Banyak Remaja Hadapi Masalah Mental, Apa yang Bisa Dilakukan untuk Menyikapinya?
Meskipun remaja periode transisi amat rentan mengalami masalah kesehatan mental, tidak banyak dari kelompok ini yang mengakses layanan kesehatan mental.
Pada masa transisi dari remaja menjadi dewasa, yakni antara usia 16 sampai 24 tahun, seseorang biasanya berhadapan dengan banyak tantangan dan pengalaman baru. Selain mulai memiliki legalitas hukum dan tanggung jawab yang meningkat, remaja di periode ini juga masih mengalami perkembangan biologis, psikologis, dan emosional – bahkan hingga usia 20-an.
Riset yang kami lakukan tahun lalu terhadap 393 remaja berusia 16-24 tahun memperkuat asumsi di atas. Riset kami juga mendukung temuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mengatakan satu dari empat remaja pada usia ini menderita gangguan kesehatan jiwa.
Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari aktifnya hormon reproduksi, perkembangan otak yang terus berlangsung, serta pembentukan identitas diri mereka. Hal ini dapat disertai ketidakstabilan emosi atau pengambilan keputusan yang sering kali impulsif.
Penelitian kami menemukan bahwa banyak remaja Indonesia di periode transisi ini mengalami tantangan beradaptasi terhadap kehidupan mereka yang mulai berubah. Selain itu, mereka juga cenderung kesulitan mengatur waktu dan keuangan pribadi, serta mengalami peningkatan rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal.
Baca juga: Saat Adik Remaja Jatuh dalam Depresi, Kita Bisa Bantu Apa?
Usia 16-24 Tahun adalah Periode Kritis
Riset yang dilakukan oleh tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia tersebut mencoba untuk memetakan keresahan mental remaja di periode transisi 16-24 tahun dari seluruh Indonesia – terutama mahasiswa tahun pertama – melalui survei online.
Sebanyak 95,4 persen menyatakan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety), dan 88 persen pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama di usia ini.
Selain itu, dari seluruh responden, sebanyak 96,4 persen menyatakan kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.
Pada periode ini, misalnya, banyak remaja tiba-tiba harus menjelajahi lingkungan yang baru, lingkaran pertemanan yang semakin luas, tuntutan pendidikan atau karier yang semakin berat, hingga budaya yang bisa jadi sangat berbeda. Hal ini disertai dengan berbagai masalah dan konflik yang kerap muncul dari berbagai perubahan tersebut.
Penyelesaian masalah yang paling sering mereka lakukan adalah bercerita pada teman (98,7 persen), menghindari masalah tersebut (94,1 persen), mencari informasi tentang cara mengatasi masalah dari internet (89,8 persen).
Namun, sebagian juga berakhir dengan menyakiti diri mereka sendiri (51,4 persen), atau bahkan menjadi putus asa serta ingin mengakhiri hidup (57,8 persen). Berbagai masalah yang dalam masa transisi ini berisiko tinggi menjadi lebih buruk di kemudian hari apabila tidak ditangani dengan optimal.
Baca juga: Bunuh Diri pada Anak Muda dan Bagaimana Menghadapinya
Tidak Banyak yang Mencari Bantuan
Meskipun remaja periode transisi amat rentan mengalami masalah kesehatan jiwa, tidak banyak dari kelompok ini yang mengakses layanan kesehatan jiwa.
Kurangnya layanan kesehatan mental di Indonesia – hanya sekitar 0,29 psikiater dan 0,18 psikolog per 100.000 penduduk – juga membawa tantangan tersendiri. Masih ada faktor lain yang juga menjadi penghambat seperti layanan yang kurang sesuai dengan kebutuhan remaja di usia mereka.
Dalam studi yang kami lakukan, misalnya, para remaja mengatakan bahwa mereka mengharapkan layanan bantuan kesehatan mental yang menjamin kerahasiaan (99,2 persen), tidak menghakimi (98,5 persen), berkelanjutan untuk periode waktu tertentu (96 persen), serta dapat diakses online (84,5 persen).
Mereka juga merasa berbagai layanan yang ada diisi oleh tenaga profesional yang kurang ramah (99,2 persen) dan belum terbuka untuk mendengarkan segala permasalahan yang mereka alami (99 persen).
Stigma negatif tentang kesehatan jiwa yang berkembang di masyarakat juga semakin menghambat remaja untuk mencari bantuan ke layanan kesehatan jiwa. Beberapa remaja usia transisi, misalnya, mengatakan takut menceritakan ke orang tua atau orang terdekat bahwa mereka datang ke layanan kesehatan mental karena takut dianggap sebagai orang dengan gangguan jiwa berat atau “kurang iman”.
Selain itu, jawaban dari para responden kami juga mengindikasikan ada masalah kurangnya pengetahuan remaja usia transisi tentang masalah layanan kesehatan mental dan ke mana mencari bantuan. Padahal, pemahaman tentang kesehatan mental bagi remaja di periode ini sangat penting agar mereka dapat mengidentifikasi masalah sejak dini, sehingga mendapatkan bantuan yang sesuai.
Meningkatnya ketahanan mental (resilience) seseorang pada periode ini akan berdampak positif tidak hanya terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan mereka, tapi juga keberhasilan mereka secara akademis, di lingkungan kerja, dan masyarakat.
Apa yang Perlu Dilakukan?
Oleh karena itu, perlu intervensi yang lebih baik untuk membantu para remaja di periode kritis ini agar dapat lebih mengenali masalah yang dihadapi, memahami cara mengatasi stres, serta membangun ketahanan mental.
Fasilitas kesehatan umum yang ada harus bisa memberikan perhatian dan dukungan lebih pada kesehatan remaja di usia transisi. Utamanya, berbagai layanan ini harus bisa menjamin kerahasiaan, tidak menghakimi, dan terbuka mendengarkan masalah remaja di periode ini – apa pun bentuknya.
Lembaga riset kesehatan mental anak muda Orygen di Australia, misalnya, menawarkan beberapa aspek penting yang harus dipenuhi layanan kesehatan mental. Di antaranya adalah layanan yang inklusif, terbuka untuk berbagai kelompok dan beragam jenis keresahan, dan juga aktif melakukan kegiatan promosi dan pencegahan.
Institusi pendidikan tinggi, tempat sebagian besar remaja usia transisi berada, juga harus bisa memberikan layanan konsultasi maupun kampanye pentingnya kesehatan mental pada para mahasiswa. Kampus juga bisa semakin berperan dengan memasukkan muatan tentang kesehatan mental ke dalam kurikulum tiap program.
Di Inggris, Kanada, dan Finlandia, misalnya, terdapat sistem dukungan dan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif bagi mahasiswa. Ini melingkupi edukasi yang membekali mahasiswa baru tentang perubahan yang terjadi di usia transisi, adaptasi di perkuliahan, cara mengatasi stres dan masalah kesehatan jiwa, serta edukasi tentang pengenalan gejala gangguan jiwa dan cara mengakses layanan kesehatan jiwa.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.