Screen Raves

‘Kotaro Lives Alone’, Tampilkan Rumitnya Trauma dan Kesepian Anak

Di balik karakternya yang pintar dan menggemaskan, Kotaro menyimpan segudang masalah yang membuat penonton banjir air mata.

Avatar
  • April 29, 2022
  • 6 min read
  • 9206 Views
‘Kotaro Lives Alone’, Tampilkan Rumitnya Trauma dan Kesepian Anak

Kalau boleh jujur, bisa dihitung pakai jari, berapa banyak saya mengonsumsi tontonan non-Amerika dan Inggris. Sampai-sampai sejumlah rekan melemparkan banyolan, katanya saya perlu didekolonialisasi akibat kebanyakan terpapar konten kebarat-baratan. Semua berubah saat premis anime Kotaro Lives Alone (2022) mencuri perhatian saya.

Bercerita tentang anak berusia empat tahun, Kotaro Sato, penghuni baru di Apartemen Shimizu yang tinggal sendirian. Hal itu merebut perasaan Shin Karino—tetangganya, penulis manga memutuskan untuk merawat Kotaro.

 

 

Pasalnya, sejak awal pertemuan mereka, Karino menemukan kejanggalan dalam diri penyewa apartemen 203 itu. Bagaimana pemilik gedung mengizinkan anak kecil tinggal di sana? Bagaimana ia bisa hidup dan mengurus diri sendiri, tanpa figur orang dewasa?

Tanpa ekspektasi atau menyelami sinopsisnya di mesin pencari, saya ingin menjawab sejumlah pertanyaan yang juga muncul dalam kepala Karino, dengan asumsi tontonan tersebut adalah komedi ringan pelepas penat. Apalagi ditambah karakter Kotaro yang menggemaskan, tapi sangat dewasa untuk anak seusianya.

Jadilah saya tenggelam dalam 10 episode, mencari tahu alasan anak itu tinggal sendirian, dan bicara dengan gaya bahasa feodal.

Baca Juga: Ini Alasan Drama Jepang ‘Kotaro Lives Alone’ Wajib Ditonton

Absennya Peran Orang Tua

Siang itu Kotaro melihat seorang laki-laki tengah membagikan balon di pinggir jalan. Sama seperti anak-anak seusianya, muncul keinginan dalam dirinya untuk memiliki mainan tersebut.

Sayangnya, sosok yang menawarkan balon menegaskan, setiap anak hanya boleh meminta satu buah. Sulit bagi Kotaro untuk memilih, tetapi pilihannya jatuh pada yang berwarna merah.

Tak kehabisan akal, ia berusaha menyamar jadi orang yang berbeda, dan kembali menghampiri laki-laki tersebut sebanyak tiga kali. Gemas awalnya, berprasangka bagaimana anak itu sangat menginginkan mainan tersebut.

Namun, saat kembali ke rumah, Kotaro meminta Karino untuk menggambarkan wajah di empat balon yang digenggamnya. Satu anak laki-laki, satu anak perempuan, satu laki-laki dewasa, dan satu perempuan dewasa.

Ternyata ia bukan ingin memiliki balon sebanyak-banyaknya untuk kesenangan pribadi, melainkan merealisasikan konsep keluarga nuklir yang didambakan. Terdiri dari ayah, ibu, dan dua saudara kandung, adalah impian sederhana Kotaro yang akan membuatnya bahagia, tetapi tidak dapat direalisasikan.

Ia justru dituntut keadaan untuk menjadi dewasa sejak dini, bahkan tampaknya telah kehilangan garis hidupnya, akibat ditelantarkan.

Dari sejumlah adegan dan dialog dalam anime yang diadaptasi dari manga karya Mami Tsumura itu, penonton dapat menilai motivasinya menjalani hari demi hari, ialah kembali dipertemukan dengan orang tuanya.

Alasan itu yang membuatnya bertahan dan berusaha menguatkan diri, sekalipun menghadapi kesulitan tanpa peran ayah dan ibu, terutama dalam urusan keperluan sekolah. Bahkan, ia menginvalidasi perasaan dan kondisi kesehatannya, agar tidak dicap lemah.

Kendati demikian, Kotaro paham betul emosi dan ciri-ciri orang dewasa yang sedang tidak baik-baik saja. Sewaktu mata Mizuki Akitomo membengkak misalnya, Kotaro langsung mengetahui perempuan itu habis menangis semalaman, dan mengingatkannya, tidak apa-apa jika ingin menangis.

Namun, yang ia lakukan justru sebaliknya. Ketika terjatuh saat sedang berlari, ia memilih diam dan mengucapkan mantra untuk dirinya, agar kuat dan tidak menumpahkan air mata.

Kekuatan yang berusaha dibangunnya itu berlandaskan sebuah asumsi, yang umumnya dimiliki anak-anak dengan abandonment issues. Yakni menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab permasalahan yang terjadi, sampai orang tuanya memutuskan pergi.

Acapkali karakter Kotaro ditampilkan sedang tenggelam dalam kecemasannya, lewat monolog ataupun raut wajah. Sesekali ia menyuarakan pikirannya, tentang ayahnya yang enggan merawatnya karena ia masih lemah. Belum cukup kuat untuk bisa tinggal bersama dan menjalin relasi sebagai orang tua dan anak, katanya.

Hal itu mencerminkan bagaimana abandonment issues juga membuat seseorang mempertanyakan self-worth, akibat menganggap dirinya tidak begitu berharga sampai ayah dan ibunya saja rela meninggalkan.

“Sebelumnya aku enggak pernah berpikir, kelahiranku ternyata hal yang baik,” gumam Kotaro, merasa heran hari ulang tahunnya patut dirayakan.

Belum sampai di situ, perasaan ditelantarkan juga berdampak pada kemampuan anak memercayai orang lain, atau membangun relasi yang lebih intim, karena diliputi perasaan cemas dan ketergantungan secara emosional.

Itulah mengapa Kotaro sangat menutup diri dan menegaskan pada Karino, bahwa ia tidak membutuhkan bantuannya karena mampu melakukan apa pun seorang diri.

Baca Juga: ‘Thermae Romae Novae’: Anime Kocak yang Dobrak Batasan Waktu

Anime Kotaro Lives Alone Merepresentasikan Realitas di Jepang

Sejak awal kedatangannya di Apartemen Shimizu, baik tetangga, pemilik apartemen, dan perusahaan asuransi yang memberikan Kotaro uang setiap minggunya, mengetahui ia hidup tanpa pengawasan orang tua.

Betul mereka merawat Kotaro, sayangnya tidak ada yang berusaha menghubungi layanan sosial untuk perlindungan anak, atau kembali menempatkan Kotaro di panti asuhan agar mendapatkan pendampingan yang tepat.

Anime bergenre seinen yang menargetkan audiens laki-laki dewasa ini mencerminkan realitas di Jepang, bagaimana negara tersebut belum mampu melindungi anak-anak yang rentan dengan baik.

Meskipun pemerintah menyediakan fasilitas pelayanan sebagai tempat tinggal anak-anak yang dilecehkan dan ditelantarkan, kondisinya belum cukup kondusif bagi anak-anak yang memiliki trauma.

Melansir The Jakarta Post, fasilitas pelayanan itu belum mampu melindungi dan menciptakan ruang aman bagi anak-anak. Sejumlah petugas berlaku semena-mena, membuat anak-anak hidup dalam ketakutan akan menerima hukuman, ataupun perlakuan ketat.

Itu juga yang terjadi pada Kotaro. Saat tinggal di panti asuhan yang seharusnya memberikan keamanan baginya, ia justru takut dan bersembunyi di balik meja, ketika ayahnya yang abusif  datang mencarinya. Alasan kuat bagi Kotaro untuk meninggalkan tempat itu, lalu pindah ke apartemen.

Baca Juga: 6 Rekomendasi Dorama Jepang Menarik Sepanjang Masa

Kehadiran Chosen Family

Malam itu berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini tidak ada penerangan, maupun suara dari televisi yang biasanya menemani.

Di tengah tidur lelapnya, mata Kotaro membelalak, seperti baru saja diguncang mimpi buruk. Mungkin tentang kenyataan harus hidup sendiri, tidak seperti anak-anak seusianya yang masih dibanjiri kasih sayang keluarga. Ditambah Tonosaman—anime kesayangannya, yang baru saja mencapai season finale. Membuat kesepian semakin menyergap.

Alih-alih tinggal diam ketika melihat Kotaro yang belum tidur saat ia pulang kerja, begitu juga dengan kantong mata yang tampak di wajahnya, Mizuki mengajak anak empat tahun itu menginap di apartemennya.

Konsep chosen family, atau keluarga yang dibentuk berdasarkan keinginan untuk mendukung dan merangkul satu sama lain, tampak sebagai solusi atas abandonment issues yang dialami Kotaro.

Biasanya, mereka memiliki kemiripan latar belakang, hubungan interpersonal, dan sikap saling pengertian yang akhirnya membentuk koneksi. Maka itu, sebagian orang lebih memiliki keterikatan dengan chosen family, yang memberikan kebutuhan emosional secara ideal, dibandingkan keluarga biologis yang didasarkan pada ikatan darah.

Ajakan Mizuki untuk menginap misalnya. Perempuan yang bekerja di sebuah kelab malam itu tahu betul, Kotaro memilih terjaga di malam hari supaya mimpi buruk itu tidak datang lagi. Pasalnya, ia mengalami hal yang sama sewaktu kecil, seperti diceritakannya pada Karino.

Selain Mizuki, Karino dan Isamu Tamaru—tenant di lantai satu Apartemen Shimizu, juga terlibat dalam keluarga itu. Mereka berusaha hadir untuk Kotaro, contohnya dalam urusan sekolah, dengan berinisiatif sebagai penyelenggara festival sekolah, di saat orang tua murid lainnya enggan berpartisipasi.

Perilaku kecil dari chosen family itu memberikan kesempatan bagi Kotaro, untuk merasakan keberadaannya yang berharga, sesuatu yang bikin penonton tersenyum lega.

Ia pun mengerti rasanya ketika kebahagiaannya diprioritaskan, salah satu hal yang belum tentu didapatkan sewaktu tinggal bersama orang tuanya. Bahkan, Kotaro tidak hanya menerima dukungan itu. Ia melakukan hal yang sama kepada ketiga tetangganya.

Misalnya memberikan saran untuk ilustrasi Karino yang kerap dikritik editornya, meyakinkan Mizuki meninggalkan mantan pacarnya yang abusif, dan membela Tamaru ketika sejumlah warga dan petugas keamanan menuduhnya sebagai penjahat.

Pada akhirnya, menyaksikan kehangatan yang saling diberikan chosen family ini berhasil membuat emosi penonton naik turun. Ditambah kegigihan Kotaro untuk mempersatukan keluarganya kembali.

Satu pesan saya, siap-siap tisu karena tiap episodenya akan membuatmu menyeka air mata.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *