Culture

Terlalu Baik, Terlalu Menarik: Karakter Cowok Drakor Tak Masuk Akal?

Karakter lelaki di drakor seringkali digambarkan sangat idaman. Saya mencari tahu alasannya dari representasi penulis skenario hingga kondisi sosial budaya setempat.

Avatar
  • September 6, 2022
  • 6 min read
  • 1386 Views
Terlalu Baik, Terlalu Menarik: Karakter Cowok Drakor Tak Masuk Akal?

Drama Korea (drakor) selalu punya daya pikat. Tak cuma menawarkan sinematografi apik, plot menarik, tapi juga karakter lelaki yang terlalu baik. Mulai dari Moon Kang-Tae (Kim soo-Hyun) dari It’s Okay Not To Be Okay, Hong Du-sik (Kim Seon-ho) dari Hometown Cha Cha Cha, dokter ahli bedah kardiotoraks Kim Jun-Wan (Jung Kyoung-Ho) dari Hospital Playlist, hingga Lee Jun-Ho (Kang Tae-Oh) dari Extraordinary Woo.

Karakter laki-laki utama tersebut, setidaknya punya pesona yang sama di mata penonton perempuan. Mereka berempati tinggi, pengertian, dan sensitif pada keadaan orang lain. Mereka juga memandang perempuan secara setara. Sehingga, mereka tidak punya apa yang kita sebut sebagai men entitlement, alias mengutamakan keinginan pribadinya.

 

 

Lihat saja karakter Jun-Ho dari Extraordinary Woo. Sebagai karakter laki-laki utama, ia digambarkan tak egois, penuh empati, dan rendah hati. Ia percaya semua orang sudah selayaknya diperlakukan setara dan paham batasan personal masing-masing individu. Hal ini terlihat dari caranya bersikap terhadap Woo-Young Woo, perempuan pengacara pengidap autisme yang ia sukai.

Melihat perlakukan Jun-Ho pada Woo-Young Woo, siapa, sih penikmat drakor yang enggak akan luluh? Tak sedikit bahkan perempuan yang mengungkapkan karakternya, too good to be true (mustahil eksis di dunia nyata).

Pertanyaannya, kenapa pandangan itu bisa muncul? Saya berusaha menguliknya lebih lanjut.

 Baca Juga:  ‘Female Gaze’ dan Cara Pandang Dunia Lewat Lensa Perempuan

Female Gaze dalam Drama Korea

Untuk tahu kenapa karakter laki-laki utama di drakor banyak dinilai too good to be true, kita tak boleh kelewatan satu fakta ini. Dilansir dari Forbes, di Korea Selatan jumlah perempuan penulis skenario kini mendekati angka 90 persen. Nama-nama penulis skenario perempuan, seperti Lee Woo Jung,  Moon Ji-won, Park Ji Eun, atau Park Hye Ryun cukup familier di industri hiburan Korea Selatan. Mereka adalah perempuan di balik drakor sukses Reply 1988, Hospital Playlist, Extraordinary Attorney Woo, Crash Landing You, hingga Start-Up.

Hal ini berbanding terbalik dengan Amerika di mana menurut Center for the Study of Women in Television and Film, hanya 27 persen dari semua sutradara, penulis, produser, produser eksekutif, editor, dan direktur fotografi adalah perempuan.

Representasi dari perempuan penulis skenario yang begitu besar di Korea Selatan ini terlihat jelas dari bagaimana banyak drakor kini yang menggunakan female gaze dalam penceritaan hingga penggambaran karakter.

Di artikel sebelumnya, Magdalene pernah menjelaskan, female gaze adalah cara perempuan melihat dunia dan orang-orang di sekitarnya tanpa memandang gender maupun jenis kelamin. Cara memandang ini berkaitan erat dengan identitas, konstruksi gender, objektivitas, serta subjektivitas dengan menargetkan perempuan sebagai audiensnya.

Jika male gaze berpusat tentang apa yang dilihat laki-laki, female gaze justru untuk membuat penonton merasakan pengalaman serta perspektif perempuan. Begitu setidaknya yang dikatakan oleh sutradara Jill Soloway dalam pidatonya tentang female gaze di Toronto International Film Festival 2016.

Melalui female gaze ini, drakor menawarkan keberagaman representasi perempuan di balik layar. Dilansir dari Feminism in India dan Vogue, drakor banyak sekali menyoroti perempuan berdaya dalam ragam profesi mereka. Mulai dari pengacara, hakim, jaksa, dokter, CEO, hingga general weather forecaster. Sesuatu yang sukar sekali kita temukan di Indonesia.

Drakor yang ditulis oleh perempuan pun bisa dengan baik mengeksplorasi kendala sosial kultural secara profesional dan personal. Sehingga ia jadi wadah dalam merangkul kesamaan identitas dan pengalaman dengan penonton perempuannya.

Begitu pula persahabatan perempuan. Jika di serial di luar negeri masih ditemui bagaimana persahabatan antarperempuan sebagai hal toksik, melalui female gaze, persahabatan antarperempuan dicitrakan sebagai women support women atau kekuatan solidaritas.

Baca Juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan

Namun, yang tak kalah penting dari dua hal ini adalah bagaimana female gaze mampu memberikan gambaran tentang laki-laki di luar kotak maskulinitas toksik. Dikutip dari Medium, female gaze mencoba mencari keseimbangan “sempurna” antara laki-laki dan perempuan dengan membuat mereka setara di semua bidang. Maskulinitas dan feminitas tak dilihat sebagai sesuatu yang ajeg, dan hanya boleh dimiliki satu gender saja tapi ia bersifat cair.

Karenanya, dengan cara berpikir begini, female gaze mampu menempatkan karakter-karakternya sebagai manusia biasa yang kuat sekaligus rentan. Tak heran, karakter laki-laki utama drakor yang ditulis oleh perempuan tak digambarkan dalam perangainya yang kuat, dominan, egois, atau agresif. Namun, mereka digambarkan sebagai sejujur-jujurnya manusia dengan sisi kerentanan beserta empatinya.

Mereka tak takut menangis, berkata jujur pada perasaannya, dan mampu berempati dengan baik dengan keadaan orang lain. Pun, mereka mampu menghargai orang lain terutama perempuan serta memberikan rasa aman dan nyaman.

Baca Juga: Rambut Pendek An San dan Feminisme yang Ditabukan Korea Selatan 

Realitas Masyarakat Korea Selatan

Perlambangan karakter laki-laki too good to be true dalam drakor nyatanya juga hadir sebagai alternatif realitas sosial budaya masyarakat Korea Selatan yang notabene masih sangat patriarkal.

Kekerasan terhadap perempuan di Korea Selatan misalnya, sudah menjadi epidemi. Dilansir dari The Korea Herald, pada 2019 Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan menerangkan, mereka telah mendakwa 9.858 orang dengan kejahatan terhadap pasangan mereka, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, pemukulan, dan penguntitan. Sebanyak 9.682 kasus tersebut korbannya adalah perempuan dengan setidaknya satu perempuan Korea Selatan dibunuh atau hampir dibunuh oleh pasangan laki-lakinya setiap 1,8 hari.

Pada akhir 2019, Korea Selatan bahkan sempat jadi sorotan dunia karena kasus kekerasan seksual daring, Nth Room. Kasus ini heboh karena estimasi jumlah pelakunya lebih dari 60.000 orang. Dilansir dari The Korea Times, gambar para perempuan korban dibagikan dan dijual ke lebih dari 260.000 pengguna Telegram (dipersempit menjadi sekitar 60.000 pengguna, dengan mempertimbangkan profil yang tumpang tindih) dan dibayar secara anonim dalam cryptocurrency.

Potret tentang kondisi perempuan ini pun disorot akademisi dan aktivis. Bahwasanya, kebencian terhadap perempuan setempat memang sudah lama mengakar. Hal ini pun diperparah dengan kondisi politik di Korea Selatan yang kini dipimpin oleh Yoon Suk-yeol. Dilansir dalam halaman website Amnesty International, sebagai figur politik, Yoon adalah sosok kontroversial, seksis, anti-feminis, bahkan berjanji menghapus Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga. Ia juga mengklaim diskriminasi gender sistemik tidak ada di Korea Selatan walau datanya jelas-jelas terpampang nyata.

Kondisi masyarakat yang tak pernah aman terhadap perempuan inilah kemudian yang jadi alasan kenapa akhirnya banyak perempuan Korea Selatan kehilangan kepercayaan terhadap laki-laki.

Karakter lelaki dalam drakor pun akhirnya menjadi alternatif dari realitas seksisme masyarakat Korea Selatan. Karakter-karakter ini adalah utopis dari pandangan perempuan yang mendamba dirinya bisa aman dan nyaman tinggal di masyarakat yang bisa memperlakukan mereka setara dengan rasa hormat. Maka laki-laki yang dituliskan oleh perempuan ini terlihat begitu sempurna, nyaris sepenuhnya berbeda dengan siapa yang mereka temui di kehidupan nyata.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *