Issues Opini

Antara Agama dan Moralitas: Kisah Religius Para Pekerja Seks

Zahra adalah Muslim kelahiran Inggris berusia 26 tahun. Ia terinspirasi dari perempuan lain yang menggunakan jilbab saat bekerja seks.

Avatar
  • May 26, 2023
  • 15 min read
  • 1072 Views
Antara Agama dan Moralitas: Kisah Religius Para Pekerja Seks

Namanya Tanya. Suatu hari saya berkesempatan ngobrol dengan Tanya soal betapa pentingnya Kristen Metodist baginya. Kami berbincang melalui video call, sehingga saya bisa sedikit melihat ruang tamunya di latar belakang. Ruang tamu itu juga merupakan ruang kerja Tanya, perempuan berusia 50 tahun yang bekerja penuh waktu sebagai pekerja seks virtual – ia menjual jasa seksnya melalui telepon dan webcam.

Bagi Tanya, mencari nafkah sebagai pekerja seks sama sekali tidak bertentangan dengan keyakinan agamanya. Tanya memberi tahu saya bahwa ia memiliki klien laki-laki yang curhat padanya tentang kesenangannya mengenakan pakaian perempuan. Klien itu mau terbuka padanya karena mereka berdua memiliki identitas agama yang sama.

 

 

Dia (klien) mulai berbicara banyak … dia bercerita, saya mendengarkan … dia bilang dia pergi ke gereja setiap hari Minggu dan menjadi penatua (pejabat) gereja. Dia terbuka soal itu. Saya bilang padanya bahwa dulu saya selalu menghadiri sekolah Minggu. Kemudian kami merasa terhubung, karena saya tidak terkejut dengan apa yang ia ceritakan pada saya. Dia bertanya apakah saya masih pergi ke gereja sekarang. Saya bilang tidak, tapi saya masih berdoa dan percaya pada Tuhan, dan menurutnya itu bagus.

Tanya meyakinkan kliennya untuk “tidak perlu merasa bersalah” dan bahwa apa yang mereka lakukan tidak “salah”. Dia bahkan mengatakan kepadanya: “Saya yakin ada orang lain yang rutin ke gereja namun melakukan hal ini juga”.

Tanya adalah salah satu dari 11 pekerja seks yang saya ajak berbincang, yang semuanya memiliki keyakinan agama dan spiritual.

Saya ingin mencari tahu bagaimana dua pilihan hidup yang tampaknya berlawanan ini dapat saling berhubungan dan dijalani bersamaan. Saya menemukan orang-orang seperti Tanya, yang bercakap-cakap dengan klien mereka tentang Tuhan dan agama. Saya juga berbincang dengan perempuan yang menggunakan agama sebagai alat untuk menarik klien atau sebagai taktik untuk mendapatkan lebih banyak uang atau, dalam beberapa kasus, melindungi diri mereka sendiri ketika merasa terancam.

Saya menemukan bahwa agama dan spiritualitas dapat menciptakan hubungan yang unik dan pengalaman yang bermakna bagi para pekerja seks dan kliennya.

Kisah Tanya menunjukkan bagaimana pengalaman kerja tidak hanya memiliki satu dimensi dan tidak hanya tentang menjual seks demi uang. Mereka bisa mendapat banyak makna. Seperti yang dikemukakan oleh jurnalis Melissa Gira Grant dalam bukunya, bahwa pekerja seks menuntut peran keterampilan sosial dan empati secara rutin.

Penelitian PhD saya mencoba menyoroti realitas kehidupan sehari-hari para pekerja seks religius, yang mencakup pengalaman positif dan pengalaman yang membuat stres.

Saya berbicara dengan pekerja seks beragama Kristen, Katolik, Islam), Paganisme Nordik, dan spiritual. Semua perempuan dalam penelitian ini berusia di atas 18 tahun dan merupakan pekerja seks konsensual.

Baca juga: Saat Feminis Terbelah dalam Isu Pekerja Seks

Agama, Dosa, dan ‘Moralitas’

Jadi, bagaimana pandangan agama-agama terhadap pekerja seks?

Penelitian oleh akademisi independen Benedikta Fones mengungkap bahwa dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Baru, representasi pekerja seks biasanya cenderung negatif.

Hal tersebut tidak mengejutkan. Pandangan stereotip religius tentang seks sebelum menikah adalah tidak bermoral, jadi apa bedanya dengan kerja seks?

Fones berpendapat bahwa ide-ide religius ini, tentang pekerjaan seks yang “tidak dapat diterima”, kemudian menyebar ke budaya yang lebih luas.

Penelitian menunjukkan bahwa agama Kristen, Yudaisme, dan Islam pada umumnya menganggap kerja seks adalah pekerjaan yang tidak bermoral.

Meski begitu, ada beberapa organisasi keagamaan atau badan amal yang memberikan dukungan penting bagi beberapa pekerja seks. Tapi ada juga “badan amal penyelamat”, yang keberadaannya bertujuan memberi wawasan lebih jauh tentang hubungan kompleks antara pekerja seks dan agama.

A stained glass window depicting Adam and Eve.
Ilustrasi Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden di jendela kaca patri di Gereja Katedral Brussel, Belgia. Shutterstock/Jorisvo

Sosiolog Gemma Ahearne menulis bahwa ada beberapa kelompok agama yang kerap memaksa orang untuk berhenti bekerja di industri seks dan ingin sepenuhnya memberantas kerja seks.

Bukan hanya doktrin agama yang menganggap pekerjaan seks tidak bermoral –– beberapa pekerja seks yang religius juga berpikir demikian. Ini ditemukan dalam sebuah penelitian di Thailand pada 2015.

Namun, para perempuan yang saya ajak bicara menolak narasi kutukan agama itu. Bagi mereka, agama dan pekerja seks dapat hidup berdampingan dan keduanya merupakan bagian yang berarti dalam hidup mereka.

Baca Juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Gunakan Agama untuk Dapat Lebih Banyak Uang

Salah satu penemuan pertama saya adalah bagaimana beberapa pekerja seks menggunakan agama untuk mendapatkan lebih banyak uang. Salah satu contohnya adalah ada seorang pekerja seks yang memanfaatkan simbol Muslimnya untuk meningkatkan daya tawarnya.

Zahra dan Islam

Zahra adalah Muslim kelahiran Inggris berusia 26 tahun. Ia terinspirasi dari perempuan lain yang menggunakan jilbab saat bekerja seks. Dari sini, ia menciptakan alter egonya, dengan mengenakan jilbab saat membuat konten seksual online dan saat bekerja sebagai escort atau pendamping (dalam konteks prostitusi). Zahra berkata:

Di Twitter … Saya berjejaring dengan seorang perempuan. Dia mengenakan jilbab, bukan dalam kehidupan nyatanya, tetapi menggunakannya untuk menghasilkan lebih banyak uang. Kliennya ada selebriti dan sebagainya, jadi, ya, saya memutuskan untuk menjadi “hoejabi”, begitulah saya menyebutnya, dan saya membuat konten mengenakan jilbab sembari melakukan itu. Dari situlah saya mendapat penghasilan.

Singkatnya, Zahra menggunakan jilbab dan, berdasarkan pengakuannya, “menghasilkan banyak uang dari itu”.

Namun koeksistensi identitas ini –– sebagai pekerja seks dan individu religius –– tidaklah sederhana, dan harus dikelola melalui proses negosiasi internal secara terus menerus. Zahra juga berbicara panjang lebar tentang permintaan klien yang dia tolak, karena jika menyetujuinya maka itu akan menentang nilai-nilai agama dan moral yang ia yakini.

Dia mengatakan: “Saya pernah menolak beberapa klien, karena mereka meminta saya untuk ‘duduk di atas Al-Qur’an dan orgasme’ atau melakukan posisi ‘menunggangi Alquran sambil mengatakan ini dan itu’, saya menolak. Buat saya, itu terlalu ekstrem.”

Jadi, meskipun Zahra menggunakan agamanya dan menseksualisasi simbol-simbol Islam, seperti jilbab, untuk mendapatkan lebih banyak uang, dia tetaplah seorang perempuan Muslim. Dia percaya pada Allah dalam kehidupannya. Dia menetapkan batasan dalam pekerjaannya untuk memastikan bahwa dia tidak bertentangan dengan keyakinan agamanya sendiri.

Namun, seksualisasi agama dengan cara ini bisa menimbulkan risiko.

Pada 2015, mantan pemeran film porno Mia Khalifa membintangi suatu film sambil mengenakan jilbab. Akibatnya, dia menerima ancaman pembunuhan dan dikritik keras oleh beberapa orang di komunitas Muslim. Beberapa mengklaim ia mengecewakan iman Islam (meskipun Khalifa sendiri dibesarkan sebagai Katolik).

Namun terlepas dari kontroversi seputar filmnya, Khalifa menjadi salah satu bintang yang paling dicari di situs film dewasa Porn Hub.

Menjadi seorang Muslim sekaligus pekerja seks mungkin berisiko, tetapi bagi Zahra, ini adalah sesuatu yang positif dan memberdayakan.

Dia tidak sendirian. Ada kelompok Muslim bernama Muslims for Full Decrim yang anggotanya adalah mantan pekerja seks yang mendukung dekriminalisasi industri seks. Jelas, komunitas agama seperti Islam sangat beragam dan ini tercermin dalam perasaan orang tentang agama dan pekerjaan seks mereka.

Maya, yoga dan spiritualitas

Pekerja seks lain yang saya temui –– perempuan asal Inggris bernama Maya, usia 25 tahun –– menggunakan elemen kehidupan spiritualnya untuk meningkatkan minat klien. Ia menunjukkan kamar tidurnya kepada saya melalui panggilan video.

Maya, seperti Tanya, adalah pekerja seks online, sehingga kamar tidurnya adalah ruang kerjanya. Tapi kamar tidur Maya juga merupakan tempatnya berlatih yoga. Dia mengatakan bahwa dia melakukan yoga di depan kamera untuk kliennya:

Ini (yoga) memberikan jalinan spiritual yang bagus, klien saya mengatakan mereka merasa santai saat menontonnya. Saya pikir ini lebih seperti subkultur … Saya mengirim video diri saya ke situs untuk membuktikan bahwa saya dapat melakukannya [yoga], saya menambahkannya dalam daftar keahlian saya sehingga orang dapat menemukan saya untuk secara khusus melihat saya melakukan itu.

Bagi Maya, melakukan yoga membuatnya merasa rileks sekaligus terhubung dengan identitas spiritualnya. Terlebih, yoga juga menjadi caranya menghasilkan uang. Ini menunjukkan bagaimana agama dan spiritualitas menjadi lebih beragam dan tidak terlalu terikat oleh aturan dan doktrin tradisional.

Maya mengelola keyakinannya secara fleksibel, seperti yang juga dilakukan oleh Zahra.

Silhouette of woman doing a yoga pose.
Seorang perempuan melakukan yoga di sebuah studio. Shutterstock/Luna Vandoorne

Pengalaman Maya dan Zahra membuktikan benar adanya permintaan beberapa pengguna jasa seks terhadap aktivitas seksual yang juga melibatkan hal-hal religius. Zahra dan Maya melakukan seksualisasi agama dan spiritualitas mereka saat bekerja seks untuk memenuhi keinginan klien mereka.

Khan, trans penganut Paganisme Nordik

Namun, ada juga perempuan lain yang membutuhkan agama untuk membantu mereka.

Khan, seorang perempuan transgender berusia 41 tahun, dibesarkan sebagai seorang Kristen, tetapi kini menganut Paganisme Nordik (tradisi agama yang mempercayai para dewa). Dia menceritakan pada saya bagaimana dia mengubah jalan agamanya karena merasa ada konflik antara identitas gendernya, identitasnya sebagai pekerja seks dan, khususnya, identitas Kristennya.

Dia mengatakan, menjadi perempuan transgender menimbulkan tantangan jika tetap menjadi seorang Kristiani dan agama Kristen tidak akan menerima pekerjaannya sebagai escort.

Saya rasa tidak ada cara untuk “mendamaikan” pekerjaan seks dengan agama Kristen.

Gagasan religius tentang amoralitas pekerjaan seks inilah yang membuat Khan mencari dan menemukan agama –– Paganisme Nordik –– yang lebih cocok dengan perasaan dan identitasnya.

Praktik Paganisme Nordik beragam dan orang-orang terlibat di dalamnya secara berbeda-beda. Penjelasan tentang Paganisme Nordik yang dimuat di spiritualityheath.com menyatakan bahwa ini “adalah praktik spiritual inklusif, terbuka untuk semua orang yang tergerak ke arahnya”.

Inklusivitas yang ditawarkan oleh agama ini tampaknya memungkinkan orang-orang dengan identitas beragam dan terpinggirkan untuk merasa diterima di dalamnya –– dengan kata lain, ini adalah komunitas agama yang bebas dari penilaian.

Bagi Khan, Paganisme Nordik adalah agama yang dapat menerimanya dan telah membantunya untuk mengatasi tantangan yang dia alami sebagai pekerja seks waria dalam iman Kristen.

Pengalaman Khan mendukung gagasan bahwa keyakinan agama menjadi lebih cair dan bahwa orang dapat menyesuaikan pilihan agama agar lebih selaras dengan “diri” mereka.

Tapi, seperti diceritakan oleh Tanya, ada pekerja seks Kristen yang tidak merasa berkonflik seperti yang dialami Khan. Keyakinan agama –– bahkan dalam agama arus utama seperti Islam dan Kristen –– beragam dan satu perspektif belum tentu bisa mewakili segala perspektif.

Baca Juga: Prostitusi Bukanlah Pilihan

Meningkatkan Kenikmatan Seksual

Topik lain yang juga saya teliti adalah apakah pekerja seks itu sendiri merasakan kenikmatan seksual saat bekerja. Poin ini jarang dibahas.

Menurut sejumlah perempuan yang berbincang dengan saya, selain menikmati seks dengan klien mereka, agama dan spiritualitas juga terkadang dapat meningkatkan kepuasan seks mereka, sehingga mereka merasa lebih terkoneksi.

Amy dan aura spiritual

Contohnya seperti yang dirasakan Amy, aktor porno asal AS berusia 23 tahun yang memiliki identitas spiritual. Perbincangan kami berlangsung selama hampir 3 jam.

Dia mengatakan bahwa menjadi pekerja seks dan memegang nilai spiritual bukanlah dua hal yang saling “berselisih satu sama lain”. Walaupun dalam hidupnya keduanya adalah 2 hal yang terpisah, tetapi terkadang hubungan seksualnya (misalnya, saat dia membuat konten pornografi) bisa sekaligus menjadi pengalaman spiritual.

Seks bisa menjadi hal spiritual bagi saya … Bahkan meskipun saya tidak memiliki hubungan dengan orang (klien) tersebut dan tidak akan bertemu maupun peduli tentang mereka lagi, atau apa pun itu, saya masih bisa menikmati momen saat melakukannya.

Amy mengatakan bahwa seks dapat “mematikan otaknya” dan “itu menjadi semacam pengalaman spiritual”. Spiritualitas Amy menyangkut “high vibes”, yakni mood atau aura yang mengandung kualitas positif, seperti cinta, dan “low vibes” yang terkait dengan kualitas negatif, seperti kebencian.

Jadi, bagi Amy, meskipun seks dan spiritualitas adalah 2 hal terpisah, ada juga garis yang kabur yang menghubungkan keduanya, dan beberapa pengalaman seksual saat membuat film porno memberinya “high vibes”.

LRE, astrologi

Pekerja seks lainnya yang saya ajak berbincang mengatakan bahwa seks, bagian dari pekerjaannya, bisa menjadi sangat menyenangkan ketika dia dan kliennya terhubung karena kecintaan yang sama pada astrologi dan tanda bintang.

An ancient clock showing zodiac signs.
Tanda zodiak pada jam kuno Torre dell’Orologio di St Mark’s Square, Venesia, Italia, Shutterstock/Viacheslav Lopatin

LRE adalah seorang Perempuan Inggris, 22 tahun, yang bekerja paruh waktu sebagai escort dan pembuat konten seksual. Seperti Amy, identitas spiritual LRE terkadang dapat meningkatkan kenikmatan seksualnya dengan klien.

Oh, zodiaknya (klien) Sagitarius… kami tengah melakukannya dan kemudian setengah jalan dia bertanya, zodiakmu apa? Saya merespons, ‘kamu adalah klien favorit baru saya’ … dia seperti tertawa dan tersenyum dan saya mengatakan ‘tidak, saya serius, saya suka ketika kamu menanyakan itu’ … dan menurut saya … inilah mengapa ada chemistry (ketertarikan) seksual seperti itu.

Meskipun pengalaman Amy dan LRE memiliki kesamaan, identitas spiritual mereka hadir dalam pekerjaan seks mereka dengan cara yang berbeda. Pada Amy, identitas spiritualnya belum tentu diketahui oleh sesama aktor porno yang berhubungan seks dengannya. Namun bagi LRE, identitas spiritualnya diketahui dan didiskusikan secara terbuka dengan kliennya.

Baca juga: Prostitusi dan Hak Seksual

Keyakinan Sebagai Strategi Tangani Situasi

Terlepas dari berbagai pengalaman seks yang positif dan sangat memberdayakan yang telah saya dengar, terkadang perlu juga diingat tidak semua pengalaman pekerja seks itu positif.

Lilly, Kristen Ortodoks

Salah satu contohnya adalah Lilly, perempuan asal Rumania usia 25 tahun, yang bekerja sebagai escort. Dia menganut Kristen Ortodoks dan kini tinggal di Inggris. Dia menceritakan bagaimana dia berdoa melalui pikirannya ketika sedang bersama klien yang membuatnya merasa tidak nyaman:

Jika saya memiliki masalah atau berpikir ada yang salah dengan orang ini, saya mulai berdoa dalam hati, dan itu membantu saya untuk tidak berpikir karena jika mereka merasa saya sedang takut, mereka akan mengambil kesempatan. Jadi, ketika saya mulai berdoa, saya melupakan rasa takut saya dan pergi dari perasaan itu, sehingga dia akan diam karena dia tidak merasakannya.

Tantangan keselamatan adalah risiko bahaya yang dihadapi para pekerja seks. Namun, penting untuk mengatakan bahwa setidaknya bagi Lilly, merasa tidak aman dengan klien bukanlah hal yang biasa.

Lilly memberi tahu saya bahwa pekerjaan seks memberinya peluang lebih besar untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak dibandingkan dengan pekerjaan lain yang mungkin tersedia baginya.

Saya memang merasa prihatin karena Lilly, kadang-kadang, dibuat merasa takut oleh kliennya. Tetapi saya juga paham betul bahwa bagi Lilly, pengalaman negatif tersebut tidak melebihi manfaat positif yang ia dapatkan dari pekerjaannya sebagai escort.

Dekriminalisasi

Salah satu cara agar pekerja seks bisa lebih aman adalah dengan mendekriminalisasi industri seks.

Mereka yang menentang dekriminalisasi tampaknya salah paham dan menganggap bahwa semua pekerja seks itu dipaksa, diperdagangkan atau dieksploitasi.

Bagi sebagian orang, ini benar terjadi, tapi bagi sebagian besar lainnya ini tidak benar. Segala kesalahpahaman bahwa semua pekerja seks adalah korban, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian, merupakan akibat dari stigma dan kurangnya pengetahuan tentang industri ini.

Penting juga untuk membedakan antara industri seks yang dikriminalisasi, dilegalkan, dan didekriminalisasi.

Kriminalisasi industri seks membuat semua praktik yang berhubungan dengan pekerjaan seks menjadi ilegal. Legalisasi industri seks adalah ketika bekerja seks menjadi pekerjaan yang legal dengan syarat kondisi tertentu yang ditentukan negara.

Protestors hold a banner that reads: 'Decriminalise sex work safety first'
Aksi protes di London pada July 2018. Shutterstock/Koca Vehbi

Inggris, misalnya, mengadopsi undang-undang yang sebagian besar telah melegalkan praktik kerja seks, kecuali di Irlandia Utara yang mengadopsi Model Nordik. Namun, beberapa praktik dalam kerja seks, seperti menawarkan layanan seks di jalan dan bekerja dengan pekerja seks lain dalam satu rumah (biasa dianggap rumah bordil) tetap dihukum pidana.

Dekriminalisasi adalah ketika pekerjaan seks tidak dijerat aturan pidana dan para pekerjanya dapat bekerja dengan bebas. Saya mendukung dekriminalisasi industri seks secara global karena dalam kondisi inilah pekerja seks dapat melindungi diri mereka sendiri dengan sebaik-baiknya dan ini juga bisa menjadi langkah awal untuk menghapus stigma terhadap mereka.

Penelitian menunjukkan dekriminalisasi adalah strategi terbaik untuk mengurangi dampak buruk dari industri seks itu sendiri, terutama untuk para pekerjanya.

Baca juga: Kisah Caca, Pekerja Seks Tuli yang Berperang Lawan HIV di Tubuhnya

Stigma Tingkatkan Risiko

Saya rasa, para perempuan yang saya wawancara sangat mendukung dekriminalisasi industri seks, meskipun tidak semua mempercayainya. Contohnya pengalaman Khan dan LRE, keduanya bekerja sebagai escort.

Khan tinggal dan bekerja di negara bagian AS yang melarang escorting. Jadi, jika kliennya licik, ia bisa mengadukan pihak staf dan keamanan di hotel tempat Khan bekerja bahwa Khan tengah “berkencan”.

… Amit-amit tapi, jika sesuatu terjadi, seperti misal ada staf atau keamanan (yang mendatangi saya) dan saya akan mengatakan saya sedang berkencan dan orang ini lalu dia tiba-tiba marah…

Khan terpaksa menyembunyikan pekerjaan seksnya dari staf ketika dia berpotensi dalam bahaya dan takut dituntut. Ini serupa dengan yang dialami LRE di Inggris. Dia menceritakan pada saya bagaimana dia harus menyembunyikan penghasilannya di sekitar kamar hotelnya saat dia melakukan escorting. Ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pencurian dan kekerasan.

… Jika saya mendapatkan uang, saya simpan £100 di brankas dan sisanya saya simpan saja di sekitar ruangan…

Semua perempuan yang saya wawancara mengatakan bahwa mereka tidak melaporkan kekerasan atau pencurian yang dilakukan kliennya ke polisi. Hal ini tidak mengherankan, mengingat bukti yang menunjukkan bahwa perempuan, laki-laki, dan pekerja seks transgender, semuanya berisiko lebih tinggi mengalami pelecehan seksual oleh polisi dibandingkan dengan non-pekerja seks.

Bukan ‘sekadar’ Pekerja Seks

Menurut saya, obrolan saya dengan para pekerja seks menunjukkan mereka bukan sekadar pekerja seks –– mereka memiliki identitas yang kompleks dan beragam. Kamu ternyata bisa menjadi pekerja seks sekaligus menjadi individu yang religius dan spiritual.

Namun, tidak selalu mudah untuk bisa membangun keseimbangan. Ini merupakan hasil dari kemampuan mengelola identitas dengan konstan dan terampil. Pengalaman Tanya, Maya, Zahra, LRE, Amy, Lilly, dan Khan menggarisbawahi betapa pentingnya mengenali keragaman orang yang bekerja di industri ini.

Meskipun ada juga pengalaman negatif dalam industri seks, perempuan yang saya wawancarai secara keseluruhan merasa diberdayakan oleh profesi mereka. Mereka melihatnya sebagai suatu peluang besar untuk menghasilkan uang dan merasakan pengalaman positif.

Dan, yang terpenting, apa yang mereka kerjakan tidak menghalangi keyakinan agama dan spiritual mereka. Seperti yang dikatakan Zahra kepada saya di akhir diskusi kami:

…Saya percaya pada Tuhan dan percaya pada Allah dalam kehidupan pribadi saya. Saya percaya akan hal itu.

Jadi, entah tentang Tanya yang “menghibur” seorang penatua gereja, atau Zahra yang menemukan cara untuk memanfaatkan keyakinannya sebagai Muslim, para perempuan ini telah membuka diskusi baru tentang apa artinya menjadi pekerja seks.

Semua nama dalam artikel menggunakan identitas samaran.

Daisy Matthews, PhD candidate in Sociology, exploring the lives of religious and spiritual sex workers, Nottingham Trent University dan Jane Pilcher, Associate Professor of Sociology, Nottingham Trent University.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Daisy Matthews and Jane Pilcher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *