Beda tapi Sama, Bisakah Digitalisasi TV Jamin Keragaman Konten?
Salah satu PR di industri televisi kita adalah konten yang sangat Jakarta sentris. Bisakah migrasi TV analog ke digital menjembatani ini?
Dalam sosialisasi sesi ke-2 migrasi TV analog ke digital, (21/7), para panelis berkoar-koar soal manfaat migrasi tersebut. Salah satu yang pasti ialah alternatif pilihan konten siaran yang semakin beragam dan berkualitas. Hal ini merupakan keuntungan penggunaan multipleksing yang mampu menyiarkan 10-15 konten.
Pada webinar “Unboxing Set Top Box” itu, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Nuning Rodiyah misalnya mengatakan, ke depannya TV Indonesia akan memiliki berbagai saluran khusus, seperti pendidikan, bencana, dan kesehatan.
“KPI Pusat bisa merujuk ke UU yang membahas kesehatan. Itu bisa menjadi modal dasar pengawasan kita,” tuturnya. Sayangnya, dari seluruh paparan tentang keragaman konten siaran ini, belum ada yang tahu secara pasti, seperti apa wujud keragaman itu bakal direalisasikan.
Baca Juga: Nasib Kita Jika Gugatan RCTI-INews Dikabulkan MK
Program TV yang Seragam
Di tengah maraknya tayangan streaming yang menayangkan hiburan berkualitas, baik dalam maupun luar negeri, stasiun televisi lokal ikut menyajikan drama impor untuk menarik minat masyarakat. Misalnya Trans TV, menyuguhkan drakor The World of The Married dan The Penthouse hingga keduanya jadi buah bibir warganet.
Beberapa stasiun televisi lainnya memilih menayangkan program yang kontennya diambil dari apa yang tengah digandrungi warganet, seperti On The Spot Trans 7, TikTokan di NET TV. Selain konten TikTok, NET TV meluncurkan program bertajuk Diary Bahagia, menampilkan kehidupan warga Indonesia yang tinggal di berbagai penjuru negara, padahal kontennya diunggah di Youtube para kreator.
Kalau tidak keduanya, lagi-lagi sinetron di RCTI dan SCTV masih latah menceritakan peliknya kehidupan orang kaya di Jakarta, atau Indosiar dengan program azab dan kisah perempuan nestapa andalannya. Mengutip Remotivi, sejumlah 35 persen durasi televisi Indonesia diisi oleh program bergenre drama.
Baca Juga: Kanal YouTube Remotivi Tajam Mengkritik Acara Televisi
Terlepas dari acara hiburan dan drama TV, berita-berita kita juga menayangkan keseragaman. Jika kita menyaksikan berita, mayoritas isinya menampilkan kehidupan masyarakat di Pulau Jawa dan kota-kota besar, sehingga tidak merepresentasikan daerah lain yang peristiwanya berhak ditampilkan pula. Berdasarkan sampel penelitian yang diambil oleh Hellena Souisa dari University of Melbourne, pada 2014-2015, pembahasan berita televisi minim kebijakan publik karena didominasi aksi-aksi insindental, seperti unjuk rasa, kecelakaan, dan kebakaran.
Dalam siaran TV digital, nantinya terdapat lima multipleks yang menaungi stasiun TV lain. Seperti TVRI, RCTI mengokupasi RCTI, MNC TV, iNews, dan GTV. Kemudian Trans TV yang mengepalai Trans TV, CNN Indonesia, Trans 7 Batam, CNBC Indonesia, dan Metro TV Batam, serta SCTV yang membawahi SCTV, Indosiar, O Channel, dan Mentari TV.
Melalui pengelompokkan multipleks tersebut, timbul pertanyaan baru di benak saya. Apakah kepemilikan media akan memengaruhi keragaman konten siaran TV seperti terjadi selama ini?
Upaya KPI
Kepada Kompas.com, Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI, Dewi Setyarini, mengatakan setiap tahunnya KPI berupaya meningkatkan kualitas konten siaran TV Indonesia, yakni dengan melakukan Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. Survei tersebut dilakukan untuk menetapkan batas maksimal yang perlu dicapai oleh TV terkait kualitas tayangannya.
Sementara dalam empat pilar digitalisasi penyiaran, Nuning menyampaikan KPI Pusat melakukan literasi untuk edukasi masyarakat agar dapat memilih saluran dan siaran televisi yang tepat dalam digitalisasi penyiaran. Nantinya, ini akan mendorong daya kritis sebagai penonton.
Baca Juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
Namun dalam praktiknya, edukasi itu lebih mudah diterapkan apabila masyarakat disuguhkan dengan pilihan program berkualitas, sehingga mampu memilahnya secara langsung, bukan teoritis.
Sampai saat ini, kita bisa menilai upaya KPI Pusat dalam mengawasi konten siaran TV belum maksimal. Lihat saja sinetron Suara Hati Istri: Zahra yang sempat diperbincangkan, lantaran memainkan artis berusia 15 tahun untuk memerankan karakter istri ketiga. Mereka terlalu sibuk menyensor bagian tubuh figur publik sampai tidak mengamati informasi yang layak dan benar diterima masyarakat, sebagaimana tertera pada tugas dan kewajibannya.
Baca Juga: ‘Kickoff’ Digitalisasi TV di Jabar, Seberapa Siapkah Kita?
Lalu, seperti apa kualitas dan keragaman konten siaran TV yang akan diusung pada TV digital? Baik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) atau KPI Pusat belum mampu memberikan gambaran konkret, apalagi memberi jaminan pasti. Semoga ya, migrasi TV ini benar-benar berfaedah dan merepresentasikan seluruh lapisan masyarakat, alih-alih masih menelanjangi kehidupan di Jakarta yang enggak penting-penting amat.