Issues Politics & Society

Kekerasan Anak di ‘Daycare’ Depok, Saya Ngobrol dengan Ibu Pekerja untuk Cari Tahu Solusinya

Pengalaman kekerasan yang dialami anaknya, membuat dua ibu pekerja yang saya wawancara punya solusi penting agar kejadian itu tak terulang lagi.

Avatar
  • August 5, 2024
  • 7 min read
  • 1039 Views
Kekerasan Anak di ‘Daycare’ Depok, Saya Ngobrol dengan Ibu Pekerja untuk Cari Tahu Solusinya

*Peringatan pemicu: Kekerasan terhadap anak. 

Belakangan ramai video rekaman CCTV yang menampilkan dugaan kekerasan dua anak di daycare kawasan Depok. Dari akun X @gianluigich didapati, korban anak berusia 2 tahun dan 9 bulan ditendang, dicubit, dan dipukul di beberapa bagian tubuh hingga tersungkur. Selain mengharuskan korban anak mengikuti pemulihan psikologis, satu sisanya sedang dicek tim dokter terkait dugaan dislokasi kaki. 

 

 

Pelakunya, MI sendiri telah diringkus Polres Metro Depok pada (31/7) sejak kekerasan yang terjadi pada (10/6) itu viral pada akhir bulan lalu. Ia dijerat dengan Pasal 80 Ayat 1 Jo Pasal 80 Ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun.  

Dilansir dari CNN Indonesia, buntut kekerasan itu membuat para orang tua, termasuk ibu pekerja trauma. Saking traumanya, empat dari total sepuluh anak yang dititipkan di daycare dipindahkan orang tuanya ke penitipan anak lain. 

Keberadaan daycare ini sebenarnya penting agar ibu pekerja bisa tetap berkarier di ruang publik. Dalam series liputan #MerekajugaPekerja Magdalene disebutkan, daycare adalah salah satu aksi konkret dari kampanye redistribute atau mendistribusikan ulang beban kerja perempuan, yang gencar disuarakan International Labour Organization (ILO). 

Sayangnya, daycare yang tersedia, baik di perusahaan maupun di lingkungan masyarakat belum cukup memadai. Riset peneliti Kurniawati Hastuti Dewi dan Angga Sisca Rahadian bertajuk “Daycare sebagai bentuk dukungan terhadap ibu bekerja, pemerintah perlu jamin kelayakan dan keterjangkauannya” (2022) menyebutkan, banyak daycare yang belum dilengkapi dengan perangkat keamanan yang memadai, prosedur penitipan anak cenderung enggak teratur, serta standar untuk menjadi pengasuh yang berbeda-beda. 

Kalau pun ada childcare yang layak, kerap kali harganya mahal dan tak bisa dijangkau oleh ibu pekerja kalangan menengah ke bawah. Sudah begitu, nyatanya daycare mahal juga tak menjamin anak-anak bebas dari kasus kekerasan. Seperti halnya yang terjadi di daycare Depok tersebut. 

Baca juga: Kekerasan Anak Aghnia Punjabi, Tak Mudah buat Ibu Pekerja Tinggalkan Anak 

Apa Kata Ibu Pekerja Soal ini? 

Saya mewawancarai dua ibu pekerja untuk mencari tahu komentarnya soal ini. Mereka menawarkan sejumlah solusi alternatif ketika pemerintah tak bisa diandalkan seperti biasa dalam penyediaan childcare yang aman dan mudah diakses secara jarak dan biaya

Grace Anika, 30 punya tips sendiri soal ini. Tips itu ia pelajari setelah pengalaman anaknya mengalami trauma usai dititipkan di daycare dekat rumahnya di Depok.  

“Aku ingat banget, masukin anak saat awal-awal MPASI, umur anakku masih tujuh bulan. Waktu itu anak lagi belajar merangkak dan merembet di tembok atau meja. Suatu hari pihak daycare memberi tahuku dan meminta maaf karena tukang pipi anakku memar. Ngakunya sih jatuh. Cuma dari situ aku perhatikan semakin hari kok, anakku selalu takut datang ke daycare itu, bahkan cuma di perjalanan atau lihat pintu pagar daycare saja bisa menangis terus,” urai Grace, pekan lalu. 

Trauma anaknya semakin buruk dari hari ke hari. Sang anak bahkan ketakutan saat melihat perempuan berhijab dan bermasker. “Kebetulan penjaga anak di daycare memang rerata berhijab dan pakai masker karena saat itu sedang musim Covid-19,” terangnya. 

Kejadian itu membuat anak jadi kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain. Karena itulah, Grace terpaksa merelakan kariernya sebagai dosen tetap di perguruan tinggi Jakarta dan memilih jadi ibu penuh waktu. 

“Kasihan anakku masih kecil belum bisa cerita, pengalaman traumatis apa yang sebenarnya ia alami. Aku sempat dijulidin katanya mama harus tega sama anak biar tahu mamanya kerja keras. Namun, aku tetap perjuangkan anakku agar tumbuh kembang dan psikologisnya terjaga,” imbuhnya. 

Kasus kekerasan di daycare Depok baru-baru ini, membuat kenangan buruk Grace menitipkan anaknya di daycare terputar kembali. Ia bilang, enggak mudah buat ibu pekerja untuk menitipkan anak agar bisa terus berkarier dan mendukung perekonomian keluarga. “Butuh tekad, keberanian, dan kepercayaan. Saat kepercayaan disalahgunakan, anak yang kita besarkan dipukulin orang lain, saya ikut kecewa dan marah. Saya juga jadi tak mudah percaya pada orang lain,” tuturnya lagi. 

Berbeda dengan Grace, “Erika”, 32 juga mengaku terpukul melihat kekerasan anak yang terjadi di daycare Depok. Bedanya dengan Grace, ia tak punya pilihan selain menitipan anak di daycare karena upahnya sebagai pekerja dibutuhkan agar roda perekonomian keluarga tetap berjalan. “Saya enggak bisa resign, penghasilan saya jadi yang utama untuk meng-cover pengeluaran keluarga. Apalagi ada orang tua di kampung yang saya masih tanggung,” ungkapnya. 

Erika menyadari ada peran suami pula dalam pengasuhan anak, tapi profesi suami yang mengharuskannya bekerja di luar kota, membuat ia kelimpungan jika harus mengurus anak sendiri. Sementara, orang tua dan mertua sama-sama tinggal jauh berbeda pulau. 

“Saya pernah meng-hire nanny untuk menjaga anak di rumah. Namun, saya trauma karena anak sering dicubit oleh nanny saat sedang rewel. Kecurigaan itu muncul setelah anak selalu teriak histeris melihat nanny. Saat melakukan kesalahan, ia juga selalu menoleh ke nanny, mungkin takut dimarahi atau dicubit lagi. Ia juga langsung lari memeluk saya dan menghindari nanny-nya saat saya pulang kerja,” ceritanya. 

Kekerasan fisik yang dialami anak itu terkonfirmasi ketika para tetangganya melapor padanya. Kata mereka, ujar Erika, nanny sering sekali menampar, mencubit, atau menjewer kuping anaknya saat ia rewel atau susah diatur. “Rekaman CCTV pun saya cek, dan ternyata memang beberapa kali nanny itu tertangkap sedang melakukan kekerasan pada anak saat saya di luar bekerja banting tulang. Sakit hati banget kalau diingat-ingat,” ungkapnya. 

Sejak itulah, ia mempercayakan anaknya di daycare dekat rumah. Ia berharap anaknya tak lagi jadi korban kekerasan, karena sistem di penitipan anak yang lebih transparan. 

Baca juga: Daycare adalah Dukungan untuk Ibu Pekerja

Dukungan Komunitas dan Sesama Ibu Pekerja 

Baik Grace maupun Erika punya tips masing-masing dalam perawatan anak di daycare. Kata Grace, jika memang ibu atau ayah pekerja tak punya pilihan selain menitip anak ke daycare, maka perlu untuk mempelajari profil dan memilih tempat yang aman. 

“Mungkin bisa dari referensi atau rekomendasi orang lain. Perhatikan keamanannya, di samping pertimbangkan harga dan jarak yang terjangkau. Misalnya, apakah daycare itu punya CCTV, apakah orang tua diizinkan untuk mengakses rekaman CCTV jika diperlukan. Karena ada kasus di mana daycare tak punya CCTV juga tak mengizinkan orang tua memonitor anak lewat video call,” terangnya. 

Erika sepakat. Saat akhirnya memilih daycare untuk pengasuhan anak selama bekerja, ia sampai harus membandingkan sejumlah lokasi sekaligus. “Saya enggak mau kejadian kekerasan anak berulang. Karena itu, saya melihat ulasan orang di Google soal daycare itu. Mencari tahu apakah ada izin hukum resmi, dan lainnya,” tutur Erika. 

Di luar itu, yang paling penting sebenarnya adalah dukungan komunitas dan sesama orang tua pekerja. “Saya ikut grup orang tua dan menjaga pertemanan sama mereka. Tujuannya agar amit-amit jika terjadi apa-apa, kami bisa saling dukung. Saya juga menjalin hubungan dengan tetangga atau warga sekitar daycare untuk membantu pengawasan,” ujarnya. 

Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos 

Demikian halnya dengan Grace. “Community based support ya. Jadi kita bisa saling berbagi informasi, saling mendukung satu dengan yang lain, sekaligus memperketat pengawasan daycare. Jadi pihak daycare juga tidak semena-mena,” katanya. 

Dukungan sesama orang tua, termasuk ibu pekerja itu penting dan punya sejumlah manfaat. Selain meningkatkan kontrol terhadap keamanan daycare, ini juga membantu orang tua untuk meningkatkan kepercayaan dan menghindari penyakit mental. Penelitian terbaru yang dikutip Pshycology Today dalam “The Power of Parental Connection” (2024) menyebutkan, tanpa dukungan, 65 persen orang tua akan merasa terisolasi, kesepian, depresi, dan mudah cemas. 

Dukungan komunitas terhadap ibu pekerja pada akhirnya dibutuhkan sebagai salah satu solusi. Di luar itu, sebenarnya pemerintah sendiri sudah menyediakan aturan tentang daycare dalam Pasal 30 ayat 2c UU Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Di sana tertuang, selain tempat laktasi, perusahaan atau penyedia gedung wajib memberikan fasilitas tempat penitipan anak sebagai bentuk dukungan buat para ibu pasca-melahirkan. 

Namun, sembari mendorong agar pemerintah dan perusahaan menegakkan aturan ini, selemah-lemahnya iman yang bisa dilakukan sekarang adalah sesederhana berteman dan berserikat dengan sesama ibu pekerja. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *