Kepadatan KRL dari ‘Green Line’ hingga ‘Red Line’: Apakah Tambah Armada ala Prabowo adalah Solusi?
Algoritme Instagram saya belakangan sedang dipadati postingan “anak kereta” (anker) berjejalan dalam Kereta Rel Listik (KRL) Komuter Line. Tak lupa dengan caption “Jakarta keras” atau “Jakarta bukan buat pemula”. Sebagai anker sejak 2014, saya tahu ini bukan hiperbola semata. Menaiki KRL, terutama di jam-jam sibuk, memang membutuhkan daya tahan fisik dan ketabahan mental.
Saban pagi dan sore, peron stasiun dan gerbong KRL berubah menjadi arena bertahan hidup. Orang berdiri hanya dengan satu kaki menapak lantai, saling dorong dan sikut, tas-tas yang terjepit, bahkan pertengkaran bisa pecah hanya karena penumpang saling pandang di tengah kereta yang sumpek.
Di antara penumpang itu, SNL, 30, sudah mengalami berbagai pengalaman tak mengenakkan. Perempuan yang berdomisili di Tenjo, Banten itu menaiki kereta di Green Line—kerap dijuluki warganet jalur neraka, saking penuhnya. Setiap hari ia naik KRL dari Stasiun Tenjo-Pondok Ranji–lanjut oper ojek daring ke kantornya di Fatmawati, Jakarta Selatan.
“Kalau telat lima menit, saya tidak dapat tempat duduk. Pernah punya pengalaman terinjak kaki, terimpit orang tinggi, dibangunkan saat tidur sampai badan keliyengan, bau keringat rombongan pulang kantor, dan keributan hampir tiap hari,” curhatnya pada saya, (20/11).
Enggak heran jika ia selalu bangun tidur dalam kondisi badan yang selalu kelelahan, kadang juga memar sana-sini. Namun ia tetap memilih moda tersebut karena alasan kepraktisan dan ongkos. “Lebih hemat budget ketimbang naik kendaraan sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, Yuli Rinianti, 36, menghadapi tantangan lain. Rute Stasiun Depok Lama–Juanda yang ia tempuh setiap hari sejak pandemi 2020, membuatnya terbiasa dengan kepadatan ekstrem.
“Naik kereta di jam padat terasa seperti sauna berjalan. Kadang saya melihat penumpang pingsan, atau jadwal tiba-tiba berubah, ribet harus menyesuaikan lagi. Belum lagi penumpang yang kurang toleransi duduk melebarkan kaki. Kalau lewat jam tujuh pagi dari Depok, saya tidak sanggup naik KRL, karena pasti penuh,” ucapnya, (20/11).
Meski begitu, Rini menghitung manfaatnya. Biaya pulang-pergi dengan naik KRL hanya Rp7000 per hari. Dalam sebulan, imbuhnya, ia bisa menghemat dengan hanya merogoh kocek transportasi umum Rp375.000.

Elfira, 37, Aparatur Sipil Negara (ASN) juga punya pengalaman senada. Rute KRL yang ia tumpangi memang tak sejauh Rini–dari Stasiun Depok-Kalibata saja–tapi lumayan memicu stres harian. Jam kerjanya dari jam 08.00 hingga 16.00 WIB, bikin dia selalu menaiki KRL di jam-jam sibuk. Belum lagi desain interior kereta yang kurang akomodatif untuk perempuan dengan tinggi rata-rata sepertinya.
“Postur aku enggak terlalu tinggi, kadang susah napas karena badan orang di depan, kanan, dan kiri menghalangi. Jadi muka harus menghadap ke atas biar bisa bernapas. Kalau berdiri di lorong dekat pintu, pegangan terlalu tinggi untuk aku, bikin susah banget,” urainya, (20/11).
Sama seperti Rini dan SNL, Elfira bertahan dengan moda KRL karena alasan ekonomi. Karena itu, ketika KRL mengalami gangguan sinyal, ia merasa kesulitan.
“Bagi kami yang tidak punya kendaraan pribadi rasanya susah banget. Mau naik angkot, harus ganti-ganti beberapa kali sampai kantor. Mau pakai taksi online, biayanya tinggi. Sebagai kaum mendang-mending, pasti berpikir ribuan kali sebelum pesan,” cerita ibu tiga anak ini.
Baca juga: Dari ‘Anker’ Cikarang Saya Belajar, Rumah Bukan Tempat Pulang tapi Alasan Bertahan
Kepadatan KRL Bukan Hal Baru
Cerita mereka tidak berdiri sendiri. Data PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang dilansir dari Tempo mencatat, dalam sehari rata-rata ada 1 juta penumpang di hari kerja, dan 750–800 ribu di akhir pekan. Jumlah ini menunjukkan kenaikan signifikan jika dibandingkan dengan 2024, di mana rata-rata penumpang berkisar 900ribu per hari. Hingga September 2025 saja, angka kumulatif penumpang sudah menembus lebih dari 255 juta penumpang, dengan perkiraan total penumpang KRL di penghujung 2025 bakal mencapai 350 juta penumpang.
Masih dari sumber yang sama, PT Kereta Komuter Indonesia berupaya melakukan 1.063 perjalanan setiap hari untuk lintasan KRL Jabodetabek, demi mengakomodasi volume manusia ini. Namun nyatanya itu saja belum cukup. Penumpang KRL dari berbagai rute hampir selalu berjubel di jam-jam sibuk. Bahkan beberapa video viral menunjukkan potongan adegan di mana orang memaksakan masuk KRL yang sudah penuh, hingga jatuh terpental. Baru kemarin, saya juga menjadi saksi perempuan terperosok ke peron karena tak bisa memaksa masuk ke kereta yang sudah padat di Stasiun Depok Lama.
Sebenarnya kepadatan KRL ini telah dikonfirmasi oleh Menteri Perhubungan Dudi Purwagandi. Dilansir dari CNBC Indonesia, setiap gerbong KRL dapat menampung sekitar 300 penumpang saat jam sibuk. Bahkan, apabila satu rangkaian KRL terdiri dari 12 gerbong, kapasitas angkutnya setara 20 pesawat Boeing 737 yang terbang bersamaan.
Berangkat dari sinilah, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan menambah 30 rangkaian kereta baru KRL di Jabodetabek. Untuk merealisasikan penambahan ini, pemerintah menyuntikkan anggaran kepada PT KAI sebesar Rp5 triliun. Target waktu yang diberikan adalah satu tahun harus terealisasi, meskipun Prabowo berharap bisa dipercepat dalam enam bulan ke depan, dikutip dari sumber yang sama.
Saat ini, ada tambahan 27 rangkaian baru, sebelas di antaranya, dengan seri CLI 125, sudah beroperasi secara bertahap sejak Juni 2025. Rangkaian anyar ini dioperasikan untuk melayani rute Stasiun Bogor dan Cikarang.
Masalahnya, kenapa kepadatan dalam KRL terbilang sulit terurai? Apakah suntikan dana Prabowo bisa mengakselerasi solusi ini?

Baca juga: Kumpulan ‘Orang Sakti’ Jabodetabek, Mereka Bisa Tidur Sambil Berdiri
Ada Tata Kota yang Bermasalah
Kepadatan KRL tak sesederhana kekurangan armada. Fenomena ini mencerminkan perencanaan tata ruang dan transportasi publik yang belum terintegrasi dengan pertumbuhan kota. Pemukiman di wilayah pinggiran berkembang pesat, tetapi ekspansi transportasi massal dan kebijakan kota belum mampu mengimbangi lonjakan permintaan. Imbasnya, gerbong KRL tetap padat di jam sibuk meski armada terus bertambah.
Pola ini terlihat jelas di Rangkasbitung. Setelah KRL diperpanjang hingga stasiun tersebut, pembangunan perumahan di sekitarnya langsung melonjak. Penelitian “Pengaruh Komuter terhadap Pertumbuhan Kawasan Permukiman di Sekitar Stasiun Rangkasbitung” (2022) oleh Nuraeni Santika dkk. dari Universitas Pradita menunjukkan pertumbuhan kawasan permukiman di Rangkasbitung sangat bergantung pada akses KRL sebagai penghubung utama ke Jakarta. Pertumbuhan horisontal yang masif justru semakin membebani kapasitas transportasi massal yang ada.
Yusa C. Permana, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Daerah Khusus Jakarta bilang, kepadatan KRL adalah gejala dari pembangunan kota yang tidak merata dan tidak terkoordinasi. “Kota-kota pinggiran tumbuh tanpa sinkronisasi antara rencana tata ruang, perumahan, dan angkutan umum. Banyak warga masih mengandalkan kendaraan pribadi karena KRL dan bus belum nyaman,” ujarnya dalam wawancara telepon (20/11).
Fenomena urban sprawl–pertumbuhan liar kota–dan harga properti di pusat kota yang melambung, ikut memperparah situasi. Warga terpaksa pindah ke pinggiran, sementara infrastruktur transportasi tertinggal. “Di Singapura, pemerintah mengintervensi agar warga berpenghasilan menengah-bawah tetap bisa tinggal di kawasan inti kota. Di Indonesia, kebijakan serupa belum ada,” tambah Yusa.
Dari sisi operasional, sistem KRL Jabodetabek pun masih bercampur dengan kereta jarak jauh dan kereta barang, sehingga jadwal dan frekuensi menjadi tidak konsisten serta rentan gangguan. Yang paling krusial, arus penumpang di jam sibuk bersifat satu arah: Pagi ke Jakarta, sore kembali ke pinggiran.
“Penambahan armada hanya mengurangi kepadatan sedikit di jam sibuk, sementara di luar itu gerbong sering kosong. Ini alarm bahwa solusinya bukan sekadar menambah kereta, tapi mengatur pola hunian dan mobilitas kota secara keseluruhan,” tandas Yusa.

Baca juga: Dilema Pelaju Jakarta, Berdamai dengan Jarak dan Transportasi Minim
Solusinya Harus Terintegrasi
Darmaningtyas, pakar transportasi menegaskan, saat ini kebijakan pemerintah untuk menambah armada KRL maupun memperpanjang jadwal operasional 24 jam, bukanlah solusi. Dalam wawancara via telepon (20/11), ia menjelaskan sejumlah KRL sejak 2023 habis masa pakainya, sehingga pengadaan baru lebih untuk penggantian daripada peningkatan kapasitas.
Kalau pun ada pengadaan, imbuhnya, harus benar-benar armada baru di luar skema lama, misalnya untuk akses ke Tenjo atau kota penyangga lain, sehingga mampu meningkatkan kapasitas secara nyata. Namun ini saja tak cukup. Menurutnya, pemerintah perlu memikirkan solusi struktural yang melampaui urusan teknis transportasi.
Salah satunya soal pemerataan pembangunan dan aksesbilitas ekonomi warga. “Bagaimana berharap kepadatan KRL terurai jika semua lapangan kerja cuma terkonsentrasi di Jakarta? Bagaimana berharap operasional 24 jam jadi solusi, ketika semua kantor punya jam kerja yang sama,” ujarnya seraya menekankan pemerataan ekonomi.
Yusa sepakat dengan Dramaningtyas. Kata dia, untuk menciptakan sistem transportasi publik yang efektif, solusi tidak boleh berdiri sendiri melainkan integrasi antara perencanaan tata kota, angkutan massal, dan pemberdayaan sosial-ekonomi warga.
Darmaningtyas, pakar transportasi, menegaskan menambah armada KRL atau memperpanjang operasional 24 jam bukan solusi akhir. “Sejak 2023 banyak kereta sudah habis masa pakainya. Pengadaan baru lebih banyak menggantikan unit tua, bukan benar-benar menambah kapasitas,” ujarnya lewat telepon (20/11/2025). Selama lapangan kerja masih terkonsentrasi di Jakarta dan jam kantor seragam, kepadatan tidak akan pernah terurai.
Yusa sepakat dengan Darmaningtyas. Solusi hanya lahir dari pendekatan terintegrasi yang mencakup lima langkah utama.
Pertama, penataan kota harus berorientasi pada manusia. Trotoar lebar dan aman, jalur sepeda dengan parkir terjamin, toilet layak, serta kontrol emisi ketat agar pejalan kaki tidak terus menghirup polusi. Pemerintah juga perlu panduan desain swadaya agar warga dan swasta bisa ikut membangun fasilitas publik.
“Ini bukan sekadar kenyamanan, tapi mendorong warga berjalan kaki dan menekan risiko obesitas serta penyakit metabolik,” tegas Yusa.
Kedua, benahi dan kuatkan transportasi umum secara paralel — dari Jakarta hingga kota-kota penyangga. “(Rute) Transjakarta sudah mencakup 90 persen wilayah Jakarta, tapi penggunanya hanya 10 persen. Itu berarti banyak masalah belum terjawab,” kata Yusa.
Ia menambahkan, “Pemerintah saat melakukan perbaikan dan membuat kebijakan soal transportasi umum, harus tanya pengguna kendaraan pribadi, kenapa mereka memilih pakai kendaraan pribadi. Jadi bukan hanya angkutan umum.”
Ketiga, kembangkan kota-kota mandiri di wilayah penyangga. “Edukasi publik, ubah mindset, ajak pengusaha, dan pemerintah daerah harus punya komitmen anggaran tinggi. Pengemudi ojol juga bisa diberi sertifikasi sebagai jembatan naik kelas sosial-ekonomi. Pemerintah jangan hanya fokus pada urusan teknis, tapi juga fokus sosial-ekonomi dan penguatan keterampilan warga,” ujar Yusa.
Langkah ini penting agar wilayah pinggiran lebih mandiri dan tidak sepenuhnya bergantung pada kendaraan pribadi.

Keempat, libatkan sektor swasta secara proporsional. “Kantor atau properti wajib menyediakan fasilitas pejalan kaki layak dan jalan tembus 24 jam. Jangan lempar semua ke swasta. Harus ada payung hukum yang jelas agar tidak ada penyalahgunaan,” tuturnya.
Kelima, bentuk kolaborasi nyata melalui komisi ad hoc yang melibatkan pengusaha dan komunitas lokal. “Pemerintah dan warga tidak mungkin jalan sendiri-sendiri,” kata Yusa.
Hanya jika kelima langkah itu dijalankan secara terpadu, mulai dari penataan kota yang ramah manusia hingga kolaborasi lintas sektor, transportasi publik Jabodetabek bisa menjadi pilihan utama. Kemacetan dan kepadatan transportasi umum, termasuk KRL akan berkurang dan kualitas hidup warga meningkat.
“Satu langkah saja tidak akan pernah cukup,” pungkas Yusa.
















