Election 2024 Issues Opini Politics & Society

Bagi-bagi Kue di Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran

Banyak orang mulai mempertanyakan nasib demokrasi di era Prabowo-Gibran. Khususnya sejak formasi Kabinet Merah Putih lebih banyak diisi pendukung mereka di Pilpres 2024.

Avatar
  • October 22, 2024
  • 5 min read
  • 671 Views
Bagi-bagi Kue di Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran

Pelantikan Prabowo-Gibran pada (20/10) kemarin menuai sejumlah kontroversi. Banyak yang khawatir, kualitas demokrasi Indonesia di era mereka bakal kian buruk. Ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah latar belakang militer Prabowo dengan rekam jejak yang pelanggaran hak asasi manusia (ham) yang kelam, Ditambah lagi posisi Gibran yang lekat dengan label dinasti politik Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Kehadirannya sebagai putra sulung Jokowi di panggung politik Indonesia memperkuat indikasi penguatan pengaruh politik melalui hubungan kekerabatan. Ini tentu saja dapat merusak prinsip meritokrasi dalam demokrasi.

Sudah sepantasnya masyarakat mengawasi dengan lebih jeli berjalannya pemerintahan ke depan, terutama dalam hal penegakkan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat.

 

 

Sebagai informasi, jelang pelantikan Prabowo–Gibran, hubungan Prabowo dengan para petinggi partai yang tak mengusungnya terus “membaik”. Prabowo juga sempat mengisyaratkan penghapusan oposisi dengan menyebut, keberadaan oposisi bukan merupakan budaya Indonesia. Ini mirip dengan langkah Jokowi yang merangkul hampir semua partai politik ke dalam koalisi pemerintah.

Jika konsep ini dilanjutkan, hal tersebut memang dapat mengurangi polarisasi dan ketegangan politik, namun juga membawa potensi mematikan demokrasi. Peran oposisi sebagai pengawas pemerintah akan terkikis. Lalu ruang untuk kritik dan kontrol terhadap kekuasaan akan menyempit. Tanpa adanya mekanisme check and balance yang memadai, masa depan demokrasi di Indonesia bisa berada dalam ancaman serius.

Baca juga: Minim Perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo, Apa Artinya?

Kabinet Zaken atau Transaksi?

Kabinet zaken adalah kabinet yang anggotanya dipilih berdasarkan keahlian profesional dan kompetensi, bukan atas dasar afiliasi politik atau kepentingan partai. Tujuan utamanya guna mengatasi tantangan politik dengan mengedepankan kolaborasi berdasarkan keahlian dan kompetensi, bukan afiliasi politik.

Alih-alih membentuk kabinet zaken, rancangan kabinet Prabowo yang kini sudah dilantik, lebih dahulu terindikasi sebagai politik transaksi. Ini tercermin dalam pemilihan calon anggota kabinetnya.

Banyak dari 108 nama calon menteri, wakil menteri dan kepala lembaga negara yang dipanggil Prabowo ke kediamannya di Kertanegara awal minggu ini, merupakan figur yang memiliki rekam jejak bermasalah, termasuk dugaan keterlibatan dalam kasus hukum dan catatan etik.

Nama-nama seperti Pratikno, Budi Gunadi, Fahri Hamzah, hingga Raffi Ahmad dan Giring “Nidji” pernah terlibat dalam kontroversi terkait permasalahan hukum, karier pendidikan, hingga pernyataan kontroversial. Situasi ini memperkuat kesan bahwa kabinet zaken yang diimpikan oleh Prabowo kemungkinan besar tidak akan terwujud karena kuatnya politik transaksional dalam proses seleksi anggota kabinetnya.

Kemungkinan tidak akan adanya oposisi juga dapat dilihat melalui Contact Theory, yang menjelaskan bagaimana kelompok oposisi kemudian dapat berkolaborasi melalui interaksi yang positif. Teori ini sering diterapkan oleh para peacekeeper untuk mengatasi konflik antar kelompok (intergroup) dan geopolitik. Berdasarkan teori tersebut, interaksi yang positif sengaja diciptakan dalam suasana yang setara sehingga dapat mengurangi prasangka, meningkatkan solidaritas di antara pihak-pihak yang bersaing, lalu dan pada akhirnya menciptakan identitas kolektif di antara mereka.

Baca juga: Partisipasi Politik Perempuan Tak Boleh Hanya Angka

Meski demikian, efek samping terhadap interaksi positif pada kedua kubu ini mengarah pada penghapusan oposisi yang sepenuhnya dan merosotnya kondisi demokrasi, bahkan di titik tertentu mampu mengancam keberlangsungan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Dalam konteks politik, teori ini sangat relevan untuk membangun koalisi yang efektif. Ketika aktor politik dari latar belakang yang beragam berinteraksi dalam suasana yang setara, mereka dapat mengembangkan pemahaman yang lebih baik satu sama lain dan mengurangi stereotip yang merugikan, namun dengan mudahnya melahirkan “koalisi gemuk” (fat coalition). Berbagai kelompok, meskipun memiliki kepentingan dan pandangan yang berbeda, bersatu untuk mencapai tujuan bersama, seperti pengesahan kebijakan atau penyelesaian konflik.

Contoh penerapannya pernah dilakukan di zona konflik seperti Irlandia Utara, Israel, Bosnia-Herzegovina, dan Rwanda, serta terbukti efektif dalam membangun kepercayaan, empati, dan rekonsiliasi antarkelompok yang membentuk dasar kolaborasi politik. Ini menunjukkan bagaimana aktor politik yang berbeda dapat beraliansi untuk kepentingan bersama, terutama jika memiliki pandangan kebijakan yang sama.

Dengan menciptakan interaksi yang positif, teori kontak mendukung pengurangan ketegangan dan memfasilitasi kolaborasi antara kelompok yang biasanya bersaing, memungkinkan mereka untuk bekerja sama demi mencapai hasil yang bermanfaat bagi semua pihak.

Kabinet zaken, jika benar-benar diterapkan sesuai prinsip teori kontak, berpotensi mereduksi dinamika konflik yang biasa terjadi dalam pemerintahan yang berbasis politik partai, karena fokusnya akan lebih pada kualitas keputusan dan solusi praktis daripada kepentingan partisan.

Namun, jika prinsip-prinsip teori kontak ini tidak diterapkan dengan benar dan kabinet zaken tetap didominasi oleh politik transaksi atau kepentingan partai, maka dampaknya akan negatif terhadap demokrasi itu sendiri.

Alih-alih membangun kolaborasi yang sehat dan mengurangi prasangka, kabinet zaken Prabowo bisa menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap kemampuan kabinet untuk benar-benar berfungsi berdasarkan meritokrasi dan keahlian, bukan sekadar kepentingan politik tersembunyi.

Baca juga: 6 Catatan Pelantikan Prabowo: Janji Manis, Kementerian HAM, hingga Bobby Kucing

Ilusi Harmoni dan Kolaborasi

Jika pemerintahan Prabowo-Gibran nanti berjalan dengan kabinet hasil transaksi politik, kita mungkin harus bersiap menghadapi kenyataan bahwa panggung politik Indonesia akan semakin menyerupai sirkus—permainan kekuasaan lebih dominan daripada pengabdian pada rakyat. Publik hanya bisa menyaksikan dengan cemas, berharap agar janji-janji reformasi dan demokrasi tidak berubah atau lenyap hingga berakhir menjadi sekadar omong kosong.

Ironisnya, dalam ketiadaan oposisi, para pejabat bisa saling berpelukan di depan layar—tetapi bukan dalam semangat kolaborasi yang sehat, melainkan dalam ilusi harmoni yang terbentuk oleh kepentingan pragmatis.

Apakah kabinet Prabowo-Gibran akan membawa Indonesia menuju era baru yang lebih demokratis, atau justru menggiring negara ini ke dalam kolam politik dinasti dan oligarki yang semakin dalam?

Mungkin jawabannya sudah tampak di balik senyum politikus yang nyaman berada di kursi kekuasaan. Demokrasi, mungkin, hanya akan menjadi kata kosong di balik panggung politik transaksional, sementara rakyat tetap berharap di luar gedung, menunggu keajaiban yang tak kunjung datang.

Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia dan Muhammad Reza Firmansyah, Dosen Psikologi, Universitas Atma Jaya Makassar.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Wawan Kurniawan and Reza Firmansyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *