Ramai-ramai Jurnalis Jadi Buzzer TikTok, ‘Jale’ di Era Digital 4.0?
Bagaimana jika jurnalis merangkap jadi buzzer pemerintah? Saya ngobrol dengan Dewan Pers untuk membedahnya.
Cuitan Karima (@karimasoyou) yang membeberkan akun buzzer pemerintah di TikTok ramai diserbu warganet. Berdasarkan penelusurannya, beberapa kreator di akun tersebut adalah mantan jurnalis. Bahkan, salah satunya ditemukan merupakan jurnalis yang masih aktif bekerja. Cuitan yang diunggah pada (13/11) itu pun mendapat 2,5 juta pelihat dan 4 ribu likes di X.
“Ada akun @tigaenampuluh_ di TikTok yg isi kontennya propaganda ‘Jurnalistik adalah media gosip’. Serangan kepada saya, Najwa Shihab, creator lain yg kritis ini makin marak dimulai dari sana, selain dari Ali Hamza dan sejenisnya” tulis Karima.
Magdalene lantas menghubungi Karima untuk cari tahu soal ini. Mantan jurnalis yang kini aktif jadi konten kreator TikTok terkait isu sosial politik itu menjelaskan bagaimana pertama kali menemukan akun tersebut di TikTok. Semua bermula saat akun @tigaenampuluh_ menggabungkan (stitch) video tanggapan dengan opini Karima yang membahas perangai Gibran kepada wartawan.
“Di X saya awal-awal nyebut bagaimana wakil presiden sering melengos dari teman-teman wartawan yang nempel wapres. Nah, saya bawa isu ini ke TikTok dalam sebuah konten video. Setelah itu, notifikasi, DM, semua tiba-tiba banyak serangan, pelecehan, ancaman, sampai fitnah. Saya sebenarnya sudah menduga hal ini. Namun, selain itu, enggak sampai 10 jam, ada salah satu akun yang stitch video TikTok saya itu. Saat saya cek, baru saya lihat @tigaenampuluh_ ini,” jelas Karima.
Sebagai mantan jurnalis, Karima mengaku familier dengan wajah-wajah kreator yang ada dalam video @tigaenampuluh_. Kala scrolling akun itu, Karima menemukan kreator di balik akun tersebut ternyata adalah jurnalis aktif dan beberapa mantan jurnalis.
Baca juga: Setiap Hari adalah Perang Saya Melawan Trauma, Kisah Jurnalis yang Menulis Palestina
“Saya enggak asing dengan wajah-wajah di akun tersebut. Cara mereka menyampaikan opini juga baik dan artikulasinya oke. Makin ke bawah, ada sesuatu yang menurut saya agak janggal gitu. Sampai akhirnya ada salah satu follower saya yang reply di X dan infokan kalau ini ada salah satu host ternama gitu di Indonesia. Dia pun coach public speaking course yang namanya gede di Indonesia. Dan oh oke bener berarti tebakan saya: Mereka ini ternyata adalah jurnalis,” kata Karima.
Selain dibidani oleh jurnalis dan mantan jurnalis, @tigaenampuluh_ juga aktif membangun narasi yang menjatuhkan karya-karya jurnalistik. Pada salah satu unggahannya, @tigaenampuluh_ terlihat menggabungkan video opini mereka dengan video lain dengan tajuk “Media Jurnalistik Sudah Jadi Media Gosip?”. Unggahan lain juga berupaya mengulas Bloomberg yang dinarasikan melakukan adu domba Presiden lewat gelar wicaranya dengan Presiden RI Ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono.
“Dalam satu waktu mereka bikin narasi media massa sudah menjadi media gosip intinya itu ya. Kemudian, bagaimana mereka bikin narasi soal adu domba media massa yang katanya sudah dibayar. Bahayanya masyarakat kehilangan kepercayaan kepada jurnalis. Mereka ini membuat video yang mendelegitimasi karya jurnalistik,” tambah Karima.
Menggiring Opini dengan Konten Stitch
Akun TikTok @tigaenampuluh_ sendiri sudah aktif memproduksi konten sejak (29/4) lalu. Dari lamannya, akun ini tercatat sudah mendapatkan lebih dari 15 ribu pengikut dengan 600 ribu lebih total likes dari pengguna lain di TikTok. Salah satu unggahannya yang bertajuk “Serba Salah Jadi Gibran” bahkan telah dilihat sebanyak 1,3 juta kali, dengan capaian lebih dari 90 ribu likes.
Karima bilang @tigaenampuluh_ telah berupaya untuk menyebarkan propaganda terkait pemerintah. Metode yang digunakan mayoritas stitch, atau menggabungkan video opini mereka dengan video sebelumnya. Mereka juga kerap melakukan pembantahan atas pemberitaan kritis soal pemerintah. Dengan metode ini, @tigaenampuluh_ terkesan mewakili pemerintah untuk melakukan klarifikasi terkait pemberitaan di media, kata Karima.
Baca juga: UU Perlindungan Data Pribadi Berlaku Oktober, ini 8 Catatan Penting untuk Jurnalis
“Saya bisa sebut ini propaganda ya. Mereka kesannya memberi klarifikasi, yang entah untuk siapa, lewat stitch pada video yang menentang pemerintahan, khususnya di media. Jadi ketika ada jurnalis yang ngomong ini, besoknya atau di hari yang sama dibantah pemberitaan itu sama mereka. Ada lagi jurnalis yang nulis ini di media, dibantah lagi,”
Menggeluti dunia jurnalistik selama lebih dari tiga tahun, Karima jadi khawatir dengan apa yang dilakukan oleh @tigaenampuluh_. Sebab, sebagai pilar ke-4 demokrasi, karya-karya jurnalistik idealnya merupakan penjernih informasi di tengah campur aduknya kabar di jagat maya. Dengan dugaan delegitimasi yang dilakukan @tigaenampuluh_ kepada karya-karya jurnalistik, Karima khawatir kepercayaan masyarakat dapat bergeser, dan demokrasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
“Saya sendiri merasa sangat prihatin. Jurnalis ini kan sebetulnya pilar keempat demokrasi. Bayangin kalau misalnya semua pilar ambruk, hancur masyarakat ini. Setelah didelegitimasi, masyarakat harus percaya sama siapa lagi? Berpegangan kepada siapa lagi?” ungkap Karima.
Untuk mengklarifikasi ini, Magdalene mencoba menghubungi akun @tigaenampuluh_. Namun, sampai artikel ini terbit, akun TikTok @tigaenampuluh tidak kunjung memberi respons.
Baca juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media
Pelanggaran Keras Kode Etik
Dalam buku “Blur” (2010) dijelaskan, jurnalis harus mempertahankan integritasnya dengan konsisten memproduksi dan menyebarkan konten jurnalistik yang “benar”. Ia dibuat sesuai kode etik jurnalistik, termasuk verifikasi hingga memproduksi berita berdasarkan fakta alih-alih hoaks.
Jurnalis tentu berbeda dengan buzzer. Para buzzer dibayar atau menerima gratifikasi (jale) sebagai juru marketing communication pun jubir untuk menggiring opini publik. Sehingga, ketika jurnalis justru merangkap profesi sebagai buzzer, berarti ia telah melanggar kode etik profesinya.
Paulus Tri Agung Kristanto, Ketua Komisi Pendidikan Pelatihan Dan Pengembangan Profesi Dewan Pers, sepakat, apabila ditemukan terdapat jurnalis aktif dalam akun yang disinyalir buzzer pemerintah , perusahaan media tempat jurnalis tersebut bekerja, semestinya memberikan tindakan, sesuai dengan kode etik jurnalistik.
“Kalau mantan jurnalis ya bebas-bebas saja jadi influencer. Kalau ia masih jadi wartawan, kenapa media tempatnya bekerja mengizinkan ya? Semestinya tak bisa. Itu bisa melanggar kode etik jurnalistik,” jelas Tri, kepada Magdalene (19/11) melalui pesan teks Whatsapp.
Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers mengamini Tri. Ia menambahkan, tanggung jawab produksi konten @tigaenampuluh_ dikembalikan ke masing-masing jurnalis dan mantan jurnalis yang terlibat.
“Ketika dia menjadi wartawan, maka segala kepentingan dia sebagai non-wartawan itu seharusnya dikesampingkan, jika dia tidak ingin dicap sebagai orang yang menyalahgunakan profesinya. Kerja jurnalistiknya itu yang mesti dijaga,” jelas Arif.