Perempuan, Kelangkaan Minyak Goreng, dan Relasinya dengan Lingkungan
Hasrat memproduksi—kalau tak boleh disebut mengeksploitasi—minyak goreng sawit ini perlu dikontrol.
Alam sebagai penyedia kehidupan diperlakukan semena-mena, hutan dan lahan gambut dibabat demi lahan sawit. Label sebagai produsen minyak terbesar di dunia ternyata tak bisa menyelamatkan kita dari kelangkaan minyak. Sebuah ironi yang bukan cuma kita—rakyat—marah karena terimbas langung, tapi juga bikin dunia geleng-geleng.
Kelangkaan minyak goreng yang terjadi sejak akhir tahun lalu, kemudian memuncak pada Februari kemarin, seharusnya jadi pengingat buat pemerintah Indonesia: bahwa ketergantungan kita pada minyak goreng, dan pengelolaannya perlu dibenahi segera.
Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian (Kementan), luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Di saat yang bersamaan, luas perkebunan sawit itu juga telah mengorbankan lahan gambut dengan pengeringan dan pengalihan fungsi lahan. Fungsi gambut menjaga ketahanan hutan harus terkikis dengan kebutuhan memproduksi minyak goreng yang lebih besar. Padahal, Indonesia mempunyai lahan gambut terbesar se-Asia Tenggara dengan luas 20,2 juta hektare, salah satunya yg paling luas tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
Hasrat memproduksi—kalau tak boleh disebut mengeksploitasi—minyak goreng sawit ini yang perlu dikontrol.
Sejarah ketergantungan Indonesia pada minyak goreng sawit tak terlepas dari kolonialisme. Industri perkebunan sawit tumbuh di Indonesia sejak abad 19, ketika Hindia Belanda ada dalam genggaman kolonial Belanda. Pasokan sawit surplus, sehingga para pengusaha bisnis memutuskan untuk terus memproduksinya dan mengekspor ke mancanegara. Saat Indonesia merdeka, perkebunan sawit lalu dinasionalisasi, diambil alih segelintir pengusaha tajir dan diperah jadi gurita ekonomi yang keuntungannya mengalir hanya untuk mereka.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga dalam Kapitalisme: Kerjaannya Cuma Goreng-goreng Saja?
Di Orde Baru, Indonesia sebagai eksportir sawit diperhitungkan dunia. Sampai-sampai minyak goreng sawit menggeser permintaan minyak goreng kelapa. Tentu saja, sebabnya adalah harga minta goreng sawit yang lebih terjangkau, tak peduli kerusakan alam yang disebabkannya juga tak main-main.
Selama rentang waktu yang lama ini, kebiasaan kita mengonsumsi olahan makanan yang digoreng juga ikut jadi tabiat, lalu budaya. Di tahap tertentu, jadi ketergantungan yang bikin kelangkaan minyak goreng jadi begitu terasa.
Perempuan dan Alam Jadi yang Paling Terdampak
Ada yang jarang dibahas ketika eksploitasi alam—seperti eksploitasi sawit—ini terjadi, yakni: dampak dan keterkaitannya dengan perempuan.
Dalam krisis lingkungan hidup dan sumber daya dalam, penguasaan sumber daya alam diatur dan dikelola oleh korporasi, difasilitasi negara melalui kebijakan. Situasi itu biasanya makin parah karena sama sekali tidak melibatkan sudut pandang perempuan, ungkap Khalisah Khalid dalam Candraningrum (2014). Ide pembangunan sering kali menggeser kedaulatan perempuan dalam mengelola sumber daya alam.
Baca juga: Ketakutan Berhenti Bekerja dan Jadi Ibu Rumah Tangga
Perkawinan antara kapitalisme, patriarki, dan otoritas negara yang tidak sensitif ekologi bikin perempuan jadi terkena dampak paling besar dan jadi kelompok rentan ketika krisis ekologi terjadi.
Padahal, dalam Patriarchy and Accumulation on a World Scale (1986), Maria Mies menyebut kegiatan perempuan menyediakan pangan sebagai produksi kehidupan. Ia melihat hubungan produktif yang tidak eksploitatif, karena perempuan bukan cuma mengumpulkan dan mengonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi juga menjaga segala sesuatu di alam tetap tumbuh. Maria melihat hubungan perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra. Sehingga menciptakan hubungan khusus antara perempuan dan alam, hubungan timbal balik. Menurut Maria, perempuan adalah pelopor yang menemukan hubungan produktif dengan alam, karena mereka hanya mengambil kebutuhan subsisten dalam alam, dan tahu kapan berhenti.
Gerakan memeluk pohon oleh sekelompok perempuan desa Uttarakhand, di Himalaya yag dikenal sejak 1973, dan disebut Chipko, adalah salah satu contoh bagaimana perempuan menolak pembangunan yang merusak lingkungan alam.
Kelangkaan minyak goreng sawit di Indonesia jadi contoh nyata, bagaimana ekploitasi alam yang menjauhkan sudut pandang perempuan dalam pengelolaanya, justru akhirnya berdampak paling berat pada perempuan dalam peran domestiknya di rumah tangga—baik perempuan yang dalam rantai itu berperan sebagai konsumen, dan mereka yang juga pelaku usaha.
Kerja Reproduksi Perempuan yang Dikesampingkan
Dasar dari gerakan ekofeminisme, salah satunya yakni karena adanya feminisasi pada pekerjaan domestik. Artinya, perempuan dalam kultur dan struktur masyarakat patriarki mendapatkan beban utama pada pekerjaan rumah tangga. Perempuan dinaturalisasikan dengan tugas memasak, mencuci, mengasuh anak dan mengurus rumah. Alhasil, secara tidak langsung perempuan berada pada posisi penyedia kebutuhan.
Erat dengan makna “ibu pertiwi” yang ditempelkan pada alam. Dalam kosmologi timur, alam diibaratkan sebagai sumber penghidupan. Namun, oleh kapitalisme, posisinya berubah jadi objek yang dikeruk, dijarah, dan dieksploitasi.
Perempuan dalam struktur kehidupan masyarakat patriarki, terutama dalam lembaga keluarga, juga berperan sebagai poros. Perempuan dituntut untuk menyediakan segala kebutuhan, menopang keluarga dan menopang kehidupan. Dalam kacamata ekofeminisme, eksploitasi lahan untuk perkebunan sawit tidak hanya mengancam keseimbangan alam, tapi juga semakin menekan peran perempuan sebagai ibu dalam urusan rumah tangga.
Dalam kajian gender, budaya pada masyarakat patriarki menempatkan laki-laki dengan keuntungan, terutama pada sektor publik. Sebaliknya, perempuan yang dinaturalisasi pada sektor domestik tidak mendapatkan kesempatan setara seperti laki-laki.
Dalam sistem kapitalisme, yang dianggap kerja atau diberi nilai sebagai pekerjaan adalah hal-hal yang dianggap “produktif” atau sesuatu yang langsung berkontribusi terhadap ekonomi. Oleh kapitalisme yang berkawin dengan patriarki, pekerjaan-pekerjaan itu biasanya diasosiasikan dengan laki-laki. Sehingga pekerjaan-pekerjaan yang bersifat reproduktif, seperti pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan ibu rumah tangga, akan diasosiasikan dengan perempuan.
Waktu di luar “ekonomi” ini yang sering kali lewat dari definisi sempit bekerja. Padahal, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, atau yang populer disebut pekerjaan reproduktif, memastikan lingkungan rumah cukup kondusif untuk para pekerja ini mengisi kembali bahan bakar fisik dan emosional mereka untuk bekerja lagi di keesokan harinya. Lokasi utama terjadinya pekerjaan ini adalah rumah dan keluarga, dua hal yang secara disproporsional ditanggung oleh perempuan.
Kelangkaan minyak sawit akhirnya berdampak paling berat pada perempuan, yang tanggung jawabnya—kerja reproduktifnya—tidak dihargai oleh sistem yang berkuasa. Maka, yang dibutuhkan adalah pembuatan kebijakan yang melibatkan perempuan, selain menyadari bahwa eksploitasi pada alam ini perlu dihentikan segera. Namun, dalam sistem kapitalisme yang telah berkawin dengan patriarki, representasi perempuan di posisi-posisi pembuat kebijakan tidak cukup untuk meruntuhkan akar pembangunan ekploitatif yang sedang kita rasakan. Kita perlu lebih kritis lagi pada segelintir orang-orang di puncak kekuasaan, yang dapat keuntungan langsung dari ekploitasi ini.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.