie meminta usulan solusi kepada tokoh perempuan Saparinah Sadli. Tokoh perempuan ini lantas mengusulkan pembentukan sebuah Komisi Nasional yang fokus pada isu perempuan yang kemudian kita kenal sebagai Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan.
Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah
4. Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 oleh Muhidin M. Dahlan
Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 adalah buku wajib yang setidaknya perlu dibaca dalam memahami penguburan sejarah terkait penculikan para aktivis para aktivis 1997-1998. Berisi dokumentasi dan arsip sejarah 1998, buku setebal 518 halaman adalah sumber berharga untuk memahami sejarah tanpa campur tangan bias pemerintah.
Buku ini dibagi dibagi lima babak yang dimulai dari perkenalan tokoh utama yang di antaranya tokoh militer terkenal yang terlibat, masalah dan alasan-alasan kenapa kekerasan ini terjadi, jalan cerita dari tokoh, dan ditutup oleh proses pengadilan. Nama calon presiden Prabowo Subianto tak luput disebut dalam karya Gus Muh.
Sebab, saat kekerasan itu terjadi, Prabowo menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus). Penyebutan nama Prabowo di dalam bukunya ini sempat dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu) oleh kelompok advokat LISAN, (12/2). Ketua Umum LISAN Hendarsam Mantoko menyebut pria yang akrab disapa Gus Muh itu telah melakukan kampanye hitam.
Namun, tidak hanya menyajikan soal pemberitaan mengenai Prabowo Subianto, buku ini juga menceritakan perjuangan Munir Said Thalib, pembela HAM yang dibunuh oleh negara dengan racun arsenik. Dalam buku tersebut, terdapat penggalan arsip dan dokumentasi keberanian Munir dalam mengungkap kebenaran dan mengadvokasi kasus Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Keberanian yang membuatnya mendirikan organisasi bersama keluarga korban penghilangan paksa, yaitu Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
5. Notasi oleh Nora Quatro
Buku terakhir untuk menutup rekomendasi ini adalah novel fiksi sejarah karya Nora Quantro yang terbit pada 2013 silam. Bercerita tentang Nino, mahasiswa Teknik Elektro dan Nalia mahasiswa kedokteran gigi dari kampus ternama di Jogja, UGM, novel ini menjadikan cerita Kerusuhan dan Reformasi 1998 sebagai poros utama ceritanya.
Pada awalnya Nino dan Nalia dipertemukan karena urusan BEM yang saling bersaing memperebutkan suara pemilihan ketua BEM universitas mereka. Di tengah perseteruan mereka, masalah besar mulai muncul saat terjadi penembakan di perhelatan karya tulis di Fakultas Kedokteran yang memang salah satunya ada yang mengkritik pemerintahan zaman Orde Baru.
Pasca penembakan itu, situasi semakin mencekam. Mahasiswa yang berseteru perkara urusan internal mereka akhirnya bersatu untuk turun ke jalan melakukan demo besar-besaran, dengan tujuan menuntut keadilan pada rezim Soeharto. Nino dan Nalia menjadi bagian dari mahasiswa yang bergerak menuntut keadilan. Selain melakukan demo, mereka juga memanfaatkan Radio Jawara FM, milik Fakultas Teknik Elektro untuk menjadi sarana menyuarakan perlawanan kepada para penguasa saat itu.
Saat demonstrasi besar-besaran itu, para mahasiswa jadi korban penembakan gas air mata dan tembakan para penembak jitu. Nino yang sempat pamit melakukan aksi kembali bersama teman-temannya jadi korban. Ia menghilang dan tak pernah kembali.