Edaran Menteri Enggak Jamin Pekerja 30 Tahun+ Dapat Kerja

Sudah jadi rahasia umum kalau ada ageisme di dunia kerja di Indonesia. Mayoritas lowongan kerja secara terang-terangan mencantumkan syarat usia maksimal 27 tahun, maksimal 25 tahun untuk fresh graduate, hingga persyaratan berdasarkan status perkawinan.
Diskriminasi usia adalah bentuk prasangka dan stereotip negatif terkait usia , yang dapat ditemukan di tingkat individu, organisasi, dan kelembagaan. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menyatakan diskriminasi usia cenderung menerpa pekerja yang lebih tua dengan stereotip kurang sehat, kurang berpendidikan, kurang terampil atau kurang produktif dibandingkann kawula muda.
Ironisnya, fenomena ini sudah terjadi sejak lama. Para pengusaha Tanah Air pun membantah terjadinya diskriminasi usia. Menurut mereka hal ini merupakan seleksi alam alamiah semata. Untuk menanggulangi situasi ini, pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2025 Tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.
Baca Juga: 3 Dampak Buruk Aturan Kontrak Kerja sampai Lima Tahun Bagi Karyawan
Saling Lempar Bola Panas Pemerintah vs Pengusaha
SE ini melarang segala bentuk diskriminasi dalam proses rekrutmen, termasuk diskriminasi berdasarkan usia, jenis kelamin, status perkawinan, disabilitas, agama, suku, ras dan lainnya. Sayangnya, SE tidak bersifat mengikat dan memaksa target kebijakan untuk mematuhinya. Sebab di mata hukum dan ketatanegaraan, SE hanya sebatas pedoman teknis atas suatu hal yang dianggap penting namun tidak memuat norma tingkah laku (larangan, perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan, dan penetapan.
Namun, menariknya, kalangan pelaku usaha justru nampak skeptis terkait kebijakan tersebut. Pengusaha menilai batasan usia dalam lowongan kerja selama ini menunjukkan besarnya pasukan tenaga kerja di Indonesia.
Layaknya hukum ekonomi, ketika suplai dan permintaan tidak seimbang, diskriminasi menjadi mungkin terjadi. Pengusaha menilai pemerintah sebaiknya fokus membuat kebijakan dan regulasi yang meningkatkan penciptaan lapangan kerja agar semakin berkembang.
Diskriminasi usia dalam dunia kerja di Indonesia tidak hanya terjadi saat proses rekrutmen, tetapi juga dapat muncul dalam berbagai bentuk lain. Aspek lainnya adalah diskriminasi gaji. Sering ditemukan, karyawan yang lebih muda sering kali menerima upah lebih rendah meskipun memiliki kompetensi dan beban kerja yang sama dengan rekan kerja yang lebih tua.
Sebaliknya, dalam beberapa kasus, pekerja senior justru dibayar lebih murah karena dianggap sudah lewat masa produktif atau tidak diberi kesempatan untuk naik jabatan karena dianggap tidak lagi adaptif terhadap perubahan teknologi dan sistem kerja baru. Mayoritas terjadi tanpa dilandasi dengan alasan dan aturan yang jelas.
Selain itu, diskriminasi turut terjadi dalam hal akses terhadap pelatihan dan pengembangan karier. Banyak perusahaan memilih memberikan pelatihan hanya kepada karyawan muda dengan asumsi bahwa mereka akan bertahan lebih lama di perusahaan. Hal ini secara tidak langsung mempersempit ruang pertumbuhan profesional bagi pekerja yang lebih senior dan mempercepat utilisasi mereka di tempat kerja.
Bentuk diskriminasi yang lebih ekstrem adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang didasarkan pada alasan usia. Banyak pekerja senior berisiko dipecat lantaran dianggap mahal dan tidak seproduktif karyawan muda dan dianggap sulit mengikuti perkembangan zaman.
Semua hal ini terjadi karena faktor kompetisi dan proses pasar.
Baca Juga: Ada Kegagalan Negara Di Balik Lahirnya Serikat Pekerja Kreatif
Minim Jaminan Naker bagi Pekerja Berumur
Menurut OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan), rata-rata tenaga kerja Tanah Air yang pensiun dari pekerjaannya mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir. Per 2018, usia pensiun pria efektif di Indonesia ada di sekitar umur 64 tahun. Namun pada tahun 2020 meningkat menjadi 66 tahun. Hal ini terjadi juga pada wanita yang mengalami kenaikan 60 tahun menjadi 62 tahun.
Data ini bukan berarti naker senior semakin diberdayakan. OECD justru menyebut mayoritas naker Tanah Air bersifat informal yang harus bekerja sampai dengan usia lanjut untuk bertahan hidup.
Hal ini dapat dilihat dari sistem jaring pengaman sosial yang disediakan pemerintah. Sistem uang pensiun di Indonesia hanya mencakup pada pekerja formal seperti pegawai negeri, tentara/polisi, atau pekerja swasta yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Padahal mayoritas tenaga kerja Indonesia adalah sektor informal.
Program Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) BPJS seperti wiraswasta, freelancer, pedagang, petani dan sebagainya untuk menyisihkan pendapatannya per bulan untuk ditabung sebagai jaminan hari tua tak diikuti dengan kesadaran dan kemampuan para pekerja informal. Ini terlihat dari tunggakan peserta PBPU dalam membayar iuran hari tuanya.
Baca Juga: JKP adalah Kebijakan Bagus, Sayangnya Pekerja Informal Luput Diperhatikan
Menanti Inovasi Kebijakan
Semua pihak terkait harus melakukan komunikasi intensif antarpemangku kepentingan agar kebijakan yang dihasilkan tidak terkesan terburu-buru atau setengah matang. Beberapa praktik dari beberapa negara dalam menghilangkan praktik diskriminasi umur dapat ditiru oleh pemerintah kita. Semisal dengan memberikan insentif kepada industri ataupun dengan memberikan program pelatihan.
Bentuk insentif kepada industri misalnya dengan memberikan keringanan pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja usia lanjut. Praktik insentif seperti ini telah dijalankan di Belanda dengan Loonkostenvoordeel (LKV) atau Labour Costs Compensation—subsidi untuk pengusaha yang mempekerjakan karyawan yang kesulitan mencari pekerjaan, seperti karyawan dengan usia di atas 56 tahun.
Selain itu, pemerintah dapat membuat program pelatihan kepada pekerja untuk meningkatkan keterampilan pekerja yang berumur agar tetap kompetitif. Program pelatihan seperti ini sudah dilakukan di Singapura dengan program SkillsFuture Mid-Career Support Package yang bertujuan untuk membantu mereka tetap dapat bekerja dan mengakses pekerjaan bagi karyawan yang berusia 40-an hingga 50-an.
Di tengah gelombang PHK yang melanda berbagai sektor di Indonesia akhir-akhir ini, pekerja yang sudah tidak lagi muda justru menjadi kelompok yang paling rentan. Usia mereka sering dijadikan alasan untuk ditolak meskipun pengalaman dan keahliannya memadai.
Jika hal ini terus berlanjut, efeknya tidak hanya meningkatkan angka kemiskinan nasional. Namun turut menyeret generasi di bawahnya menjadi miskin karena orang tuanya kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan.
Adrian Azhar Wijanarko, Associate professor, Paramadina University.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
