Perlindungan Lingkungan Memburuk, Tak Ada Terima Kasih untuk Jokowi
Jokowi terbukti gagal melindungi lingkungan. Masalahnya, 'food estate' Prabowo dan kebijakan lingkungannya di masa depan, mungkin tak jauh berbeda.
Jelang berakhirnya masa jabatan sebagai RI-1, heboh karangan bunga dan spanduk bertuliskan ucapan terima kasih pada Presiden Joko Widodo. Di luar kontroversi dugaan bahwa itu sekadar teknis memoles nama baik, Jokowi memang tak cukup layak mendapatkan ucapan terima kasih. Salah satu alasannya karena kegagalan dia terhadap pemenuhan hak lingkungan warga.
Dulu pada awal masa pemerintahannya menegaskan komitmen “revolusi mental” dalam pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa strategi yang dijanjikan Jokowi kala itu adalah pemberantasan mafia sumber daya alam, gerakan pengelolaan sampah yang efektif, hingga penyelamatan dan rehabilitasi kawasan pesisir.
Komitmen tersebut sejatinya merupakan bagian dari tugas pemerintah untuk memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kewajiban ini tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28h.
Sepuluh tahun berlalu. Komitmen revolusi mental pengelolaan lingkungan hidup masih samar-samar terlihat. Dalam banyak kasus, upaya pemerintahan Jokowi justru gagal melindungi hak lingkungan warga.
Tengoklah kasus-kasus seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih parah setiap kemarau ekstrem melanda. Belum lagi persoalan sampah dan polusi di kawasan perkotaan yang justru memburuk dalam sepuluh tahun terakhir.
Indonesia kini akan memiliki presiden baru, Prabowo Subianto, yang juga berjanji akan melindungi lingkungan hidup. Namun, dari gelagat yang ada, upaya Prabowo dalam menjamin hak lingkungan warga masih meragukan.
Baca juga: ‘Demam Nikel’ Perburuk Skor Emisi, Kenapa Dilanjutkan Mas Gibran?
Nihil Komitmen Jokowi atas Isu Lingkungan
Tindakan dari Indonesia belakangan ini malah menjauh dari upaya untuk memenuhi hak atas iklim yang aman.
Selama lima tahun ke belakang, penerbitan izin baru untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di kawasan industri (PLTU captive) meningkat cukup signifikan. Studi dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyampaikan bahwa PLTU captive menunjukkan tren ekspansi yang sangat signifikan. Studi tersebut juga mencatat jumlah PLTU jenis ini justru meningkat hampir delapan kali lipat selama satu dekade, dari 1,4 gigawatt (GW) pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023.
Total PLTU captive dengan kapasitas sebesar ini sudah barang tentu akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang signifikan. Polusi di kawasan sekitarnya akan memburuk sekaligus memperparah perubahan iklim. Masyarakat yang tinggal di dekat industri smelter nikel, seperti di Weda, Kabupaten Halmahera Tengah dan di Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng, mengalami penurunan kualitas hidup akibat sumber air dan udara yang tercemar di dekat tempat tinggalnya.
Selain itu, tambang dan smelter nikel menjadi pemicu deforestasi yang selain mengakibatkan terjadinya banjir di pemukiman warga, juga melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang signifikan.
Jumlah PLTU captive berpotensi untuk semakin bertambah karena pemerintah Indonesia merencanakan ekspansi dan penghiliran beragam industri logam seperti nikel, alumunium, besi, baja, dan tembaga. Dari total kapasitas 14,4 GW PLTU captive yang direncanakan, sebanyak 9,8 GW di antaranya akan dibangun untuk menyalakan tungku fasilitas peleburan nikel. Sisanya, masing-masing sebesar 3,2 GW untuk smelter alumunium dan 1,4 GW untuk sektor industri lainnya.
Dalam level yang lebih makro, kebijakan energi pemerintah Indonesia juga malah mengalami kemunduran. Salah satu contohnya dalam rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang kabarnya sudah disepakati oleh Menteri ESDM dan DPR RI. RPP KEN ini tidak mencantumkan target perihal penghentian penggunaan energi berbahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas bumi.
Beleid tersebut pun masih mencantumkan teknologi-teknologi yang dapat memperpanjang usia operasi pembangkit bahan bakar fosil. Dua di antaranya adalah teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon serta bahan bakar pendamping batu bara (co-firing).
Lebih buruk lagi, RPP KEN juga menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 19-22 persen pada 2030. Dalam kebijakan saat ini, target energi terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025.
Baca juga: Ekonomi Ekstraktif: Bayang Kepunahan Perempuan Indonesia
Penegasan dari Lembaga Peradilan
Dalam menjalankan pengelolaan lingkungan, pemerintahan Prabowo sepatutnya memahami bahwa pemenuhan hak warga atas lingkungan bersifat mendesak. Ini terutama terkait dengan hak atas iklim yang aman sebagai bagian tak terpisahkan dari hak lingkungan warga.
Kebijakan yang memperparah perubahan iklim, seperti pemberian izin PLTU dan pengeboran minyak dan gas, akan menciptakan begitu banyak fenomena ekstrem mulai dari banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga menghilangnya pulau-pulau kecil. Dalam jangka panjang, iklim yang tak aman juga membahayakan kelangsungan hidup manusia di Bumi.
Pemenuhan hak atas iklim ditegaskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dalam putusan perkara antara Walhi melawan Kepala Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat yang terbit pada 13 Oktober 2022.
Dalam putusan ini, majelis hakim memerintahkan DPMPTSP Jawa Barat untuk mencabut Izin Lingkungan untuk PLTU Tanjung Jati A di Kabupaten Cirebon. Majelis hakim PTUN Bandung berpendapat bahwa penyusunan Amdal untuk kegiatan PLTU wajib disertai dengan analisis terhadap dampak perubahan iklim.
Perintah tersebut, menurut para hakim, adalah bagian dari kewajiban negara untuk menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Perintah majelis hakim PTUN Bandung juga senada dengan putusan Pengadilan Montana, Amerika serikat, dalam gugatan 16 pemuda (yang diwakili Rikki Held) melawan Pemerintah Negara Bagian Montana pada Juni 2023.
Pengadilan Montana mengamini gugatan pemuda Montana bahwa tindakan Pemerintah Negara Bagian Montana yang melarang analisis emisi gas rumah kaca dan dampak perubahan iklim sebelum memberikan izin untuk suatu usaha merupakan tindakan yang bertentangan dengan hak konstitusional mereka atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Para pemuda mengalami dampak-dampak perubahan iklim seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, sehingga menurunkan kondisi kesehatan mereka.
Kedua putusan di atas sama-sama menggabungkan pertimbangan antara kewajiban negara dalam pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dengan dampak perubahan iklim yang semakin memburuk. Selain itu, kedua putusan juga sama-sama menggarisbawahi kewajiban usaha dan/atau kegiatan berbahan bakar fosil untuk menganalisis dampak dari kegiatannya terhadap perubahan iklim.
Putusan PTUN sifatnya berlaku untuk umum (erga omnes). Artinya, pertimbangan-pertimbangan yang tercantum dalam putusan Walhi vs Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat wajib ditaati oleh pejabat pemerintahan lainnya.
Baca Juga: Pilpres 2024: Siapa Calon Paling Komit pada Energi Bersih?
Perkuat Gerakan Rakyat
Presiden Prabowo dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, akan dilantik pada 20 Oktober. Rezim mereka akan memikul catatan pemerintahan sebelumnya—yang jelas-jelas menjauh dari kewajiban pemenuhan hak atas iklim yang aman.
Untuk memastikan kebijakan dan regulasi mereka sesuai dengan amanat konstitusi dan upaya penanganan perubahan iklim, masyarakat harus memerkuat upaya bersama. Gerakan masyarakat juga penting untuk menjaga fondasi-fondasi penting dari perbaikan tata kelola hukum lingkungan yang baik seperti demokrasi, supremasi hukum, dan partisipasi publik.
Adapun target akhirnya adalah memunculkan tuntutan-tuntutan yang berpengaruh kepada presiden baru. Gerakan ini juga perlu mencakup langkah-langkah hukum untuk membatalkan keputusan maupun regulasi yang sudah keluar jalur.
Pada intinya, pemerintahan Prabowo harus segera menerbitkan kebijakan dan regulasi penghentian penggunaan bahan bakar fosil untuk memenuhi hak atas iklim yang aman bagi seluruh warga Indonesia.
Fajri Fadhillah, Peneliti Hukum pada Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.