Islam dan WHO, Melepas Belenggu Transgender
Alquran mengakomodasi transgender dan tidak sekali pun memerintahkan muslim untuk menyakiti dan mendiskriminasinya.
Senin, 18 Juni lalu, merupakan hari bersejarah bagi kelompok transgender sedunia. Pada hari itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak lagi menggolongkan transgender sebagai “penyakit mental” dalam daftar International Classification of Diseases (ICD).
Transgender adalah situasi personal seseorang yang jenis kelaminnya tidak sesuai dengan pengalaman personal gendernya. Jika Anda memiliki penis namun merasa sebagai perempuan, dan Anda mengekspresikan perasaan itu secara publik melalui, misalnya, cara berpakaian dan bertingkah laku, maka Anda bisa dikatakan trangender. Ini berlaku juga bagi perempuan yang merasa dirinya laki-laki. Saya memiliki puluhan teman seperti ini.
Dulu mereka dianggap terjangkiti penyakit. Itu sebabnya mereka diperlukan layaknya pesakitan dan dipaksa “sembuh” sesuai jenis kelaminnya. Yang paling nyata, perlakuan semacam ini pernah didemonstrasikan Kepolisian Aceh Utara beberapa waktu lalu. Setelah menggerebek dan menangkapi 12 waria, kepolisian memaksa mereka “sembuh”, salah satunya dengan memotong rambut mereka sampai cepak dan “melatih mereka” menjadi laki-laki kembali.
Atas status baru WHO ini, kita patut bersyukur setelah sebelumnya homoseksualitas juga dinyatakan bukan sebagai penyakit mental oleh organisasi yang sama pada 1992. WHO memerlukan waktu 19 tahun untuk menindaklanjuti hasil pemungutan suara Asosiasi Psikiater Amerika (APA) pada 1973 menyangkut apakah homoseksualitas tetap digolongkan sebagai gangguan kejiwaan atau tidak. Sebanyak 5,854 psikiater yang hadir menolak dan 3,810 lainnya setuju.
Sungguhpun keputusan WHO menyangkut transgender diharapkan mampu mengakhiri persekusi serta mendorong munculnya kebijakan yang lebih manusiawi, namun tetap saja hal ini tidak mudah, terutama bagi orang yang tidak didik kritis dalam memahami agama.
Dalam komunitas muslim Indonesia, transgender ditempatkan dalam strata sosial yang sedemikian rendah. Terbukti dengan sangat sedikit transgender yang terakomodasi di jabatan-jabatan publik. Sangat mungkin ini merupakan dampak dari cara pandang yang menganggap kelompok transgender sebagai aib dan penyakit. Kenapa bisa demikian? Jawabannya mungkin agak panjang.
Dalam atmosfer peradaban patriarkal, di mana lelaki dan penis adalah atribut yang maha penting, transgender perempuan atau transpuan dianggap sebagai pengkhianatan serius terhadap kelelakian. Laki-laki yang berperilaku perempuan diasumsikan tengah mempermalukan dunia kelelakian secara kolektif.
Menjadi atau dijadikan perempuan adalah upaya mempermalukan diri yang tidak ada bandingannya. Dalam tradisi kuno, merudapaksa atau memerkosa laki-laki dianggap sebagai tindakan yang merenggut kelelakian korban. Si korban tidak pantas lagi hidup sebagai laki-laki. Dalam dunia Arab masa lalu, menurut Khaled El-Rouayheb dalam Before Homosexuality in the Arab-Islamic World, 1500-1800, dikenal semacam semboyan dalam militer saat akan menghadapi musuh: “yu’annithu al-buhm al- dhukur,” artinya “membuat musuh mengalami menstruasi.” Menstruasi adalah istilah yang dipinjam dari perempuan dan merujuk pada keluarnya darah dari anus karena diperkosa.
Laki-laki juga tak jarang merasa jijik terhadap perempuan yang menjadi pria (trans laki-laki atau priawan). Perempuan semacam ini dianggap mengotori harga diri laki-laki karena kuatnya kredo “no penis no man.” Di sisi lain, laki-laki heteroseksual juga merasa tidak rela bersaing memperebutkan perempuan dengan priawan, serta benci karena tidak bisa mencintai priawan itu sendiri.
Kuasa Pengetahuan Agama
Konstruksi heteronormativitas-patriarki ini selanjutnya didedahkan melalui berbagai cara, salah satunya adalah melalui kuasa pengetahuan agama. Alquran sejatinya mengidentifikasi keberadaan transgender, setidaknya menurut penjelasan Abu A’la al-Maududi terkait Surat Annur ayat 31 dalam Tafhim al-Qur’an. Namun hal ini tidak pernah diajarkan ke publik dengan semangat mengapresiasi keragaman identitas. Alih-alih, di tangan para agamawan yang memiliki transfobia, kitab suci ini disampaikan dengan nalar koruptif, meneguhkan ketakutan mereka terhadap kelompok transgender. Cara pandang ini sangat berbahaya karena menanamkan kebencian.
Nalar ini selanjutnya dipakai memprovokasi umat untuk membenci transgender dengan menggunakan hadis-hadis yang ditautkan kepada Nabi Muhammad. Padahal Nabi sendiri justru teridentifikasi memperkerjakan seorang waria bernama Hit untuk membantu Umm Salama, salah satu istrinya. Atau setidaknya membiarkan Hit berkawan dengannya.
Pada suatu hari, Hit, Umm Salamah, dan Abdullah bin abi Umaiyah sedang mengobrol di rumah Umm Salamah. Mendengar Abdullah akan ikut perang merebut kota Thaif, Hit berkata kepada Abdullah agar menemui anak perempuan Ghilan yang terkenal bertubuh aduhai. Tak lupa Hit menggambarkan kemolekan tubuh perempuan itu. Sangat mungkin Hit ingin menjodohkan Abdullah dengan putri Ghilan.
Rupanya Nabi mendengar obrolan tersebut, terutama pada bagian deskripsi kemolekan. Nabi kemudian meminta Hit agar tidak lagi ke rumah Umm Salamah. Hadis panjang ini diceritakan sendiri oleh Ummu Salamah dan juga oleh Aisyah serta tercatat dalam beberapa kitab hadis kanonik Sunni, misalnya Sahih Bukhari dan Sunan Abu Dawud.
Tumpulnya sikap kritis terhadap sumber hukum menyebabkan menguatnya kepatuhan tanpa syarat terhadap apa pun yang disebut hadis.
Hadis tentang Hit ini merupakan satu-satunya hadis yang memberikan kita gambaran tentang konteks peristiwa lebih detail melalui topangan cerita dari dua orang yang hidup sezaman dengan Nabi dan saling kenal (Aisyah dan Umm Salamah). Itu sebabnya akurasi dan validitas cerita ini bisa dikatakan tinggi kerena disampaikan lebih dari satu jalur (isnad).
Lantas, kenapa Hit diusir? Menurut saya, jelas bukan karena identitasnya sebagai waria, sebab Nabi sejak awal memperbolehkan istrinya bergaul dengan waria. Apalagi laki-laki tanpa hasrat seksual seperti Hit sering kali dijadikan asisten rumah tangga, sebagaimana disitir Surat Annur ayat 31.
Sangat mungkin ia diusir karena keceplosan membincang kemolekan putri Ghailan di mana hal itu dianggap tidak pantas disampaikan. Hipotesis saya, dengan pendeskripsian Hit tersebut, Nabi menduga dia masih mempunyai hasrat seksual terhadap perempuan — suatu hal yang bertentangan dengan persepsi publik tentang Hit yang homoseksual. Hipotesis lain, kemungkinan Nabi tidak ingin hal personal menyangkut Umm Salamah nantinya juga akan diumbar ke publik oleh Hit, seperti halnya anak perempuan Ghilan.
Menjadi penting juga untuk diketahui, di kitab Sahih Bukhari, Ibn Abbas juga pernah mengeluarkan hadis yang berisi informasi pengusiran Nabi dan Umar terhadap waria. Namun tidak dijelaskan secara rinci peristiwanya.
Narrated Ibn `Abbas:
The Prophet cursed the effeminate men and those women who assume the similitude (manners) of men. He also said, “Turn them out of your houses.” He turned such-and-such person out, and `Umar also turned out such-and-such person. — Sahih al-Bukhari 5886
Sangat mungkin hadis tersebut merupakan potongan episode dari peristiwa Hit. Jika benar demikian, Ibn Abbas telah menghilangkan konteks peristiwanya sehingga berpotensi dipahami melebihi maksud yang sebenarnya.
Akibat hadis yang terpotong ini, Hit yang terusir karena diragukan homoseksualitasnya, gara-gara mendeskripsikan kemolekan putri Ghilan, selanjutnya dipersepsikan secara salah oleh banyak umat Islam. Mereka meyakini Nabi membenci transgender.
Hadits ini kemudian semakin viral karena dinarasikan ulang oleh Ikrima, budak Ibn Abbas, hingga tercatat dalam beberapa kitab hadis. Namun yang menarik, Bukhari dan Muslim tidak mau mencatatnya karena menganggap Ikrima memiliki problem kredibilitas sebagai penarasi hadis. Kedua orang ini hanya mengakomodasi cerita Ikrima sepanjang diperkuat oleh penarasi hadis lain yang memiliki kredibilitas tinggi, sebagaimana disampaikan al-Jaziri (w. 833) dalam Ghayat al-Nihayah.
Sikap Kritis Kita
Mengingat pentingnya posisi hadis sebagai sumber kehidupan sekaligus hukum bagi umat Islam, maka seyogianya setiap orang bisa bersikap hati-hati terhadap apa pun yang diklasifikasikan sebagai hadis. Sayangnya, menurut tulisan Jonathan AC Brown, Even If It’s Not True It’s True: Using Unreliable Hadīths in Sunni Islam (2011), komunitas Islam Sunni — mayoritas di Indonesia — memiliki kecenderungan lebih longgar mengakomodasi hadis bahkan terhadap yang statusnya masih diragukan sekalipun.
Tumpulnya sikap kritis terhadap sumber hukum menyebabkan menguatnya kepatuhan tanpa syarat terhadap apa pun yang disebut hadis. Padahal jika mau jujur, hadis-hadis yang punya derajat validitas tertinggi (mutawattir) jumlahnya sangat sedikit, tidak sampai seratus dari puluhan ribu hadis yang beredar.
Hadis-hadis mutawattir sendiri harus lolos ujian utama, yakni tidak boleh bertentangan dengan Alquran sebagai sumber hukum tertinggi. Jika bertentangan maka status hadis tersebut layak dipertanyakan. Sebagaimana Allah sendiri sudah menyatakan dalam Surat Alhujurat ayat 43-46 bahwa Dia akan menghukum Nabi Muhammad jika menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan Alquran.
Mungkin itu sebabnya Nabi kabarnya pernah mewanti-wanti agar para sahabat mencukupkan dengan Alquran dan tidak perlu menuliskan hadis. Sangat mungkin karena Nabi khawatir akan ada kontradiksi antara Alquran dan tulisan yang diklaim sebagai bagian dari Nabi.
Oleh sebab itu, kembali ke isu transgender, Alquran mengakomodasinya dan tidak sekali pun memerintahkan muslim untuk menyakiti dan mendiskriminasinya. Sebab transgender secara konseptual adalah manusia seutuhnya yang memiliki perbedaan dengan yang lain.
Alquran secara eksplisit tidak memasukkan transgender sebagai kondisi kejahatan (evil/munkar) yang harus dikoreksi. Justru kemunkaran yang sesungguhnya adalah mereka yang memaksakan kehendak mendiskriminasi transgender atas nama ajaran Islam dengan membawa-bawa nama Allah dan Nabi Muhammad.
Aan Anshori adalah penggerak GUSDURian dan mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.