Sebuah Novel Gugat Tradisi Kawin Tangkap dan Dorong Urgensi Kemanusiaan
Novel ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ karya Dian Purnomo menggugat tradisi kawin tangkap yang merampas hak perempuan.
Bagaimana rasanya menggigit urat nadi diri sendiri? Terdengar gila dan nekat? Tentu, sebab membayangkannya saja sudah membuat kita ngilu. Namun, ada yang lebih gila dan tidak manusiawi dibandingkan tindakan itu. Sialnya, dua hal gila ini dialami langsung oleh perempuan bernama Magi Diela, tokoh utama di dalam novel terbaru Dian Purnomo, Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam (GPU, Nov. 2020).
Diluncurkan 6 November 2020, di festival yang cukup diperhitungkan dalam kancah kesusastraan tanah air, Ubud Readers and Writers Festival, novel ini menyita perhatian karena menyoal sesuatu yang penting dan mendesak, yakni tradisi Kawin Tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Barat.
Menjadi penting sebab tradisi yang jadi muatan utama novel ini bukan tradisi yang menunjukkan kearifan dan kebijaksanaan masyarakatnya. Tradisi kawin tangkap adalah sebuah tradisi yang dipandang keluar dari nilai-nilai kemanusiaan dan merugikan kaum perempuan.
Secara kasar, budaya kawin tangkap bisa diartikan sebagai penculikan seorang perempuan dengan tujuan untuk mempersuntingnya. Kawin tangkap dimaksudkan sebagai usaha mempelai laki-laki yang ingin mempersunting perempuan idamannya tetapi terhalang besaran belis atau mahar yang tidak bisa ia penuhi.
Dulu, tradisi ini memang memiliki kedudukan yang mulia dalam tatanan masyarakat Sumba. Namun, yang belakangan menjadi masalah dan menyita perhatian banyak orang, tradisi ini sudah keluar jalur yang sepantasnya, dan digunakan sebagai benteng bagi perampasan hak-hak perempuan yang hendak menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Hal itulah yang direpresentasikan dengan jelas di dalam novel. Hal itu pulalah yang menjadi cikal bakal tindakan Magi Diela yang menggigit urat nadinya sendiri. Tindakan tersebut jelas sebuah kenekatan, tetapi di situasi yang memenjarakannya itu, Magi hanya terpikir bunuh diri adalah jalan keluar yang ada di tangannya.
Baca juga: Menjadi Anak Perempuan dalam Keluarga Batak
Ia diculik dan diperkosa atas nama tradisi, dan usaha yang ia upayakan dengan mengirimi surat orang tuanya sia-sia belaka. Magi telanjur menjadi korban dari tradisi kawin tangkap itu. Dan di sana, di tempat Magi tinggal, bukan rahasia umum lagi kalau perempuan yang sudah menjadi korban kawin tangkap akan berakhir dalam ikatan perkawinan.
Namun, bukankah perkawinan yang berlandaskan paksaan tidak lebih dari wujud lain dari sebuah penjara? Terlebih, yang akan dinikahi oleh Magi adalah orang yang menculik dan memperkosanya. Sebagai perempuan yang tidak mau begitu saja tunduk atas kekangan dan paksaan, Magi mengupayakan pembebasan diri. Tindakannya menyalahi nilai-nilai adat setempat, mengecewakan ayahnya, dan mengundang gunjingan tetangga sekitar sebab sebagai perempuan yang sudah menjadi korban berarti tidak perawan lagi. Tetapi Magi tidak hendak menyerah.
Kasus kekerasan terhadap perempuan
Dian membuat novel ini sebagai semacam rekaman seluruh usaha Magi dalam mengangkat martabat banyak perempuan Sumba, yang dianggap tak lebih dari properti yang bebas ditawarkan dan diperjualbelikan.
Dikisahkan, perlawanan terhadap kekerasan terhadap perempuan itu jelas bukan sesuatu yang mudah. Magi Diela harus menjalani beragam pelarian, perencanaan yang tak mudah, dan perlawanan atas trauma diri yang senantiasa membayanginya. Beberapa kali ia terjatuh dalam lubang keputusasaan, hingga petikan judul Menangis Kepada Bulan Hitam amat jelas menggambarkan betapa terpuruknya seorang Magi Diela.
Laki-laki yang ia lawan, yakni Leba Ali, bukanlah orang sembarangan. Ia punya jaringan yang luas, kedekatan dengan bupati setempat, dan itu banyak memudahkannya untuk terlepas dari jeratan hukum. Ditambah lagi, tindakan kabur Magi Diela sungguh mencoreng nama baik keluarga dan sukunya. Maka tak perlu heran, kalau perseteruan mereka sedemikian alotnya dan melibatkan banyak tokoh masyarakat setempat.
Baca juga: 5 Cara Perempuan Madura Lawan Pernikahan Anak
Perjuangan Magi dan para perempuan Sumba sesungguhnya tidak benar-benar selesai, sebab pendewaan terhadap adat dan budaya yang mengalahkan logika dan kemanusiaan belum sepenuhnya dihapuskan.
Kenyataannya, praktik ini masih terjadi sampai hari ini. Tidak sedikit orang yang meragukan apakah tradisi semacam kawin tangkap perlu dikaji ulang dan ditimbang kerelevanannya dengan kondisi zaman. Padahal, pengkajian itu amat perlu dilakukan, sebab hal ini pun sejalan dengan yang disampaikan penulis, yang mengatakan, “Budaya tidak dituliskan di batu yang tidak bisa dihapus permukaannya. Di atas batu pun, batu itu bisa dihancurkan. Jadi budaya, apa pun namanya, jika memang merugikan, kita bisa menghapusnya.”
Urgensi semacam itulah yang diangkat novel ini. Kendati keberadaannya mungkin hanya menjadi riak kecil di tengah-tengahnya, tetapi ia tetap tegas dengan gugatannya atas budaya yang mendiskreditkan kedudukan perempuan. Apalagi novel ini disampaikan dengan gaya bahasa yang cenderung pop dan enak diikuti, sehingga gugatan itu sungguh jelas tergambar di hadapan pembaca.
Sekali lagi, lewat sosok Magi Diela, penulis membawa harapan banyak perempuan yang dirampas hak dan harga dirinya. Ia ingin menegaskan, bahwa tradisi setua dan seluhur apa pun, kalau menanggalkan hak dan merampas nilai-nilai kemanusiaan, untuk apa masih dipertahankan?