Membela Berujung Penjara: 5 Aktivis Lingkungan yang Dikriminalisasi Negara
Daniel Frits Maurits Tangkilisan bukan satu-satunya aktivis lingkungan yang dikriminalisasi. Ada lima aktivis lain yang namanya sempat viral karena perlawanan mereka.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jepara Jawa Tengah memutus aktivis lingkungan Daniel Frits Maurits Tangkilisan bersalah, (4/4). Ia divonis tujuh bulan penjara dengan denda Rp5 juta subsider 1 bulan kurungan. Hukuman itu diketok setelah Daniel dan kawan-kawan membentuk gerakan #SAVEKARIMUNJAWA pada 2022. Gerakan itu lahir sebagai bentuk penolakan tambak udang ilegal yang semakin merajalela kala perekonomian masyarakat Karimunjawa terperosok akibat pendemi.
Mengutip unggahan akun resmi Amnesty International Indonesia, perusahaan tambak udang ilegal ini memengaruhi warga lokal untuk turut membuka tambak. Lewat bujuk rayu hingga memberi bantuan untuk masjid dan musala, para pengusaha berusaha mengambil hati warga. Sebagai gantinya, para pengusaha meminta dukungan atas aktivitas tambak.
Warga yang tak mengerti dampak tambak lantas tergoda dengan pengusaha, sehingga tambak kian merajalela. Dampaknya serius. Ekosistem laut Karimunjawa tercemar dan warga pun terpapar berbagai masalah kesehatan.
Melihat kondisi lingkungan Karimunjawa yang memprihatinkan, Daniel lewat akun Facebook-nya pada 12 November 2022 mengunggah video berdurasi enam menit. Isinya menyoroti kondisi pesisir Karimunjawa terdampak limbah tambak udang. Unggahan ini, tulis Tempo.co, dilaporkan ke Polres Jepara, yang teregister dengan nomor laporan LP/B/17/II/SPKT/POLRES JEPARA/POLDA JATENG tertanggal 8 Februari 2023. Daniel dilaporkan memakai Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan segera ia jadi tersangka pada Mei 2023.
Baca juga: Kisah Mereka yang Mengais Rupiah dari Timah
Vonis Daniel menambah daftar panjang kriminalisasi aktivis lingkungan di Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sendiri mencatat total korban kriminalisasi tersebut mencapai 827 orang. Mayoritas tak mendapat keadilan sebagaimana mestinya. Bahkan tak sekadar dibui, pembela lingkungan di Indonesia menghadapi kerentanan dalam berbagai bentuk. Mereka diintimidasi, diteror, dan direnggut nyawanya.
Kita masih ingat dengan sosok Salim Kancil, petani Desa Selok Awar-awar, Lumajang, Jawa Timur yang dibunuh karena menolak penambangan pasir di wilayah tempat tinggalnya. Ia dikeroyok oleh puluhan warga yang mendukung proyek tambang dan ditemukan tewas dengan luka bacok dan tangan terikat, 26 September 2015, tulis Kompas. Membela lingkungan yang ditebus dengan nyawa juga terjadi pada Indra Pelani dari Serikat Tani Tebo di Jambi. Ia disiksa petugas perusahaan swasta yang berkonflik dengan warga.
Dari kalangan wartawan, nama Maradam Sianipar dan Maratua Siregar pun juga harus merelakan nyawanya direnggut, saat sibuk advokasi konflik agraria di Labuhan Batu, Sumatera Utara, 2019 silam, dilansir dari sumber yang sama.
Dari berbagai kasus kriminalisasi dan pembunuhan aktivis lingkungan di atas, ada ironi di baliknya. Sebab sebenarnya di atas kertas, perlindungan lingkungan sebenarnya sudah dijamin dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sayang, pedoman ini tidak digunakan oleh aparat penegak hukum.
Belum lagi Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang berakhir sebagai retorika saja. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam Alinea.id pun menilai, dalam praktiknya memang aparat penegak hukum tidak punya pemahaman yang baik dalam memahami perlindungan pembela lingkungan dan hak asasi manusia.
Minimnya pemahaman ini diperparah dengan kencangnya aliran investasi dan masifnya proyek-proyek pembangunan yang tidak berkelanjutan. Sehingga, perjuangan hak atas lingkungan hidup rakyat justru dinilai sebagai ancaman. Tak ayal, masyarakat dan aktivis lingkungan pun jadi rentan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.
Berikut ada lima nama aktivis lingkungan yang namanya dikenal luas masyarakat Indonesia karena dikriminalisasi oleh negara:
Baca Juga: Belajar dari Aktivisme Lokal Perempuan untuk Menjaga Lingkungan
1. Eva Bande
Nama Eva melejit setelah ia ditangkap oleh satuan gabungan Polda Sulteng, Polres Luwuk Banggai, dan Polres Toili. Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) tersebut dituduh melanggar Pasal 160 KUHP: “… melakukan penghasutan sehingga orang lain melakukan tindakan pidana terhadap penguasa umum”.
Penangkapan Eva terjadi lantaran ia bersama ratusan petani yang ia dampingi, mendatangi kantor PT Berkat Hutan Pusaka (PT BHP) pada 26 Mei 2011. Dikutip dari buletin KontraS, PT BHP menutup akses jalan kantong produksi petani Desa Piondo, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, dengan menggali lubang sedalam 7 meter dan lebar 4 meter di tiga titik yang berbeda.
Hal ini memicu kemarahan petani, apalagi memang konflik penguasaan lahan antara masyarakat Desa Piondo dan Desa Bukit dengan PT. Berkat Hutan Pusaka (BHP) yang telah berlangsung lama yang menurut LBH Jakarta sudah terjadi sejak 1990-1991. Konflik ini telah membuat petani semakin kekurangan tanah karena diambil alih paksa oleh pihak perusahaan tanpa melibatkan masyarakat.
Lewat aksinya bersama petani, Eva kemudian dituntut hukuman 3 tahun 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum dan divonis oleh Hakim Pengadilan Negeri Luwuk selama 4 (empat) tahun penjara melalui Putusan Nomor 178/PID.B/2010/PN.LWK. Dua bulan setelah Jokowi dilantik, Eva diberikan grasi. Namun pemberian grasi terhadapnya tidak lantas jadi pembelajaran bagi negara untuk tidak mengkriminalisasi aktivis lingkungan.
2. Jasmin
Nasib warga Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara semakin tidak menentu ketika satu perusahaan tambang nikel PT Gema Kreasi Perdana (GKP) datang ke wilayah mereka. PT GKP membuat jalan dan menerobos lahan sah milik masyarakat yang tidak pernah diserahkan atau dijual kepada PT GKP untuk dijadikan jalan tambang (hauling).
Lebih dari itu menurut data JATAM dan LBH Makassar yang dikutip Sindonews, PT GKP, termasuk seluruh perusahaan tambang di Wawonii diduga illegal. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti Wawonii, peruntukannya bukan untuk kegiatan pertambangan.
Hal yang sama juga termaktub dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Sultra. Tambang ilegal ini tak ayal diprotes oleh warga dan sempat dilaporkan ke polisi. Namun laporan warga tak pernah digubris sama sekali sampai pada akhirnya PT GKP melaporkan balik.
Jasmin yang kerap kali kerap kali menyuarakan penolakan perusahaan tambang di Pulau Wawonii ditangkap Polda Sulawesi Tenggara pada Minggu, 24 November 2019. Jasmin beserta 21 warga Wawonii lainnya dilaporkan ke polisi oleh salah satu karyawan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) karena dituduh merampas kemerdekaan terhadap seseorang sesuai dengan pasal 333 KUHP.
JATAM menilai, laporan terhadap Jasmin dan warga Wawonii lainnya perlu dipertanyakan. Sebab, mereka hanya berusaha mempertahankan lahan yang sudah menjadi haknya yang diterobos paksa oleh PT GKP.
Baca juga: Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki
3. Heri Budiawan
Setelah merantau di Arab Saudi selama 10 tahun, Heri Budiawan atau dikenal dengan panggilan Budi Pego kembali ke kampung halaman dan bergabung bersama warga menolak tambang emas. Mengutip dari Kompas.com, Budi gencar melakukan perlawanan, mulai dari aksi pengosongan karyawan perusahaan PT Bumi Suksesindo hingga beraksi ke kantor Bupati Banyuwangi. Akibat perlawanannya, dalam kurung wakti 2014 hingga 2017 ia telah dilaporkan ke kepolisian sebanyak lima kali.
Laporan terakhir terhadapnya mengantarkan Budi mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas Banyuwangi). Semua berawal pada April 207 ketika ia beserta warga Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi beraksi menolak tambang emas PT Merdeka Copper Gold.
Imbasnya, ia dituduh menyebarkan paham komunisme atau Marxisme–Leninisme lewat spanduk bergambar palu arit yang berlangsung di depan kantor Kecamatan Pesanggaran kala itu. Budi bilang ia tak tahu menahu soal spanduk itu. Ia cuma membuat 11 pandan dan 10 di antaranya dipasang di depan kantor Kecamatan Pesanggaran. Spanduk palu arit itu datang dari sekelompok orang yang tiba-tiba datang di antara kerumunan massa aksi yang kemudian dibentangkan selama aksi berlangsung.
Dari kejadian itu, Budi malah justru dikriminalisasi sebagaimana disangkakan kepolisian lewat dasar Pasal 107a KUHP. Pada 23 Januari 2018, Pengadilan Negeri memvonis Budi 10 bulan penjara. Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi diperkuat Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Budi lalu mengajukan kasasi karena tak puas atas putusan PN Jawa Timur.
Bukannya diringankan, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Budi bahkan menambah hukuman jadi empat tahun.
4. Tubagus Budhi Firbany
Pada 3 Agustus 2017, Tubagus Budhi Firbany, aktivis pembela nelayan dan lingkungan ditangkap oleh Polres Bangka. Melansir dari KontraS, laki-laki dikenal dengan sebutan Panglima ini memang getol melakukan aksi perlawanan terhadap para penambang timah ilegal di Pulau Bangka.
Ia yang juga merupakan ketua komunitas nelayan di Pulau yang sangat keras memprotes gangguan-gangguan para penambang ilegal yang beraktivitas di lokasi kapal-kapal nelayan melaut. Tindakan para penambang timah ilegal ini mengancam mata pencaharian nelayan dan kehidupan keluarga nelayan termasuk juga merusak dan mencemarkan lingkungan dan laut.
Puncaknya ketika ia memprotes dan membela nelayan yang ikut menentang penambangan timah ilegal di muara kawasan industri Jelitik. Sehari setelah kejadian itu, polisi menuding Budhi berniat menyerang kantor Polres Bangka.
Tudingan ini dikutip dari Tempo.co tak lepas dari pemahaman Kepolisian Pulau Bangka terkait panggilan ‘Panglima’ yang disematkan kepada Budhi. Padahal panggilan ini merupakan gelar adat Bugis Melayu yang diberikan kepadanya,
Budhi ditangkap atas dasar tiga pasal, yaitu 335 ayat 1 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, lalu pasal Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 ayat 1, antara lain mengenai kepemilikan senjata api dan senjata tajam, separatisme dan pengorganisasian perlawanan bersenjata melawan pemerintah yang sah, dan terakhir Pasal 55 KUHP tentang menganjurkan orang berbuat kejahatan.
Baca Juga: Nadea Nabilla Putri: Tinggalkan Kerja demi Perjuangkan Nelayan
5. Muhammad Sandi
Muhammad Sandi, aktivis lingkungan yang juga Ketua DPC Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) jadi tersangka pencemaran nama baik pada 2019 silam. Ini terkait usahanya mengadvokasi pencemaran air sungai akibat limbah pabrik perkebunan sawit dan pertambangan di Kecamatan Sandai dan Delta, Kabupaten Ketapang.
Mengutip Tempo.co, di sana ada sekitar 300 warga terserang penyakit kulit. Pada Januari 2019, warga sempat melaporkan temuan ini ke Dinas Kesehatan setempat yang kemudian berujung pada DPC Ampuh menggugat dua perusahaan sawit karena melakukan pengrusakan lingkungan di wilayah yang beririsan dengan zona merah atau zona inti hutan lindung dan areal pemukiman warga.
Dalam laporan mereka, kedua perusahaan diduga mengalirkan limbah ke sungai Kediuk yang menjadi sumber penghidupan warga di enam desa. Atas kejadian tersebut, Sandi justru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh salah satu perusahaan. Ia sempat mengadukan kasusnya ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena dianggap penuh kejanggalan, namun hingga kini belum ada informasi terbaru terkait kasusnya ini.