December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Kita Butuh Bahasa Hukum yang Inklusif Agar Keadilan Tak Lagi Berjarak 

Bahasa hukum kita terlalu rumit untuk dipahami oleh awam. Kesulitan itu menciptakan jurang antara masyarakat dan keadilan. Apa yang bisa dilakukan negara?

  • July 14, 2025
  • 7 min read
  • 1794 Views
Kita Butuh Bahasa Hukum yang Inklusif Agar Keadilan Tak Lagi Berjarak 

“Eh, kamu paham istilah ini enggak?” tanya teman kepada saya di suatu pagi saat rapat di kantor.  

Ia menunjuk istilah di dalam undang-undang (UU) yang tak ia pahami. Sambil mengingat, saya mencoba menjawab pertanyaannya berdasarkan pengetahuan pribadi. 

Pertanyaan seperti itu bukan pertama kali saya dapatkan. Sebagai mahasiswa Hukum, saya sering ditanya soal istilah hukum–yang banyak menggunakan istilah asing. Saya juga kerap diminta menjelaskan pasal dari peraturan yang tata bahasanya njelimet untuk awam.  

Kadang, ada pertanyaan yang bisa saya jawab langsung. Namun, ada juga pertanyaan yang perlu saya research terlebih dahulu sebelum menjawab, karena memahami bahasa hukum memang sulit, sekalipun bagi mahasiswa Hukum. 

Kesulitan memahami bahasa hukum itu membuat bahasa hukum bersifat esoteris, atau hanya dapat dipahami oleh orang-orang dengan latar belakang Hukum. Karena hal itu, teman–teman dari jurusan non-Hukum sampai komplain. Katanya, bahasa di UU sulit dimengerti oleh awam. Padahal UU dibuat untuk masyarakat, maka seharusnya masyarakat dapat memahami hukum dengan mudah.  

Perkataan itu menjadi refleksi bagi saya. Dulu, saya merasa bangga bisa menjelaskan istilah-istilah hukum yang sulit, seolah itu menunjukkan saya si paling ‘paham hukum’. Kini, saya ikut bertanya, kenapa hukum mesti tak mudah dimengerti umum? 

Baca Juga: Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (1) 

Kenapa Bahasa Hukum Sulit Dipahami? 

Kesulitan memahami bahasa hukum adalah pengalaman yang umum terjadi, bahkan bagi mahasiswa Hukum sendiri. Saya pun merasakannya saat kuliah karena kerap kesulitan memahami isi peraturan atau dokumen hukum. 

Pertama, dari segi struktur kalimat, bahasa hukum kerap kali memuat terlalu banyak informasi dalam satu kalimat tanpa jeda. Memang, ini ditujukan untuk merinci ketentuan-ketentuan hukum, karena pembuat hukum ingin meminimalisasi ambiguitas di dalam peraturan. Namun, di sisi lain, justru dapat membuat pembaca bingung dan harus membaca ketentuan tersebut secara berulang-ulang untuk memahami maknanya. Ditambah, minimnya tanda baca koma atau titik di dalam peraturan membuat pembaca cukup ngos-ngosan pas baca karena enggak napas. 

Kedua, bahasa hukum banyak menggunakan terminologi khusus. Ketika sedang membaca dokumen hukum atau menonton persidangan, pasti ada terminologi hukum yang digunakan dan hanya dipahami oleh para ahli hukum saja. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan terminologi ini akan kesulitan memahami arti dan implikasi dari istilah-istilah tersebut. Belum lagi, terminologi itu banyak menggunakan serapan bahasa asing, karena belum ditemukan padanan katanya di dalam Bahasa Indonesia.   

Misalnya, Pasal 29 Undang-Undang Hak Cipta, menggunakan istilah mutatis mutandis, frasa latin yang meskipun sudah ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), padanan kata ini jarang dipahami oleh khalayak umum. Ketika kata-kata seperti ini muncul tanpa penjelasan, pembaca awam tentu kesulitan menangkap maksud dari peraturan.  

Permasalahan di atas sejatinya dilatarbelakangi oleh ketidakfasihan cendekiawan hukum dalam memahami bahasa Indonesia yang baik. Dikutip dari Shanty (2016), penelitian Adiwijaya dan Hartini menunjukkan kaum cendekiawan Indonesia belum fasih berbahasa Indonesia secara terstruktur. Dalam bidang hukum, hal ini disebabkan banyak ahli dan pakar hukum Indonesia masih terpengaruh terhadap tata bahasa asing terutama Belanda. 

Pengaruh itu tidak terlepas dari sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah oleh Belanda. Sejarah menunjukkan bahasa hukum Indonesia–terutama dalam produk perundang-undangannya–merupakan produk yang berasal dari orang Belanda. 

Beberapa ahli atau pakar hukum generasi awal pun umumnya pergi menimba ilmu ke Belanda, karena hukum Indonesia dulu mengacu pada hukum Belanda. Mereka lalu menerjemahkan pemikiran hukum Belanda secara langsung ke dalam bahasa Indonesia. Namun, penerjemahan ini sering kali tidak mempertimbangkan struktur bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan berujung pada ketidaktepatan penerjemahan.

Dua ahli sosiologi hukum Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, menyebut fenomena ini sebagai kesembronoan penerjemahan. Mengutip Hukum Online, Guru Besar Hukum Adat Universitas Lampung Hilman Hadikusuma, dalam bukunya Bahasa Hukum Indonesia, mengatakan salah terjemahan terutama dari bahasa Belanda banyak ditemukan dalam bahasa hukum Indonesia, yang disebabkan karena para sarjana hukum yang menerjemahkan lebih menguasai tata bahasa Belanda. 

Kesalahan itu, salah satunya, dapat terlihat dalam istilah yang telah mendarah daging di dalam hukum Indonesia, yakni ‘barangsiapa’, yang merupakan terjemahan dari bahasa hukum Belanda ‘Hij die’. Tentu maksudnya bukan barang kepunyaan siapa, tetapi ‘dia yang berbuat’ atau ‘siapa pun yang berbuat’. 

Baca Juga: Tebang Pilih Hukum Narkotika: Rakyat Dibui, Polisi Disuruh Solat  

Picu Ketimpangan 

Nyatanya, fenomena kesulitan memahami bahasa hukum tidak hanya terjadi di Indonesia, The Oxford Handbook of Language and Law mencatat tren perkembangan bahasa hukum di seluruh sistem hukum dunia begitu rumit dan berbelit-belit.  

Kerumitan ini menjadikan bahasa hukum tampak eksklusif dan tidak ramah bagi masyarakat luas. Akibatnya, hukum seolah menjadi milik segelintir orang yang memiliki latar belakang pendidikan atau akses terhadap sumber daya tertentu. 

Di sinilah ketimpangan mulai terbentuk. Ketika bahasa hukum tidak dapat dipahami oleh warga biasa, maka mereka akan kesulitan untuk mengetahui, apa lagi memperjuangkan hak-haknya sendiri. 

Dalam buku An Introduction to Forensic Linguistics Language in Evidence, Coulthard dan rekan-rekannya menemukan kalau kesulitan dalam memahami bahasa hukum menyebabkan ketimpangan kekuasaan antara praktisi hukum dengan masyarakat yang awam hukum dalam proses hukum.  

Ketimpangan ini juga terjadi dalam berbagai sektor kehidupan. Dalam laporan Hukum Online, fenomena rumitnya bahasa hukum pun terjadi dalam praktik perlindungan hak cipta. Dalam konteks industri kreatif, banyak seniman tidak memahami substansi hukum yang mengatur karya mereka. 

Alih-alih menjembatani antara hukum dan pelaku seni, bahasa yang terlalu teknis di dalam peraturan justru memperlebar jarak antara pelaku seni dan hak-hak hukumnya sendiri. Akibatnya, mereka menjadi rentan terhadap pelanggaran atau eksploitasi. 

Contoh tersebut menunjukkan kerumitan bahasa hukum bukan sekadar masalah linguistik semata, melainkan persoalan akses dan keadilan. Ketika bahasa menjadi tembok yang memisahkan warga dari pemahaman atas hak-haknya, maka yang tercipta bukan hanya kebingungan, tetapi juga ketidakadilan struktural

Baca Juga: 5 Masalah Mendesak Kebijakan Narkotika: Dari Lapas Penuh hingga Ganja Medis 

Apa yang Bisa Dilakukan Negara? 

Berbagai negara di belahan dunia telah memulai gerakan plain language, atau penyederhanaan bahasa dalam ranah kebijakan publik. Gerakan plain language merupakan upaya untuk membuat dokumen hukum dan informasi publik lebih mudah dipahami oleh semua orang. Gerakan ini berfokus pada penggunaan bahasa yang jelas, ringkas, dan langsung.  

Negara yang telah mempraktikkan plain language salah satunya adalah Swedia. Di dalam Undang-Undang Bahasa Swedia yang disahkan pada 2009, diatur kalau bahasa yang digunakan di sektor publik harus jelas, sederhana, dan mudah dipahami. Pihak berwenang harus menyampaikan informasi dengan cara yang mudah dipahami, dan setiap orang yang terdampak oleh informasi yang dikomunikasikan berhak untuk memahami. 

Mengutip Umea University, Perjalanan Swedia dalam memulai gerakan plain language telah dimulai sejak 1967, saat itu Kantor Perdana Menteri Swedia menerbitkan pedoman untuk bahasa dalam undang-undang. Pada 1980-an, pemerintah Swedia menunjuk Komisi Perawatan Bahasa untuk meninjau kegiatan perawatan bahasa oleh otoritas publik. Pengadilan Banding Svea bahkan menerbitkan publikasi khusus untuk meningkatkan kesadaran para pengacara terhadap isu-isu bahasa dalam hukum. 

Selain Swedia, Selandia Baru juga sudah mengadopsi plain language di dalam hukum, lewat undang-undang plain language yang disahkan pada 2022. Undang-Undang ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas lembaga layanan publik serta agen pemerintah, dengan mempermudah akses masyarakat terhadap dokumen-dokumen publik. Tujuan tersebut dicapai dengan mendorong penggunaan bahasa yang sesuai dengan pembacanya, serta disampaikan secara jelas, ringkas, dan terstruktur dengan baik. 

Indonesia sebenarnya bisa mencontoh Swedia dan Selandia Baru dalam menyederhanakan bahasa hukum agar bisa dimengerti publik. Bahasa hukum Indonesia sendiri telah banyak dikritik oleh para ahli karena kerap ditemukan kesalahan dalam ejaan, bentuk baku, susunan kalimat, dan terjemahan. Ditambah, tingkat literasi membaca orang dewasa di Indonesia masih tergolong rendah.  

Mengutip The Conversations Indonesia, berdasarkan hasil survei The Programme for the International Assessment of Adult Competencies (PIAAC) di Jakarta, sekitar 70 persen orang dewasa hanya memiliki kemampuan literasi pada Level 1 atau lebih rendah. Artinya, mereka hanya mampu memahami teks pendek yang menggunakan kosakata dasar. Hanya 5,4 persen yang mampu membaca dan memahami teks dengan kompleksitas sedang (Level 3), dan hanya sekitar satu persen yang mampu menyerap informasi dari teks panjang dan rumit (Level 4–5).  

Dengan kondisi tersebut, penggunaan bahasa hukum yang rumit justru menciptakan jurang keterjangkauan informasi hukum yang makin lebar. Penyederhanaan bahasa hukum tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk mewujudkan keadilan yang dapat diakses oleh semua kalangan. 

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan

Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.