December 5, 2025
Environment Issues Lifestyle Politics & Society Travel & Leisure

24 Jam Terpanggang dalam ‘Oven Raksasa’: Bagaimana Perempuan Khlong Toei Bertahan dalam Cuaca Panas 

Perempuan di kampung kumuh Khlong Toei, Bangkok, berjuang melawan gelombang panas mematikan. Prateep Ungsongtham Hata menawarkan solusi kolektif yang bisa jadi pelajaran penting buat Jakarta.

  • October 14, 2025
  • 10 min read
  • 1804 Views
24 Jam Terpanggang dalam ‘Oven Raksasa’: Bagaimana Perempuan Khlong Toei Bertahan dalam Cuaca Panas 

*cover: Camnong (63) membuka toko untuk bertahan hidup di rumahnya, dan buka selama 24 jam penuh. Toko miliknya dilengkapi ATM untuk memudahkan warga. (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Mulanya saya pikir Bangkok adalah cerminan ideal pembangunan kota. Semua terbantahkan saat saya mendatangi kawasan Khlong Toei, (10/10) silam. Berjarak dua stasiun Mass Rapid Transport (MRT) dari mal-mal ber-AC di Sukhumvit, perkampungan kumuh terbesar dan tertua Bangkok ini bak dunia lain. Rumah-rumah berukuran 12-30-an meter berdempetan di bawah atap seng yang memantulkan cahaya matahari, centang perenang kabel listrik di atas rumah, selokan menggenang, dan jalan gang yang cuma cukup dilalui satu motor bergantian. 

Situasinya agak mirip perkampungan padat penduduk Pejagalan dan Kapuk Muara di Jakarta Utara atau Tambora di Jakarta Barat. Hanya saja di Khlong Toei, panas terasa lebih menyengat dua kali lipat. Tak heran jika warga setempat menyalakan dua sampai empat kipas angin sekaligus siang dan malam. Pendingin udara mahal, membuat mereka merogoh kocek lebih untuk bayar tagihan listrik, dan tampaknya tak terlalu banyak membantu.  

Kondisi semakin sumpek ketika satu rumah didiami oleh beberapa keluarga sekaligus. Saya mampir ke sebuah rumah yang dihuni oleh tujuh orang, dua di antaranya anak-anak. Rumah mereka dibuat dengan sekat khusus kamar mandi, sementara ruang tamu sekaligus ruang makan dan ruang tidur dibiarkan tanpa sekat dengan pintu bukaan lapang. Saat saya datang, anak-anak menangis, perempuan sibuk mengipasi diri, para lelaki bertelanjang dada dan tidur di atas ubin depan pintu. 

Sekitar lima puluh meter dari rumah pertama, ada kediaman Mon, 62, ibu tunggal yang sehari-hari bekerja sebagai penjual nasi dan lauk pauk. Ruang tamu rumahnya disulap jadi dapur tempat ia memasak sekaligus mencari nafkah. Ada satu lubang asap berkarat di dinding temboknya yang berjelaga. Sementara ruang belakang cukup berisi satu tempat tidur untuknya. 

Mon (62) menolak diajak pindah anaknya yang sukses jadi dokter setelah dibantu komunitas Duang Prateep Foundation. Ia tinggal seorang diri di rumah yang sekaligus jadi warung makan sederhana di perkampungan tempat ia dilahirkan. (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Anak Mon adalah dokter yang bekerja di rumah sakit Bangkok. Ia menolak diajak pindah anaknya karena merasa Khlong Toei adalah rumahnya. “Tidak apa-apa panas, karena saya sudah terbiasa, dan tinggal di sini dari kecil. Lagipula sebutuhan saya sebagai orang tua tidak banyak,” ujarnya. 

Di saat Bangkok sedang panas-panasnya, seperti momen tahun lalu, Mon bertahan dengan lebih sering minum air. Kipas angin di rumahnya cuma mengalirkan udara panas, sehingga untuk menghindari heatstroke, ia menepuk-nepuk air ke kulitnya terus-menerus.  

Mon tak sendirian. Di Khlong Toei dan banyak perkampungan padat penduduk lain, perempuan jadi pihak paling rentan di tengah panas ekstrem. Pertanyaannya, seberapa darurat kondisi perempuan? Lalu apa pelajaran yang bisa diambil untuk kota dengan ragam kampung padat penduduk seperti Jakarta?

Baca juga: Tips Beraktivitas di Luar di Tengah Jakarta yang Makin Panas 

Kerentanan Berlapis Perempuan 

Gelombang panas di Bangkok semakin mematikan, terutama bagi perempuan. Pada 2024, Thailand mencatat 61 kematian akibat heatstroke hingga Mei, melampaui 37 kematian sepanjang 2023, menurut Kementerian Kesehatan Thailand. Pada April 2024, indeks panas Bangkok mencapai level “berbahaya” 52°C, dengan wilayah utara seperti Mae Hong Son mengalami suhu ekstrem, sesuai laporan World Meteorological Organisation dalam State of the Global Climate 2024 (dirilis Maret 2025). 

Di Khlong Toei, suhu dalam rumah bisa mencapai 39°C dengan kelembapan tinggi. Atap seng memanas hingga 68°C, mengganggu tidur malam dan menurunkan kesehatan drastis. Saat datang ke kawasan ini siang hari, saya hanya mengenakan kaos dan celana kain tipis, tetapi keringat membanjiri badan meski memegang kipas tangan.  

Raja Asvanon dan Variya Plungwatana dari Stockholm Environment Institute dalam artikel Co-developing a cooling plan for Khlong Toei community in Bangkok (2025) menjelaskan fenomena unik di Khlong Toei. Menurut mereka, urban heat island (UHI) di kawasan kumuh ini menaikkan suhu hingga 10°C lebih tinggi daripada area sekitar.  

Satu rumah seluas 4×5 meter bisa dihuni beberapa keluarga sekaligus termasuk perempuan dan balita. (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Perempuan sekali lagi selalu paling rentan karena alasan fisiologis dan sosial. Secara fisiologis, perempuan memiliki rasio permukaan tubuh terhadap massa yang lebih tinggi, keringat kurang efisien, dan tekanan kardiovaskular yang berbeda. Ini membuat mereka lebih mudah mengalami heatstroke, seperti dijelaskan oleh Olivia Leach dan W. Larry Kenney dalam studi “Older women more vulnerable to heat than their male peers” (2024) dari American Journal of Physiology-Regulatory, Integrative and Comparative Physiology. 

Saya mengobrol dengan Juthamard Surapongchai, akademisi dari Mahidol University, Thailand, (8/10). Kata dia, perempuan lebih rentan karena kerja-kerja perawatan yang dilakukan seperti memasak, mengambil air, dan mengasuh anak. Imbasnya, perempuan lebih banyak terekspos di luar ruangan. 

“Secara fisiologis, tubuh perempuan memang didesain lebih resiliens ketimbang lelaki. Namun, heatwave tetap saja berdampak pada perempuan. Tak cuma memicu penyakit fisik, gangguan kesehatan reproduksi, tapi juga kesehatan mental,” tandasnya. 

United Nation (UN) Women dalam “How gender inequality and climate change are interconnected” (2025) mencatat perempuan 14 kali lebih mungkin meninggal dalam bencana iklim, dengan gelombang panas meningkatkan femicide hingga 28 persen karena stres ekonomi. 

Di Khlong Toei, lansia perempuan seperti Mon si penjual nasi dan anak-anak mengalami gangguan tidur akibat panas malam hari, bangun dua sampai tiga kali untuk mandi air dingin, yang berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Namun, kebijakan pembangunan pemerintah sering kali mengabaikan situasi ini. 

Lantas apa solusi yang bisa diupayakan? 

Terlihat beberapa kipas angin di dalam toko yang dikelola Camnong (63). (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Baca juga: Bukan ‘Heatwave’, tapi ‘Hot Spells’: Penjelasan Cuaca Panas Belakangan Ini

Solusi Kolektif ala Komunitas Prateep 

Di tengah situasi darurat, komunitas yang dipimpin Prateep Ungsongtham Hata menjadi benteng ketahanan terakhir sejauh ini. Komunitas tersebut ingin menunjukkan bagaimana kepemimpinan perempuan bisa mengubah struktur patriarkal yang memperburuk kerentanan mereka. 

Dilansir dari laman resmi komunitas, Prateep lahir di Khlong Toei pada awal 1950-an dari ayah nelayan keturunan Tionghoa dan ibu Thailand. Rumah ilegal membuat ia tak punya akta kelahiran dan dilarang masuk sekolah negeri. Saat usianya menginjak 12 tahun, ia terpaksa berhenti sekolah karena kemiskinan. Ia bekerja di pelabuhan dengan upah satu baht per hari, tapi menabung untuk bisa mengikuti sekolah malam. 

Prateep Ungsongtham dengan rombongan jurnalis Asia Tenggara dalam media visit yang diselenggarakan Global Climate Resilience for All. (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Pada usia 16 tahun, ia mendirikan Sekolah Satu Baht di rumahnya. “Jika mereka (anak-anak di perkampungan kumuh Khlong Toei) bisa membaca dan menulis, mereka tidak akan mudah ditipu,” kata Prateep (10/10). 

Pada 1970-an, saat ancaman penggusuran dari otoritas pelabuhan, Prateep memimpin perlawanan. “Kami datang bersama-sama dan menghentikan bulldozer, menghentikan pasir yang ditumpuk di atas rumah. Setiap hari, saya dan saudara saya mencoba memberi pendidikan untuk anak-anak setidaknya,” ceritanya. 

Usahanya mendapat dukungan publik, dan sekolah diakui resmi pada 1976. Pada 1978, ia menerima Ramon Magsaysay Award dan mendirikan Duang Prateep Foundation (DPF), yang menggabungkan pendidikan Montessori, manajemen lingkungan, dan pelatihan pemadam kebakaran. 

“Kami melatih anak-anak muda di komunitas untuk memadamkan api, sehingga jumlah rumah yang terbakar bisa berkurang secara signifikan. Tapi kami tidak puas, kami ingin tidak ada kebakaran sama sekali. Juga tidak ada penggusuran,” tambahnya. 

Sekolah Satu Baht sendiri kini relatif populer, bahkan menjadi magnet bagi banyak sukarelawan berbagai negara. Saat saya menyambangi sekolah tersebut pada (10/10), terlihat puluhan anak-anak belajar dengan metode Montessory. Mereka dilatih untuk aktif bergerak, memiliki indra sensorik yang tajam, dan kritis terhadap berbagai hal. 

Mon—punya nama sama dengan Mon, penjual nasi di Khlong Toei—menjelaskan, sekolah ini menerima ratusan murid miskin, termasuk mereka yang bermukim di Khlong Toei. Beberapa di antaranya berasal dari Thailand Utara, juga daerah-daerah konflik seperti Myanmar dan Kamboja.  

“Meski sekarang biayanya naik jadi 1.000 Baht, tapi orang tua bebas untuk tak membayar atau membayar semampunya saja,” tutur Mon kepada saya. 

Komunitas ini juga membangun kebun kolektif dan daur ulang sampah, mengubah limbah menjadi produk berguna. Kiprahnya sebagai senator Thailand pada 2000 pun membuat perjuangan Prateep terhadap perempuan dan warga miskin kota menggema lebih keras. Ia pernah menuntut 20 persen tanah dari otoritas pelabuhan untuk diserahkan kepada masyarakat yang memang sudah bertahun-tahun tinggal di sana. 

“Kami meminta 20 persen dari tanah yang dimiliki Port Authority untuk membangun kota kami sendiri,” ujarnya. Fokus Prateep pun meluas tak cuma pemberdayaan perempuan di bidang lingkungan, tapi juga pada anak yang berisiko terpapar narkotika dan kriminalitas. Ia juga mengakomodasi beasiswa untuk anak-anak miskin di Khlong Koei. Anak Mon yang kini jadi dokter adalah salah satu contoh penerima beasiswa yang dimaksud. 

Sekolah anak setingkat preschool dan sekolah dasar yang mengadopsi kurikulum Montessory. Sekolah ini telah mengantarkan sejumlah lulusan jadi guru hingga dokter. (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Baca juga: Seberapa ‘Relate’ Generasi Z dengan Isu Krisis Iklim? Ini Kata Mereka

Dari Bangkok ke Jakarta 

Model Prateep menawarkan solusi struktural karena menggabungkan konsep pendidikan murah, partisipasi komunitas, dan advokasi lingkungan. Konsep ini bisa diadaptasi untuk mengatasi ketidakadilan gender di kota-kota seperti Jakarta, di tengah perubahan iklim yang memburuk. 

Di Khlong Toei, inisiatif lingkungan seperti pengecatan atap putih, kebun mini, dan ventilasi alami dengan pintu bukaan besar, digadang-gadang mampu menurunkan suhu ruangan hingga 11,7°C. Meski relatif tak sempurna, saat saya datang ke sana, warga juga mengalokasikan beberapa lahan untuk membuat ruang terbuka hijau serupa taman dengan bangku-bangku bebas rokok. Ada pula lapangan tenis yang bisa digunakan anak-anak dan warga setempat menjaga kesehatan fisik dan mental

Tak jauh dari lapangan tenis, warga menggunakan listrik dari cahaya matahari yang digerakkan oleh turbin di dalam sungai dangkal warga. Langkah-langkah ini bisa diadaptasi untuk Kota Jakarta. “Kami belajar sendiri kalau solusi kolektif itu bisa efektif kok. Tak heran jika beberapa orang memilih bertahan karena keterikatan erat dengan komunitasnya di sini,” ucap Prateep. 

Tenaga surya di tengah perkampungan, menggunakan turbin yang digerakkan dalam air. (Foto oleh Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Raja Asvanon dan Variya Plungwatana dalam tulisan yang sama memperingatkan, kenaikan suhu 1°C di Bangkok bisa menyebabkan lebih dari 2.300 kematian tambahan. Karena itu, intervensi ruang hijau seperti dilakukan warga Khlong Toei jadi penting di tengah panas ekstrem. 

Di Jakarta, meski kita tak ada heatwave tapi tetap rentan menghadapi cuaca ekstrem. Menurut laporan dari Observer ID, Temperature in Indonesia Projected to Rise Further in 2025 (2024), kita berpotensi menghadapi ancaman serupa, dengan suhu tertinggi 36,1°C . Magdalene pernah meliput dampak cuaca ekstrem untuk kelompok rentan, termasuk perempuan di berbagai daerah. Hasilnya, ada yang sampai sesak napas buntut cuaca panas ekstrem.  

Di saat bersamaan, kebijakan Indonesia terbilang masih kurang responsif gender. Terma gender disebut tapi pemerintah belum bisa menerapkan ukuran inklusivitas di dalamnya, seperti dianalisis dalam State of Gender Equality and Climate Change in ASEAN (2022) oleh tim ASEAN. Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 bahkan sekarang di era Prabowo-Gibran juga masih mempriotiaskan fokus pada pertumbuhan ekonomi alih-alih kerentanan perempuan. 

Karena itulah adaptasi model Prateep bisa dimulai ketika kita tak bisa sepenuhnya menggantungkan asa ke pemerintah. Prateep memulainya dengan sekolah komunitas gratis yang mengintegrasikan pendidikan iklim dan keterampilan perempuan, pelatihan mitigasi panas dan banjir, serta tuntutan hak tanah melalui koperasi perempuan. Di saat bersamaan ia juga mendorong agar ada kebijakan yang mengalokasikan pendanaan untuk ruang terbuka hijau atau penjaminan hak pekerja perempuan, termasuk pekerja di sektor domestik. 

Seperti kata Prateep, “Kita (perempuan) pada akhirnya harus terus bekerja. Masalahnya adalah siapa lagi yang bisa mendukung perempuan jika bukan perempuan sendiri.” 

*Artikel ini adalah hasil liputan dari beasiswa pelatihan jurnalis tentang heatwave, yang diadakan oleh Global Climate Resilience for All. 

About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.