Jilbab Bukan Kewajiban, Tapi Saya Tetap Memakainya
Meski saya mengerti bahwa jilbab bukan sebuah kewajiban, saya masih memakainya sampai sekarang.
Beberapa waktu lalu saya mengikuti sebuah pelatihan calon tenaga kerja di suatu perusahaan komunikasi. Dari ke-26 peserta, 21 di antaranya adalah perempuan. Semua perempuan itu memakai jilbab, termasuk saya. Tidak ada yang aneh. Apalagi di era sekarang hampir semua perempuan muslim memakai jilbab. Memakai jilbab adalah hal yang wajar. Tetapi bagaimana kita memaknainya?
Jika Anda seorang muslimah dan ditanya mengapa memakai jilbab, apa jawaban Anda? Saya juga sempat ditanya demikian oleh sebuah survei daring yang disebar oleh kawan saya beberapa waktu lalu. Saya tidak bisa menjawab serta merta alasan itu sebagaimana saya pahami belakangan, sebab proses saya bertahan untuk memakai jilbab cukup lama.
Berawal dari doktrin kyai saya tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan, saya kemudian berjilbab setiap kali keluar rumah. Seperti anak santri lainnya, terkadang berjilbab sekedar disampirkan dan diikat di depan. Pakaian pun mulai berganti dengan yang panjang-panjang. Sampai kakakku sempat mengejekku, “Setiap keluar rumah selalu ganti kostum.”
Memang agak aneh waktu itu, saya yang biasa tidak berjilbab tiba-tiba kelihatan memakai jilbab ke mana-mana. Tetapi saya anggap itu adalah ujian yang harus dilalui dengan sabar. Berubah menjadi lebih baik memang tidak mudah.
Baca juga: Hijab dan Kita yang Tak Pernah Diberi Pilihan
Di sisi lain, seorang teman satu pengajian tidak turut mengikuti perintah Pak Kyai untuk menutup aurat. Ia memilih untuk berpakaian seperti biasanya, berkaos pendek tanpa jilbab ketika keluar rumah. Sikapnya yang begitu saya anggap berdosa karena tidak mematuhi perintah agama. Dia sudah tahu tapi tidak mau melaksanakan. Lebih berat malu kepada orang lain daripada malu kepada Allah.
Saya berjilbab dan mengimbanginya dengan menjalani rutinitas keagamaan yang tekun. Berusaha menjadi wanita salihah yang kelak akan bertemu dengan lelaki salih. Bukankah kata Pak Kyai jodoh adalah cerminan diri sendiri? Saya selalu berusaha memantaskan diri untuk mendapatkan jodoh yang baik.
Lulus SMA saya kuliah di perguruan tinggi Islam untuk memperdalam ilmu keagamaan. Tak tanggung-tanggung, saya masuk di jurusan Tafsir Hadits. Jurusan yang sampai saat ini ketika ditanya orang, mereka selalu merespons jawaban saya dengan “keren”, “sangar”, “ngeri”.
Di tahun pertama, saya tinggal di sebuah pondokan milik kampus yang cukup disiplin. Di sini kehidupan kami benar-benar islami, meskipun untuk berbicara kita harus menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris. Tapi orang-orangnya semua bak malaikat. Di pondok ini setiap keluar kamar kita harus memakai jilbab. Kalau ketahuan tidak pakai, ada takzir (hukuman) yang menanti.
Ke mana-mana saya masih terus memakai jilbab. Memakai jilbab sudah menjadi identitas yang melekat pada diriku. Meski kemudian saya tahu, melalui diskusi yang ada, perkuliahan di kampus, dan buku-buku yang saya baca, bahwa ternyata ada perdebatan soal jilbab di antara para ulama.
Karena mengerti bahwa konstruksi budaya sangat memengaruhi manusia dalam memaknai kitab suci, saya pun memahami bahwa pemaknaan ayat mengenai aurat tidak boleh kaku dan diterjemahkan menurut satu budaya tertentu.
Banyak ulama, baik klasik maupun kontemporer, yang berbeda pendapat soal kewajiban memakai jilbab, bahkan soal batasan aurat perempuan. Pada umumnya, mereka yang mewajibkan menutup aurat dengan batasan muka dan telapak tangan adalah ulama klasik. Sedangkan dalam pemikiran yang berkembang belakangan, aurat perempuan mendapat penafsiran baru dan tentu saja, jilbab bukan sebuah kewajiban.
Jilbab adalah hasil konstruksi budaya yang dilakukan oleh manusia pada daerah tertentu sebagai wujud pemaknaan terhadap teks Alquran, khususnya pada Surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31. Bahkan sejarahnya, jilbab bukan hanya milik umat Islam, tapi juga umat agama sebelumnya.
Sebagai seorang pelajar yang mendapat pencerahan pengetahuan, pemahaman saya pun berkembang dan berubah dalam memaknai jilbab. Karena mengerti bahwa konstruksi budaya sangat memengaruhi manusia dalam memaknai kitab suci, saya pun memahami bahwa pemaknaan ayat mengenai aurat tidak boleh kaku dan diterjemahkan menurut satu budaya tertentu. Seiring dengan pengetahuan yang saya peroleh itu, saya berpendapat bahwa jibab bukanlah kewajiban bagi seorang muslimah.
Meski saya mengerti bahwa jilbab bukan sebuah kewajiban, saya masih memakainya sampai sekarang. Tentu tidak sefanatik dahulu. Pemaknaan saya sedikit bergeser, bahwa memakai jilbab bukan untuk menutup aurat dan menjalankan kewajiban agama. Saya berjilbab untuk menghormati diri sendiri yang memang sudah berjilbab sejak lama. Tetapi untuk menegaskan bahwa jilbab ini bukan sebuah keharusan, saya tidak pernah memakainya ketika di rumah dan di sekitar rumah.
Baca juga: Berhijab atau Tidak, Terserah Masing-masing
Saya percaya bahwa masyarakat kita telah memiliki batas kesopanan yang wajar bagi aurat perempuan. Sampai sekarang perempuan di kampung saya rata-rata memakai kaos pendek tanpa jilbab, dan mereka aman-aman saja. Inilah yang barangkali dimaksud sebagai “Yang biasa nampak daripadanya” dalam Surat An-Nur ayat 30. Sedangkan memakai tank top dan celana pendek adalah sesuatu yang tidak wajar di kampung saya, sehingga berpakaian demikian cenderung akan merendahkan harga diri.
Saya juga percaya pelecehan seksual tidak terjadi karena model berpakaian para perempuan sehingga memakai jilbab juga tidak lantas membuat kita aman dari perilaku pelecehan seksual. Terkadang justru pelaku pelecehan seksual ada di lembaga-lembaga keagamaan. Seperti yang diceritakan oleh kawan saya, banyak temannya yang menjadi korban pelecehan seksual oleh anak seorang kyai di sebuah pesantren. Bukankah ini ironis?
Seiring perkembangan tren, jilbab juga berubah gaya, corak, dan motifnya. Kita akan dibikin ketinggalan zaman oleh perubahan model yang terjadi pada jilbab yang bergerak begitu cepat. Inilah pasar yang diciptakan atas nama Tuhan, kata peneliti feminis Ruth Indiah Rahayu.
Naif rasanya jika saat ini kita memaknai jilbab sekedar sebagai wujud kewajiban menutup aurat. Nyatanya jilbab lebih berkembang sebagai fashion. Dan kita digiring untuk menjadi konsumen yang terus memperbarui model jilbab kita. Tanpa kita sadar, telah banyak jilbab yang kita miliki dan akhirnya menjadi sampah di pojokan rumah kita.