December 5, 2025
Issues Politics & Society

#GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (2)

Saat negara abai, para pemagang ‘fresh graduate’ mengandalkan jejaring pertemanan untuk saling menguatkan dan bertukar informasi pekerjaan.

  • July 31, 2025
  • 5 min read
  • 1169 Views
#GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (2)

Beban Kerja Berat, Uang Saku Seret 

Kebijakan di kantor Inar mengatur uang saku untuk pemagang sebesar Rp40.000 per hari. Itu pun tidak dibayarkan secara bulanan, melainkan dirapel di akhir masa magang. Jadi, selama berbulan-bulan Inar harus menanggung sendiri biaya transportasi dan konsumsi hariannya. 

Inar mengaku sempat mencoba melakukan negosiasi ke pihak HR kantor supaya uang sakunya dinaikkan, mengingat posisinya kini sudah lulus kuliah dan bukan lagi mahasiswa aktif.  

“Karena agak berat juga kan Rp40.000 per hari, terus baru gajinya dirapel di akhir gitu (menunggu empat bulan),” cerita Inar. 

Namun, permintaan itu ditolak. Penolakan itulah yang jadi salah satu pertimbangan bagi Inar ketika diminta memperpanjang masa magang untuk kedua kalinya. 

Namun, karena belum ada tawaran pekerjaan baru yang layak, ia kembali menerima perpanjangan tersebut. “Jadi ya udah, aku iyain (tawarannya), karena belum ada tawaran baru dari perusahaan lain,” 

Pengalaman serupa juga dialami Andrew. Selama magang di perusahaan media pada 2024 silam, Andrew juga hanya menerima Rp40.000 per hari. Sama seperti Inar, uang itu baru bisa ia terima setelah masa magangnya selesai.  

Baca Juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z 

Andrew mengenang momen ketika harus turun lapangan dan menggunakan uang pribadi untuk kebutuhan operasional. “Kalo misalnya digajinya per bulan harusnya ini gue bisa beli bensin pake uang gaji. Tapi kan enggak bisa karena dapatnya nanti di akhir,” kenang Andrew. 

“Bulan pertama, kedua, masih oke, lah. Tapi masuk bulan ketiga, keempat, ya itu mulai kerasa banget (beratnya),” ujarnya. 

Amor juga merasakan eksploitasi di organisasi non-pemerintah tempatnya saat ini magang. Di sana, Amor harus masuk kantor penuh dari Senin hingga Jumat tanpa adanya opsi kerja dari rumah. Jam kerja pun delapan jam lamanya. Namun, uang saku yang diberikan hanya Rp65.000 per hari.  

Jumlah itu, menurut Amor, bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan dasar seperti makan siang dan ongkos pulang pergi. Ditambah, jam kerja Amor sering tidak menentu. Kadang ia harus bekerja lembur tanpa adanya kompensasi. 

“Gajinya juga tidak sepadan dengan working hour yang cukup panjang. Jadi kita diespektasikan kerja sampai malam hari, bahkan di malam-malam hari itu pun masih sering dihubungi sama manajer, sama bos,” keluhnya. 

Merasa dieksploitasi, Amor dan pemagang lain mengajukan policy paper ke tempat magangnya. Mereka meminta penyesuaian kebijakan uang saku. Mereka menilai, dengan sistem kerja yang seperti full time dan beban kerja tinggi, uang saku semestinya bisa lebih layak agar pemagang tidak terus-terusan nombok dari kantong pribadi. 

“Kita menganggap Rp65.000 sehari dengan WFO tiap hari itu enggak menutup kebutuhan-kebutuhan sesimpel transportasi dan makan sehari-hari,” jelas Amor. 

Perjuangan Amor dan pemagang lainnya berbuah manis. Setelah mengadvokasikan permasalahan uang saku, bayaran pemagang pun dinaikkan menjadi Rp100.000 per hari. 

Ketika negara tidak berpihak, relasi dan jejaring menjadi alat bertahan hidup. Bukan dari negara, tapi dari sesama tenaga kerja. 

Baca Juga: Beda Gen Z dan Milenial Hadapi Tekanan Kerja di ‘Start-up’, Siapa Lebih Tangguh? 

Ketika Negara Abai, Solidaritas Kolektif Jadi Sandaran 

Pemerintah kerap mengelu-elukan Gen Z lewat jargon generasi emas dan menganggap bonus demografi sebagai jalan menuju Indonesia emas di 2045. Lewat jargon itu, Gen Z dibebankan ekspektasi berat. Di 2024, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) era pemerintahan Joko Widodo Muhadjir Effendy, menyatakan Gen Z adalah pemimpin masa depan bangsa, dan masa depan negeri ini harus diserahkan kepada pemuda. Melansir VOI, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyebut Gen Z sebagai tulang punggung untuk mencapai visi Indonesia emas 2045. 

Namun, harapan itu enggak sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan saat ini yang membuat Gen Z sulit dapat kerja. Mengutip CNBC Indonesia, berdasarkan data Keadaan Angkatan Kerja yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2025 sebanyak 7,28 juta penduduk menganggur, mayoritas berusia 15-24 tahun–rentang usia rata-rata Gen Z–dengan jumlah mencapai 3,55 juta orang.  

Padahal, dalam debat calon wakil presiden (wapres) Desember 2023, Gibran Rakabuming Raka–yang kini sudah menjabat sebagai wapres–berjanji pemerintah akan membuka 19 juta lapangan kerja baru. Namun bagi Andrew, Inar, dan Amor selaku Gen Z fresh graduate, janji itu terasa seperti bualan. Kenyataannya, mereka justru susah mendapatkan pekerjaan tetap dan terjebak di posisi magang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah lulus. 

Baca Juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’ 

Di tengah absennya dukungan negara, solidaritas antara sesama pencari kerja justru menjadi andalan. Inar bercerita, setelah lulus, Ia dan teman-temannya yang juga fresh graduate mengandalkan satu sama lain untuk mencari kerja. Mereka saling berbagi informasi lowongan pekerjaan, terutama jika menemukan posisi yang relevan dengan bidang masing-masing. 

“Jadinya kalau nemu posisi yang sesuai sama bidangnya, kita saling share aja. Misalkan ke DM (direct message) LinkedIn.”  

Inar menyebut, kini grup pertemanannya sudah berubah jadi grup saling tukar informasi lowongan kerja. Tak hanya berbagi informasi, terkadang rekomendasi dari teman yang sudah lebih dulu berhasil diterima kerja bisa membuka peluang lebih besar. 

“Misalnya seperti temanku, dia udah secure di suatu perusahaan, terus dia bisa merekomendasikan (temannya ke perusahaannya). Itu kan akan lebih gampang,” jelasnya. 

“Rekomendasi ya, bukan ordal (orang dalam) yang otomatis masuk,” tegasnya 

Ketika negara tidak berpihak, relasi dan jejaring menjadi alat bertahan hidup. Bukan dari negara, tapi dari sesama tenaga kerja. 

Sementara itu, Amor berpesan kepada sesama fresh graduate yang sudah mendapat kerja agar tidak judgmental kepada sesama fresh graduate pencari kerja.  

“Yang terjadi sekarang adalah lapangan kerja buruk, tren internship menjadi bahan eksploitasi dari organisasi maupun perusahaan. Jadi, kita semua harus merangkul yang horisontal, merangkul teman-teman yang satu perjuangan. Semua orang tidak berangkat dari titik yang sama. Jadi, please be kind to sesama fresh graduate,” pesannya. 

Ia juga berpesan untuk fresh graduate dan mahasiswa agar memahami hak-haknya sebagai pemagang maupun pekerja. Magang memang berguna untuk mencari pengalaman sebelum bekerja, tetapi tetap penting untuk memahami hak supaya tidak menjadi korban eksploitasi. Lalu ketika hak-hak itu dilanggar, Amor menyampaikan supaya tidak ragu melawan seperti halnya yang ia dan teman-temannya lakukan. 

“Pastinya jangan takut untuk acknowledge hak yang kita punya, kemudian jangan takut menyuarakan hak yang kita punya. … Kalau belum terpenuhi (hak-haknya), of course harus menagih hak kita itu, harus melawan,” tandasnya. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.