Jangan Berbasa-basi dengan 6 Pertanyaan Ini
Ada hal-hal yang kalau ditanyakan pada orang lain jadi B3: Basa-basi busuk.
Orang Indonesia terkenal dengan budaya basa-basinya yang melegenda. Saking fardhu ain-nya, basa-basi bahkan sudah diajarkan oleh ibu saya sejak saya kecil. Budaya basa-basi yang kurang penting ini akhirnya memuncul istilah B3 alias basa-basi busuk sebagai sebuah ekspresi ketika orang sudah muak dengan basa-basi orang lain.
Dari tahun ke tahun menghadiri acara halal bi halal keluarga besar, saya sering mengamati bagaimana orang-orang di sekitar saya, termasuk Oom dan Tante, melakukan basa-basi. Saya melihat adegan per adegan pertemuan keluarga, bagaimana basa-basi Oom dan Tante malah membuat orang risi dan gelisah.
Kondisi terkini pun semakin memperkuat argumen saya soal pertanyaan basa-basi yang sebaiknya tidak kita tanyakan pada orang sekitar. Akibat pandemi COVID-19, tatanan sosial di masyarakat pun berubah, mulai dari banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena PHK, bisnis yang tutup, dan segala macam acara yang harus tertunda dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.
Maka itu mulai hari ini, enam pertanyaan ini sebaiknya kamu hindari untuk ditanyakan kepada orang lain dalam percakapan sehari-hari.
-
Sudah lulus apa belum?
Bagi mahasiswa angkatan 2016 ke atas, pertanyaan “kapan kamu lulus?” benar-benar membuat mereka semakin tertekan secara mental. Gara-gara COVID-19, tugas akhir mahasiswa harus tertunda karena perencanaan penelitian yang buyar akibat aturan di rumah saja.
Itu baru derita dari sisi mahasiswa angkatan akhir. Untuk mahasiswa angkatan bawahnya, saat ini mereka harus berhadapan dengan kelas-kelas online yang bisa non-stop seharian. Belum lagi untuk mahasiswa yang rumahnya sulit jaringan internet, atau bahkan tidak ada uang untuk membeli pulsa internet. Yah, boro-boro memikirkan kelulusan, mikirin besok pulsa internet masih cukup atau enggak saja sudah bikin ndas mumet.
Jadi, tolonglah Om, Tante, Kakak-kakak sepupu dan tetangga sebelah rumah yang “peduli” sama kondisi kelulusan mahasiswa, bayarin pulsa internet kami juga dong, kalau memang peduli.
Baca juga: Refleksi Setelah Lebaran: Konsisten Menjadi Diri Sendiri
-
Pekerjaan
Bagi kamu yang baru lulus di tahun 2019 akhir dan 2020, selamat datang di belantara bursa kerja. Kejutannya: Mencari kerja semakin susah akibat si biang kerok terbaik tahun ini, COVID-19.
Jangankan mencari pekerjaan dengan gaji mepet upah minimum regional, yang berstatus karyawan saja sulit minta ampun mempertahankan pekerjaannya. Beberapa teman saya belakangan sudah menulis twit, “Aduh deg-degan setiap liat email masuk” karena kantor mereka sedang memangkas karyawan besar-besaran demi efisiensi.
Dilansir CNBC Indonesia, Sekretaris Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Sosiwijiono Moegiarso mengatakan bahwa sebanyak 3,05 juta pekerja di Indonesia mengalami PHK dan dirumahkan akibat wabah COVID-19. Bayangkan, seperti apa padatnya bursa kerja saat ini dan minimnya lapangan pekerjaan.
Jadi, daripada bertanya “Kamu kok belum kerja, sih? Ayo dong, semangat cari kerjanya dan tetap stay positive”. Mending bagi-bagi info soal pekerjaan atau mungkin mau jadi donor kebutuhan sehari-hari orang yang sedang sulit cari kerja.
-
Agama
Ini sih pertanyaan super-kepo yang menjadi favorit sebagian masyarakat Indonesia. Kok tahu? Coba saja kamu ketik nama aktor di Google, saya pastikan pertanyaan terbanyak ketiga yang dicari adalah soal agama.
Saya jadi ingat sebuah video dari seorang komika Indonesia, Yudha Keling, yang mempertanyakan “Kenapa sih orang enggak santai kalau ditanya agama mereka?”. Jawabannya sederhana, ya bukan urusan orang juga, sih.
Walaupun saya seorang muslim, jika ditanya agama, saya pun juga sering mengernyitkan dahi karena sering kali buntutnya suka mengezutkan: “Oh, saya kira non-muslim, soalnya mukanya terlihat non-muslim.” Eh punten, bagaimana? Muka non-muslim itu kayak apa, ya?
Baca juga: Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda
Saya jadi membayangkan, bagaimana dengan teman-teman saya yang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah. Kalau orang-orang tahu soal kepercayaannya, bisa-bisa satu kampung mengusir mereka, bahkan bisa saja nyawa mereka terancam.
Jikapun kamu memang sudah selesai dengan segala prasangka terhadap agama-agama mayoritas dan minoritas di sekitarmu, ya tetap saja, lebih baik tanya hal lain.
-
Status pernikahan
Biasanya, ini memang menjadi salah satu topik basa-basi favorit yang jamak ditemukan. Saya pikir saat pandemi ini pertanyaan itu bakal masuk kotak, ternyata saya salah. Meski banyak pesta pernikahan bubar akibat wabah, saya dan beberapa teman masih menerima pertanyaan soal menikah ini. Pakai embel-embel COVID-19 pula, yang membuat pesta pernikahan jadi enggak ribet karena enggak perlu mengundang banyak orang.
Saya enggak habis pikir, kenapa masyarakat giat mendorong orang-orang single buat menikah meski tanpa persiapan tapi lepas tangan saat kerabat dan teman mereka kena KDRT?
Tolonglah, kami enggak perlu tim hore agar kami cepat menikah. Seandainya kami menikah, lalu bercerai, kalian juga kan yang nyinyir di belakang?
Kembali ke pertanyaan soal status pernikahan, ini juga jadi sensitif kalau ternyata yang ditanya sudah bercerai. Ada yang masih trauma karenanya, atau juga malas bercerita karena pasti kemudian ditanya sebabnya dan itu berarti membuka luka lama.
-
Soal Anak
Pertama-tama, saya ucapkan selamat bagi teman-teman sekalian yang tahun ini akhirnya memutuskan untuk membangun rumah tangga bersama pasangan. Selamat juga ya, buat Kak Tara Basro dan Kak Daniel Adnan, sebentar lagi pertanyaan ultimate untuk pasutri baru akan segera kalian terima: “Kapan punya momongan? Jangan lama-lama, loh. Enggak baik,”
Baca juga: Alasan Sebenarnya Orang Gemar Lecehkan Lajang
Kalau sudah punya anak satu, pertanyaan akan naik level: “Kapan si kakak dikasih adik? Kasian main sendirian terus. Nanti bisa jadi anak manja juga.”
Masya Allah! Si kakak sering kali belum dua tahun, pasangan (terutama ibunya) masih kelelahan, dan kondisi keuangan juga mungkin belum mencukupi, tapi sudah ditodong pertanyaan macam itu.
Terkadang, orang-orang bertanya dengan entengnya tanpa berpikir apa saja tantangan yang bakal dihadapi si pasangan. Padahal, barang kali mereka yang bertanya pun sedang susah membayar uang sekolah atau membeli susu untuk anaknya sendiri.
Demi menjaga kewarasan selama pembatasan sosial saat ini, dan juga meningkatkan rasa empati terhadap orang tua di luar sana, yuk, kita hapuskan pertanyaan basa-basi, “Kapan punya anak?”.
-
Berat badan
Setelah tiga bulan tidak kumpul-kumpul dengan teman tongkrongan, temanmu memutuskan untuk mengadakan pertemuan online lewat Zoom. Karena sudah lama tidak bertemu secara langsung, hal yang ditanyakan pertama kali adalah “Wah kurusan ya lo. Diet, ya?” atau “Wah, di rumah terus jadi gemukan, makan terus ya?”.
Pada kenyataannya, mungkin saja berat badanmu sedang turun atau bertambah karena hormon dan juga stres akibat perubahan-perubahan yang terjadi selama pandemi. Selain tidak berempati, bertanya soal berat badan juga bisa membuat orang lain bersedih dan kehilangan kepercayaan diri lagi. Orang-orang yang bertubuh gemuk sudah cukup enek digempur oleh iklan pelangsing dan penggambaran tubuh ideal di media, jadi tidak perlu juga diingatkan lagi soal berat badan.
Masyarakat kita ini memang sudah terjangkiti fatphobia. Mungkin kita bisa bahas di artikel lain. Sementara itu, daripada bertanya soal berat badan, mending kalian tanya bagaimana kesehatan mental teman kalian yang sudah lama tidak kalian jumpai. Karena pandemi ini sedikit banyak menggerus kondisi mental kita.