Dear Megawati, Ibu-ibu Tak Cuma Menggoreng tapi juga Turun ke Jalan
Megawati harus setop meremehkan perempuan. Orde Baru saja tumbang karena ibu-ibu ikut turun ke jalan.
Dear Bu Megawati,
Pertama kali familier dengan Ibu adalah ketika saya berusia 6 tahun. Sosok Bu Mega saya ketahui lewat cerita-cerita Mama. Saat itu, medio 1998, tak cuma Jakarta yang sedang membara, tapi ekonomi keluarga kami juga. Saya ingat, Mama bilang betapa sulitnya memenuhi kebutuhan susu untuk saya, putri semata wayangnya. Jangankan susu, buat beli beras saja harus setengah mati. Bapak saya yang seorang pekerja lepasan, lebih banyak menganggur hari-hari terakhir Orde Baru. Sementara Mama saya yang sudah hamil tua, terlalu lelah untuk bekerja di luar rumah.
Alhasil, setiap hari saya diberi tajin, air rebusan beras berwarna putih pekat. Kata Mama, “Ini sama saja seperti susu, nanti kamu akan terbiasa.” Saya manggut-manggut, meski tetap membatin, kenapa air tajin tak seenak susu kaleng. Namun, untuk anak kelas 1 Sekolah Dasar (SD) yang sedang tinggi-tingginya rasa ingin tahu, lebih banyak pertanyaan penting dan menarik di tahun-tahun tersebut, alih-alih bertanya perihal rasa tajin yang aneh.
Misalnya, “Ma, siapa ibu-ibu di televisi yang ada tahi lalat besar di dagu kanan itu?” “Ma, kenapa orang-orang mengamuk di jalan bawa bendera?” “Ma, kenapa kita enggak berbelanja lagi ke supermarket?” “Ma, kenapa orang mata sipit (orang Cina) dikejar-kejar?” “Ma, ibu-ibu di televisi itu rebutan apa?” Pertanyaan yang sudah barang tentu membuat Mama saya bingung menjawabnya. Sependek ingatan saya, dia cuma akan bilang, “Lagi genting, doakan Bu Megawati yang naik,” sembari menyuruh saya diam.
Saat itu saya paham, Megawati adalah idola Mama. Bahkan sejak Kerusuhan 27 Juli (Kuda Tuli) 1996, Mama sudah menaruh simpati besar pada putri mendiang Soekarno itu. Saat Soeharto sedang gencar-gencarnya dibombardir kritik pada 1998, karena inflasi menggila hingga 60 persen, kurs rupiah mencapai Rp16 ribu, stok sembako di supermarket dan pasar tradisional kosong melompong, warga Cina diperkosa dan dijarah tokonya, bapak-bapak sibuk mengantre minyak goreng di gudang Badan Urusan Logistik (Bulog), Suara Ibu Peduli memprotes harga susu yang naik, kecintaan Mama pada sosok perempuan bertahi lalat di dagu kanan itu tetap bertahan.
Baca juga: Sebuah Ode untuk Indomie: ‘I Love You 3000’ Meski Hargamu Naik
Sampai akhirnya Soeharto lengser, Mama adalah orang pertama yang bersorak di rumah. Tak lama kemudian, dalam sebuah upacara bendera di lapangan kampung kami, 17 Agustus 1998, Mama berbaris paling depan mengenakan setelan jas bunga-bunga warna merah, lalu menyanyikan lagu mars partai berlambang banteng.
Demikian juga, kala Bu Megawati naik jadi Presiden RI, Mama menaruh harapan besar. Tiap hari ia memuji prestasi Ibu sebagai perempuan pemimpin pertama, pendobrak, penyambung lidah kami orang-orang kecil. Apalagi saat Bu Mega berhasil memulihkan krisis moneter, masa-masa suram yang bikin saya terpaksa minum tajin pagi, siang, dan malam.
Bertahun-tahun berselang, kecintaan Mama pada Megawati tak kunjung pudar. Bahkan saat Bapak saya di rumah sudah berganti-ganti jadi kader partai A sampai Z, Mama setia dengan Bu Mega.
Sampai kemarin, (18/3), Mama menelepon saya dari Jogja dan bilang, “Nduk, Mami udah enggak suka lagi sama Mega.” Saya kaget, fans garis keras Megawati, yang dengan sukarela menyanyi lagu mars partai di lapangan tanpa dibayar, bukan kader tapi siap sedia membela saat saya dan adik mengritik keras Megawati, sekarang memutuskan untuk berhenti “mencintai” sosok itu. Yang saya pelajari dari hidup selama tiga dekade, seseorang pasti terluka atau kecewa amat berat sampai ia menyatakan sikap, membenci orang yang dulunya amat dikagumi.
Baca juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan
Megawati dan Pernyataan yang Melukai Mama
Bu Mega yang baik,
Mama saya berusia kepala lima. Namun, ia masih lincah belanja di warung, pasar, dan supermarket hingga hari ini. Saat harga minyak melambung mencapai Rp50.000 untuk ukuran 2 liter, Mama masih berusaha keras untuk mengantre, berdesak-desakan dengan ibu-ibu dan bapak-bapak lainnya. Ia pernah curhat, disenggol sampai tersungkur oleh ibu-ibu lainnya yang ingin mengambil kuota minyak goreng lebih banyak. Sebagai informasi, biasanya pembelian minyak goreng di retail-retail modern dibatasi per kepala maksimal 2 liter.
Buat mama, urusan membeli minyak adalah serupa kemenangan dan kepuasan karena dia bisa menyajikan hidangan enak untuk keluarganya di meja makan. Maka, saat Megawati dalam sebuah webinar “Cegah Stunting untuk Generasi Emas” yang disiarkan Youtube Tribunnews, (18/3) berujar, “Saya tuh sampai ngelus dada, bukan urusan masalah mahalnya minyak goreng. Saya itu sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng? Sampai begitu rebutannya?” ibu saya kecewa berat.
Ini adalah kekecewaan yang akhirnya tumpah setelah puluhan tahun memuji, membela, dan mengagumi sosok yang menurut dia adalah prototipe perempuan sempurna. Saat publik ribut-ribut soal kekerasan Hak Asasi Manusia di Aceh dan Papua yang terjadi di masa Megawati, Mama saya kukuh membela. Saat Munir, aktivis kemanusiaan dibantai di pesawat dalam perjalanannya ke Belanda, Mama tutup telinga. Saat Omnibus Law Cipta Kerja diketok palu di masa kepemimpinan anak Ibu, Puan Maharani, dan keluarga kami turut terseret dampaknya, Mama pun berbaik sangka.
Namun kali ini Mama tampaknya tak tahan dengan Bu Megawati. Sebagai sesama perempuan yang suka memasak dan makan gorengan–saya tahu Bu Mega menggoreng bakwan spesial untuk Prabowo–lantas kenapa Ibu melukai hati Mama? Susah lho, Bu mempertahankan cinta jangka panjang pada seseorang, saya sendiri sudah mengalaminya.
Pernyataan Bu Mega kurang sensitif karena dinilai abai dengan masyarakat, khususnya perempuan Indonesia yang menjadi korban dari naik dan langkanya minyak di pasaran. Bu Mega mungkin lamat-lamat mendengar atau menyaksikan langsung di media massa, ibu-ibu pingsan saat mengantre minyak goreng. Ada yang menyeruduk satpam supermarket atau bertengkar dengan ibu-ibu lainnya karena berebut minyak goreng. Ada orang seperti Mama saya, seorang fanatik Megawati lalu memutuskan berhenti mengidolakan. Dalam hal ini, menyuruh ibu-ibu mengolah bahan makanan dengan mengukus dan merebus jelas tak solutif. Memangnya bakwan bikinan Ibu untuk Prabowo akan tetap enak jika dimasak dengan cara direbus?
Baca juga: Penunjukan Megawati Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN dan Pentingnya Riset Netral
Yang Harusnya Megawati Lakukan
Sebenarnya untuk mengembalikan kecintaan Mama pada Ibu gampang-gampang saja. Kurangi pernyataan yang tak peka dan justru jadi blunder untuk Ibu sendiri. Daripada mengritik cara memasak ibu-ibu lain, bukankah akan lebih mudah jika Ibu mendorong kader-kader partai Ibu untuk membuat hak angket di Parlemen agar mafia minyak–kalau pun ada–segera diusut. Apalagi dengan kuasa Thanos, eh kuasa Ibu maksudnya, sebagai Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia (PDI-P), ditambah privilese anak Ibu sebagai Ketua Parlemen, membuat diskresi semacam itu tentu bukan perkara sulit.
Saya tahu, perkara mengurus harga minyak ini memang rumit ya, Bu, enggak sesederhana isi surat saya. Sudah berapa kali pemerintah bongkar pasang kebijakan lewat otoritas Kementerian Perdagangan. Namun, tetap saja ambyar tak bisa menahan turbulensi harga minyak goreng. Dari menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp14.000, mengembalikan harga minyak goreng kemasan ke nilai keekonomian, hingga menyubsidi minyak goreng curah dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Semua gagal.
Kalau sudah begitu, lebih baik Ibu ingatkan baik-baik Pak Jokowi, siapa tahu pemerintah bisa lebih mendengarkan jika Ibu yang bicara. Ingatkan ke pemerintah untuk buat diagnosis masalah yang tepat, memperketat pengawasan, dan menetapkan kebijakan yang pas biar ibu-ibu di tanah air enggak lagi sibuk berebut. Ingatkan soal solusi tepat mengatasi minyak goreng ya, Bu, bukan solusi untuk berkuasa lagi ketiga kalinya lewat penundaan Pemilihan Umum (Pemilu). Hehe. Belajar, Bu dari pengalaman, harga susu dan sembako naik pada 1998 saja bisa bikin rakyat mengamuk sampai mau menjungkalkan presiden yang 32 tahun berkuasa. Bukan tak mungkin sejarah berulang bukan?
Di luar itu, Ibu kan tahu, minyak sawit (CPO) selain untuk kepentingan industri juga menyangkut urusan perut, sehingga orang-orang cenderung lebih sensitif. Sama sensitifnya dengan pertanian yang mau disubstitusi oleh bisnis tambang andesit di Wadas. Ini sensitif karena mereka yang mayoritas jadi petani untuk mengisi perut, harus kehilangan pekerjaan. Atau saat ibu-ibu yang tergabung di Suara Ibu Peduli enggak mau anak mereka kelaparan pada 1998, sampai mereka nekat panas-panasan di depan Bundaran HI memproses kenaikan harga susu. Ibu-ibu memang kalau sudah nekat, semua bisa turun ke jalan kok, Bu. Engak sekadar goreng-menggoreng saja di rumah sambil menonton sinetron.
Sekali lagi, perkataan Bu Mega semacam luka di borok kami. Kalau enggak ditindak, bikin kami makin sakit. Mohon maaf, nih, Bu, mungkin sudah saatnya Ibu belajar untuk lebih sensitif lagi dan mengerti jeritan perempuan-perempuan seperti Mama, saya, dan lainnya. Biar slogan membela wong cilik yang konsisten Ibu dengungkan sejak Orde Baru itu enggak jadi pepesan kosong, Bu. Terima kasih.
Oh, iya, Bu, dapat salam dari Mama saya, mantan fans Ibu.
Ilustrasi oleh Karina Tungari