Tebang Pilih Hukum Narkotika: Rakyat Dibui, Polisi Disuruh Salat

Enam anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan, terbukti menggunakan narkotika pada 28 Mei 2025. Tapi alih-alih dipecat atau dikenai sanksi hukum pidana, mereka hanya dihukum salat selama 14 hari, memakai helm saat apel pagi dan siang, serta diwajibkan olahraga tiga kali sehari di bawah pengawasan Kapolres dan Wakapolres.
Hukuman yang terdengar ringan ini memantik kritik dari banyak pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM). Menurut Yosua Octavia, Koordinator Penanganan Kasus di LBHM, sanksi semacam ini mencerminkan adanya privilese yang melekat pada status aparat.
“Mereka mengonsumsi narkotika, namun hukuman yang diberikan oleh atasannya bukanlah pemecatan, bukanlah sanksi etik, melainkan sanksi sifatnya sosial: Disuruh salat,” ujar Yosua.
Yosua tak serta-merta menolak hukuman berbasis pendekatan sosial. Namun ia menyoroti ketimpangan perlakuan. “Sebetulnya di satu sisi saya harus sampaikan bahwa hukuman seperti itu harusnya juga bisa dinikmati oleh seluruh pihak. Dalam arti seperti menggunakan narkotika memang bukanlah suatu bentuk tindak pidana,” tambahnya.
Masalahnya, perlakuan “ramah” seperti itu hampir tidak pernah terjadi pada warga sipil.
Baca Juga: Ke Mana Melapor Kalau Polisi yang Membunuh?
Ketimpangan Asesmen dan Rehabilitasi
Yosua berkisah, pada 2020 ia mendampingi seorang klien, pengemudi ojek online yang tertangkap membawa sabu. Meski pelanggaran serupa dilakukan oleh beberapa figur publik saat itu, kliennya tak mendapatkan layanan asesmen. Sementara artis-artis yang ditangkap bersamaan justru memperoleh asesmen dengan cepat.
“Selama tujuh kali bertanya ke Direktur Narkotika Polda Metro Jaya, tidak ada jawaban. Bahwa kok ada perbedaan jenis layanan, jenis tindakan, dengan masyarakat biasa,” katanya.
Padahal, menurut aturan bersama tujuh lembaga negara termasuk Polri, BNN, MA, Kejaksaan, Kemenkes, Kemenkumham, dan Kemensos, seluruh tersangka kasus narkotika berhak mendapatkan asesmen dari Tim Asesmen Terpadu (TAT). TAT berfungsi untuk menentukan apakah seseorang layak direhabilitasi atau harus diproses hukum. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan aturan ini tidak merata.
Merasa diperlakukan tidak adil, Yosua mengadu ke Komisi Informasi DKI Jakarta. Hasilnya, Polda Metro Jaya diwajibkan membuka informasi mengenai alasan tidak diberikannya layanan asesmen kepada klien masyarakat biasa.
Baca Juga: #BasaBasiReformasiPolri: Ambisi Polisi Jadi Lembaga ‘Superbody’
Polisi dalam Pusaran Narkotika
Kasus di Polres HST bukan satu-satunya. Pada konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024, puluhan anggota polisi diduga memeras 45 WNA Malaysia hingga total Rp32 miliar. Mereka terdiri dari 21 anggota Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, Kapolsek Tanjung Priok, lima personel Polsek Kemayoran, dan tujuh anggota Polres Metro Jakarta Pusat. Tiga orang akhirnya dipecat, empat lainnya hanya didemosi.
Di Riau, Kapolda Irjen Herry Heryawan mencatat ada 429 polisi yang terlibat kasus narkotika dalam lima tahun terakhir. Dari jumlah itu, hanya 29 yang dijatuhi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Sementara itu, di level perwira tinggi, publik masih mengingat kasus Teddy Minahasa, mantan Kapolda Sumatera Barat, yang menukar barang bukti sabu dengan tawas sebanyak 5 kg. Ia mendapat keuntungan Rp300 juta dan kini dihukum penjara seumur hidup.
Data akhir tahun 2024 dari Polri menunjukkan, dari total 436 ribu anggota, sebanyak 2.341 personel melanggar disiplin, termasuk 327 kasus narkotika. Dari jumlah itu, hanya 414 polisi yang dipecat tidak hormat.
Baca Juga: 6 Film yang Mengungkap Wajah Korupsi Institusi Kepolisian
Hukum yang Tajam ke Bawah
Penelitian dari Universitas Bung Karno menunjukkan bahwa anggota Polri yang menyalahgunakan narkotika semestinya diberikan sanksi administratif. Namun karena KUHP mengatur sistem hukuman maksimal, celah sanksi menjadi besar dan rentan disalahgunakan.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebut bahwa pengguna bisa dipenjara hingga 4 tahun atau didenda maksimal Rp800 juta jika melewati batas tertentu. Dalam praktiknya, warga biasa kerap mengalami pemidanaan, sementara aparat bisa luput dari jerat hukum.
“Kalau dia di penjara, dia punya catatan kriminal. Kalau direhabilitasi, asumsinya mereka bisa tak terdeteksi. Tapi saya tidak mengatakan rehabilitasi adalah pilihan tepat. Buat pengguna narkotika, tidak juga,” kata Yosua.
Ia juga menilai rehabilitasi yang ada masih problematis. Banyak layanan rehabilitasi lebih fokus pada pembinaan disiplin semata tanpa benar-benar menyentuh akar adiksi. “Ternyata mereka cuma diajarkan hidup bersih, puntung rokok gak boleh jatuh dan lain-lain. Tidak menjawab kebutuhan rehabilitasi sesungguhnya.”
Kekerasan dan Privilese di Balik Penjara
Jika warga sipil masuk penjara, risiko kekerasan justru tinggi. LBHM mencatat dari 576 orang tahanan yang disurvei sepanjang 2024, sebanyak 126 mengalami penyiksaan di kepolisian, 68 diperas, 23 dilecehkan secara seksual, dan 509 tidak mendapatkan bantuan hukum.
“Memenjarakan masyarakat biasa karena narkoba, sedangkan APH-nya dihukum secara tidak wajar. Kita melihat penyelesaian dalam penanganan kasus narkotika yang baik dan benar. Apakah yang saat ini dipandang baik? Saya rasa sangat buruk justru. Udah penjaranya penuh, orang disiksa, diperas, gak ada perubahan,” kata Yosua.
Hukuman sosial seperti salat bukan tidak mungkin menjadi alternatif, selama itu berlaku adil dan menyeluruh. Namun selama hanya aparat yang mendapatkan “keringanan” ini, publik akan terus mempertanyakan: hukum di negeri ini ditegakkan untuk siapa?
Ilustrasi oleh Karina Tungari
