Pro Kontra Bincangkan Kesehatan Mental di Platform Digital dan Media Sosial
Platform digital dan media sosial bagai pisau bermata dua. Di satu sisi ia jadi wadah dalam memperluas kesadaran mental masyarakat, tapi bisa berbahaya karena timbulkan self-diagnose dan kekeliruan pemakaian istilah medis.
Perbincangan soal kesehatan mental kini bisa dibilang sudah tidak setabu beberapa dekade lalu. Ya, stigma seputar kesehatan mental memang masih terus menghantui kita semua, tetapi setidaknya kita bisa cukup bernapas lega.
Pasalnya, berkat platform digital dan media sosial perbincangan seputar kesehatan mental semakin banyak ditemukan dan lebih mudah diakses. Atlet gimnastik Simone Biles dan penyanyi Ariana Grande misalnya, telah menggunakan platform digital dan media sosial sebagai platform untuk berbagi cerita tentang kesehatan mental. Mereka juga mendorong orang lain melakukan hal yang sama.
Di Indonesia sendiri, konten kreator atau bahkan teman terdekat kita sendiri juga sudah mulai banyak melakukan hal serupa. Ada yang memang sengaja membuat konten untuk meningkatkan kesadaran sesama pengguna platform digital dan media sosial. Ada juga yang memang sekadar sharing tentang apa yang sedang mereka rasakan.
Keterbukaan masyarakat terhadap isu kesehatan mental ini bisa dilihat di salah satu platform digital, TikTok, pada 2021 sudah memiliki lebih dari 1 miliar pengguna aktif. Dikutip langsung dari Newsroom TikTok, tercatat pada 2022 tagar #kesehatanmental telah mencapai 290 juta views dan tagar #MentalHealthAwareness 13 miliar views.
Di Indonesia sendiri, survei teranyar yang dilakukan YouGov bersama TikTok menemukan, sebanyak 77 persen responden di Indonesia sudah mulai merasa nyaman berbicara tentang kesehatan mental. Mereka juga setuju bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Berikut adalah beberapa fakta terkait perbincangan kesehatan mental yang ada di platform digital dan media sosial.
Baca Juga: Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia?
Wadah Baru Bincangkan Kesehatan Mental
Mulai nyamannya pengguna platform digital dan media sosial dalam membincangkan kesehatan mental bukan isapan jempol. Ini berdasarkan fakta yang menariknya juga tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Hal ini misalnya pernah disinggung oleh Audie Cornish, pemandu podcast “All Things Considered”.
Dalam podcast tersebut, Cornis mengungkapkan platform digital dan media sosial kini punya peran besar dalam mewadahi banyak orang, utamanya generasi muda untuk berbicara soal kesehatan mental. Di seluruh platform digital dan media sosial, kita akan melihat berbagai macam meme dan tag seperti #talkingaboutit, #youoksis, #mentalhealthwarrior yang berisi curhatan atau guyonan generasi muda terhadap keadaan atau perjalanan kesehatan mental mereka.
Cornish mencoba menggali, apa yang menjadi alasan generasi muda kini bisa mengubah topik yang di generasinya dulu tabu menjadi layak dikonsumsi publik. Alasannya ternyata cukup beragam. Saya sendiri mencoba menggalinya dengan mewawancarai tiga perempuan muda yang aktif menggunakan platform digital dan media sosial untuk bagikan cerita perjalanan kesehatan mental mereka.
Perlu dicatat, mereka adalah pengguna platform digital dan media sosial, tetapi bukan konten kreator yang memang sengaja membuat konten edukatif atau menghibur sesuai keinginan audiens secara berkala. Ketiga perempuan ini merupakan sampel kecil dari gambaran besar tentang peranan platform digital dan media sosial yang jadi wadah baru untuk bincangkan masalah kesehatan mental bagi para pengguna platform digital dan media sosial.
Dimulai dari “Gisella”, 26. Perempuan yang kini bekerja di salah satu NGO lingkungan mengungkapkan kecenderungannya membagikan keadaan kesehatan mentalnya di platform digital dan media sosial. Platform digital dan media sosial buatnya adalah diari. Ia jadi wadah unik untuk ungkapkan uneg-uneg yang tak bisa ia sampaikan secara gamblang di ruang fisik.
Karena itu, Gisella merasa platform digital dan media sosial berikan wadah yang pas buatnya. Wadah yang berbeda dari journaling, yang buat sebagian orang seperti dirinya kurang nyaman karena butuh waktu dan tenaga untuk bisa terkoneksi dengan diri sendiri terlebih dahulu. Dan ketika ia bisa sampaikan keadaan mentalnya apa adanya di platform digital dan media sosial, itu membuatnya sedikit merasa lega.
“Lebih nyenengin aja gitu setelah diungkapkan, karena kaya semacam afirmasi ke diri sendiri I am facing this problem and it will lift up the burden little bit, ada sedikit kelegaan.”
Hampir sama dengan Gisella, Runi, 25, juga jadikan platform digital dan media sosial sebagai diarinya. Namun sedikit berbeda dari Gisella, keputusannya jadikan platform digital dan media sosial sebagai diarinya karena Runi merasa tidak punya tempat untuk bercerita. Platform digital dan media sosial berikan dia rasa aman dan kenyamanan. Jauh dari penghakiman yang keluarganya berikan. Penghakiman yang juga ditakutkan oleh 2 dari 4 responden dalam survei YouGov dan TikTok yang sama.
Di platform digital dan media sosial Runi bisa jadi diri sendiri. Bisa bebas mengungkapkan segala perasaan yang ia alami tanpa rasa takut dan malu. Akhirnya, platform digital dan media sosial tidak hanya jadi diari harian saja, tetapi sekaligus jurnal baginya.
“Aku bisa aku track suatu saat, buat ngeliat apa-apa aja yang aku udah lewatin selama ini. Seburuk apa sih yang pernah aku lalui di masa lalu. Dengan itu, ketika aku feeling down aku akan merasa terbantu untuk segera pulih lagi.”
Jika Gisella dan Runi miliki tendensi untuk jadikan platform digital dan media sosial sebagai diari mereka, Nisa punya pendekatan yang berbeda. Perempuan 26 tahun yang bekerja sebagai humas di salah satu kementerian mengungkapkan ia cenderung memakai platform digital dan media sosial sebagai sarananya meningkatkan kesadaran seputar isu kesehatan mental. Sehingga, dibandingkan bercerita tentang kondisi kesehatan mental dia saat ini, ia menunggu dulu dirinya dalam keadaan yang lebih baik pasca medikasi untuk baru bisa ceritakan perjalanan kesehatan mentalnya di platform digital dan media sosial.
Saat ia mengalami stres berat hingga berat badannya turun hingga mencapai 35 kg saja, ia tak buru-buru menuliskannya di platform digital dan media sosial. Selain karena ia memang merupakan orang yang cukup tertutup, ia juga percaya oversharing apa pun di platform digital dan media sosial punya dampak yang tidak baik. Karena itu, Nisa pun buru-buru datang ke professional dan didiagnosa memiliki general anxiety disorder.
Setelah mendapatkan diagnosis ini, Nisa rutin berkunjung ke psikolog dan psikiater serta mengkonsumsi obat yang sudah diresepkan kepadanya. Barulah ketika ia merasa sudah lebih baik secara mental dan berat badannya sudah normal kembali, ia menuliskan perjalanan ini ke platform digital dan media sosial. Hal ini ia lakukan karena ia tidak mau membuat orang-orang yang membaca curhatannya akan merasa lebih sedih dan tidak punya harapan untuk sembuh.
“Gue cenderung sharing kaya gini (perjalanan setelah melakukan medikasi) karena gue yakin banyak orang butuh keberanian bahkan hanya sekedar buat ngomong. Jadi gue di sini ada untuk memperkenalkan keberanian ke mereka kalau its ok to feel that way, lo bisa ambil langkah medis, dan itu normal.”
Bagaimana Runi dan Nisa menggunakan platform digital dan media sosial sebagai wadah dalam membincangkan kesehatan mental juga dilakukan oleh salah satu konten kreator TikTok, Sania Leonardo.
Dalam diskusi daring bertajuk #SeeingTheUnseen Memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia, sebagai seseorang yang didiagnosa diagnosa Bipolar Disorder II, Sania sadar bagaimana stigma terhadap kesehatan mental masih cukup kuat. Sania sendiri bahkan mendapatkan penghakiman dari ibunya sendiri yang merupakan pendeta.
“Aku sering dibilangin ‘Kamu kurang bersyukur, kamu kurang ibadah, kamu kurang ke gereja’,” ucap Sania menirukan suara sang ibu.
Kurangnya dukungan dari keluarganya membuat Sania sempat menemui jalan buntu tetapi akhirnya mendapatkan penguatan dari kakak sepupu dan dari orang-orang di dalam komunitas pengidap bipolar. Dari sini Sania, sadar betul bagaimana pengucilan dan penghakiman berdampak pada orang-orang dengan diagnosa kesehatan mental.
Karena itu, lewat akunnya @panggilakubambang, Sania mulai lakukan sebuah tindakan besar. Ia akhirnya menceritakan pengalaman perjalanan kesehatan mental yang ia lalui. Hal ini pun jadi awal baginya untuk terus mengangkat topik kesehatan mental ke khalayak lebih luas. Salah satunya lewat video singkat yang membahas stigma buruk masyarakat Indonesia terhadap bipolar yang dimulai dengan komentar salah satu pengguna TikTok.
“Melalui platform digital, termasuk TikTok, saya bisa menceritakan pengalaman saya, memberikan edukasi, agar orang-orang yang menghadapi masalah kesehatan mental tidak merasa sendiri, ataupun tidak terlihat,” ucap Sania.
Baca Juga: ODGJ Naik dalam 30 Tahun Terakhir, Perempuan dan Usia Produktif Paling Tinggi
Kontroversi Bincangkan Kesehatan Mental di Platform Digital dan Media Sosial
National Alliance on Mental Illness (NAMI–NYC) bersama perusahaan pemasaran JWT New York merancang kampanye “IWillListen”. Kampanye yang dirancang dalam upaya untuk membumikan isu kesehatan mental serta mendobrak stigma yang telah lama melekat padanya.
Idenya sederhana: pengguna platform digital dan media sosial di Facebook, Instagram, Twitter atau Vimeo harus berjanji untuk mendengarkan dan mendukung individu yang berjuang dengan penyakit mental. Dilansir dari Scientific American, sejak didirikan pada tahun 2013, ratusan orang telah mengunggah pengalaman dan perjalanan pribadi berjibaku dengan penyakit mental yang mereka miliki. Pada tanggal 2 Oktober, ketika peringatan peringatan satu tahun, kampanye tersebut mengumpulkan lebih dari 12.000 perjanjian dengan tagar #IWillListen dan telah mengilhami banyak acara luring.
Beberapa kampus telah menyelenggarakan “hari tanpa headphone” untuk menunjukkan kesediaan mereka untuk mendengarkan rekan-rekan yang berjibaku dengan kesehatan mental dan membutuhkan teman dengar. Dan dalam acara pertama di seluruh kota, Philadelphia mengadakan pameran kesehatan mental sepanjang hari di bulan Juni yang menginspirasi ratusan peserta untuk membuat perjanjian dalam bentuk video.
Kampanye yang dilakukan NAMI–NYC dan JWT New York adalah bukti nyata tentang bagaimana platform digital dan media sosial punya peran yang besar dalam membumikan isu kesehatan mental. Isu yang dulu belum dianggap sama pentingnya dengan kesehatan fisik menurut psikolog Rininda Mutia dalam perbincangannya bersama Magdalene. Dengan akses yang mudah dan dengan jangkauan massa yang lebih luas, Ninda, begitu ia kerap disapa mengungkapkan platform digital dan media sosial sangat membantu dalam meningkatkan kesadaran mental masyarakat.
“Apalagi ketika di masa lockdown, awal-awal pandemi Covid-19 datang, platform digital dan media sosial jadi satu-satunya cara bagi hampir semua orang di dunia untuk terkoneksi satu sama lain dan merefleksikan diri sendiri.”
Saat suasana genting hampir semua orang merasa terisolasi dan mengalami kecemasan akibat keadaan yang tak menentu, platform digital dan media sosial berperan dalam memperkenalkan isu kesehatan mental dengan lebih ramah dan mudah dimengerti.
Bahkan ia juga jadi wadah solidaritas baru, karena mampu menghubungkan kesamaan pengalaman dan perasaan ratusan orang di saat bersamaan. Pada gilirannya menurut Ninda, platform digital dan media sosial dengan sukses membuat banyak orang jadi lebih paham mengenai isu kesehatan mental. Sebagai praktisi, ia misalnya melihat bagaimana perbincangan kesehatan mental di platform digital dan media sosial mampu mendorong banyak orang untuk berani pergi ke professional.
“Orang yang kesulitan tidur, merasa emosinya sering meledak-ledak, atau merasa hubungan dengan orang sekitarku memburuk misalnya sudah mulai mau ke professional. Makin ke sini, mereka sadar ada sesuatu yang salah. Mereka mulai paham sign-sign awalnya apa dan mereka memutuskan untuk ke professional. Ini awarenessnya sudah kebangun dengan baik,” ungkapnya.
Memang, platform digital dan media sosial mampu berikan dampak positif dalam membumikan dan meruntuhkan stigma kesehatan mental. Tetapi, kita juga harus memahami hal ini juga mendatangkan dampak negatif. Ninda mengatakan platform digital dan media sosial punya kecenderungan memberikan informasi yang tak lengkap atau holistik pada penggunanya. Hal ini pun diperparah dengan peningkatan akses ke informasi yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan individu dalam menguraikan informasi yang baik.
Dalam studi pada 2021 yang dilakukan oleh Edelman misalnya, hanya 18 persen responden yang ditemukan memiliki penyaringan informasi yang baik. Secara garis besar, penyaringan informasi yang baik ini meliputi: apakah responden menyebarkan informasi yang salah, memverifikasi sumbernya, dan menghindari ruang gema, sebuah keadaan di mana informasi diyakini atau disebarkan oleh komunitas dan diulang-ulang dalam sebuah sistem tertutup.
Hal inilah yang menurut Ninda membuat banyaknya misinformasi terkait kesehatan mental beredar di platform digital dan media sosial. Dampaknya pun berbahaya. Terlihat sekali dari banyaknya orang di platform digital dan media sosial yang melakukan self-diagnose dan menggunakan diagnosis atau istilah medis secara tidak tepat.
“‘Aduh anxiety attack gue kambuh nih’ Enggak bisa jadi itu bukan anxiety attack tapi karena memang cemas aja. Wajar kok orang akan merasa cemas ketika mau presentasi. ‘Aduh gue depresi nih putus sama pacar”, mungkin bukan major depressive disorder, tapi memang lagi sedih. ‘Mau healing dulu deh jalan-jalan ke Bali’. Healing tuh enggak fancy lho ya. Healing itu sakit prosesnya bukan senang-senang, jadi dikatakan jalan-jalan ke Bali itu terlalu dangkal.”
Baca juga: Riset: 2,45 Juta Remaja Indonesia Didiagnosis Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
Solusi
Lalu apa sih yang solusi yang bisa ditawarkan agar platform digital dan media sosial tak jadi wadah penyebaran misinformasi terkait kesehatan mental? Sebagai praktisi, Ninda mengatakan untuk rekan sesama praktisi yang aktif menggunakan platform digital dan media sosial, mereka bisa melakukannya dengan terus mencoba meluruskan informasi yang sudah terlanjur beredar di masyarakat.
Sedangkan, untuk para pengguna Ninda menekankan untuk tanamkan pola pikir bahwa platform digital dan media sosial bukanlah tempat berobat. Jadikan platform digital dan media sosial sebagai salah satu dari banyak sumber untuk berikan kita informasi tentang kesehatan mental. Dan ketika merasa ada yang bermasalah dari diri kita, beranikan ke profesional. Hal ini karena menurut Ninda, bercerita di platform digital dan media sosial tak akan serta merta menyelesaikan masalah.
TikTok sebagai platform digital yang kerap aktif mengadvokasi isu kesehatan mental pun juga ambil bagian dalam memerangi misinformasi yang beredar di masyarakat. Pada hari peringatan kesehatan mental dunia yang jatuh pada 10 Oktober lalu misalnya, TikTok memperkenalkan Pusat Kesehatan Digital (Digital Wellness Hub). Dikutip langsung dari Newsroom TikTok, Pusat Kesehatan Digital adalah wadah yang sengaja dibangun TikTok dalam rangka untuk memberikan informasi dan sumber daya kredibel tentang kesehatan mental yang dihadirkan oleh para mitra ahli.
TikTok juga berkolaborasi dengan beberapa mitra lokal, antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), Yayasan Pulih, dan Bully.id. Kolaborasi ini adalah usaha TikTok mendukung diskusi sehat isu kesehatan mental yang secara khusus didorong untuk kesetaraan akses dalam kesehatan mental.
Tak lupa, dengan berkonsultasi pada para ahli TikTok mengembangkan Panduan Kesejahteraan. Panduan yang bisa diakses di aplikasi TikTok dan diimplementasikan melalui pendekatan dua arah, yaitu dengan melibatkan penghapusan konten berbahaya dan menghubungkannya komunitas dengan sumber daya yang ada. Melalui berbagai inisiasi ini TikTok berharap dapat terus meningkatkan kesadaran dan mematahkan stigma negatif melalui diskusi sehat dan bermanfaat seputar kesehatan mental.
Artikel ini adalah kerjasama Magdalene dengan Tiktok untuk #KesehatanMental