Mengampuni Koruptor, Kado Janggal Prabowo untuk Hasto
Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti bagi 1.178 narapidana, termasuk Hasto Kristiyanto, melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025. Pengumuman ini disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad dan sejumlah menteri dalam konferensi pers.
Kepada media, Dasco menyebut DPR telah melakukan rapat dan menyetujui permohonan tersebut. “Pemberian persetujuan tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana diberikan amnesti,” ujar Dasco, dikutip dari Tempo.
Wakil Menteri Sekretaris Negara Juri Ardiantoro mengatakan, langkah Presiden bertujuan mempererat dan mempersatukan seluruh elemen bangsa.
“Jadi misalkan pemberian abolisi, amnesti, atau juga kebijakan lain bisa dimaknai, menjadi faktor mempererat, mempersatukan seluruh elemen bangsa akan dilakukan oleh Bapak Presiden,” ujarnya kepada media yang sama.
Kebijakan ini memicu respons keras dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai keputusan tersebut sebagai bentuk intervensi politik terhadap proses hukum yang masih berlangsung.
Baca juga: Hai, Aku Negara dan Ini Kenyataan Pahit di Balik Abolisi Tom Lembong
Perdana Diberikan dalam Kasus Korupsi
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Yasser menyebut pemberian abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti bagi Hasto Kristiyanto merupakan yang pertama kali dalam perkara korupsi.
“Presiden masuk untuk intervensi proses hukum ini, dan menutup perkaranya begitu saja dalam tanda kutip memberikan abolisi untuk Tom Lembong, dan amnesti kepada Hasto,” ujar Yasser dalam konferensi pers ICW.
Ia menekankan keduanya belum diputus secara inkrah. Bahkan Tom Lembong menyatakan akan mengajukan banding. Menurut Yasser, campur tangan presiden dalam proses yang belum selesai mengindikasikan ketidakpercayaan pada institusi peradilan.
“Biarkan saja prosesnya berlangsung, dan sekali pun memang ada banyak hal yang perlu dikritisi dari putusan-putusannya, biarkan itu berproses,” katanya.
Ia menambahkan, perkara Tom dan Hasto dinilai sarat muatan politis, proses hukum tetap perlu dijalankan sebagai bagian dari sistem evaluasi.
“Abolisi dan amnesti bukan sebuah jawaban, untuk menjawab permasalahan tudingan-tudingan politisasi kasus korupsi,” ujar Yasser.
Yasser juga menilai proses persidangan korupsi seperti ini penting karena bisa membuka celah-celah tata kelola pemerintahan yang rentan, sekaligus memberi peluang koreksi.
“Tapi karena abolisi Tom dan amnesti untuk Hasto yang ditutup dari awal, ya jadi tidak terlihat, bahkan belum ada niat untuk perbaiki aspek korupsi itu,” katanya.
Baca juga: Pengadilan HAM Dinilai Gagal Hadirkan Keadilan
Kurangnya Transparansi dan Potensi Bahaya di Masa Depan
ICW menyebut kebijakan ini membuka potensi impunitas. Menurut Yasser, alasan pemerintah bahwa keduanya diberikan abolisi dan amnesti karena punya kontribusi publik adalah dalih yang tidak tepat dalam konteks pidana korupsi.
“Praktik abolisi dan amnesti menambah impunitas, praktik pemberian abolisi dan amnesti membuka kemungkinan untuk para terpidana kasus korupsi di kemudian hari akan terjadi kembali,” ujarnya.
Mekanisme pemberian abolisi dan amnesti dinilai seharusnya transparan dan berbasis standar teknis, bukan semata hak prerogatif Presiden. Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyatakan akan mempublikasikan daftar penerima amnesti di situs Kemenkumham.
“Hari ini saya perintahkan supaya nama-namanya semua di-upload di website Kementerian Hukum supaya tidak ada kecurigaan. Mudah-mudahan sudah ya, tadi saya sudah panggil Dirjen,” katanya, dikutip dari Antara (4/8).
Namun saat Magdalene mencoba mengakses informasi tersebut (6/8), data pemberian amnesti kepada 1.178 narapidana tidak ditemukan.
Baca juga: Setelah Putusan Tom Lembong, Apa Maknanya Buat Pembuat Kebijakan?
Pertemuan Politik dan Dugaan Negosiasi
Sahel Muzammil dari Transparency International Indonesia (TII) mempertanyakan potensi adanya kesepakatan politik antara PDIP dan pemerintah. Pertanyaannya muncul usai pengumuman abolisi dan amnesti, ketika Ketua Harian Gerindra Sufmi Dasco menemui Megawati di kediamannya, bersama Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Dokumentasi pertemuan tersebut diunggah Dasco melalui akun Instagram-nya. Tak lama setelahnya, Megawati meminta kader PDIP untuk mendukung kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Sahel menyatakan, “Mereka berjanji untuk tidak mengintervensi KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman, apakah komitmen ini masih dihormati, atau pemerintah telah membatalkan secara implisit komitmen terhadap Asta Cita itu?”
Menurutnya, bisa jadi Tom Lembong “dijadikan bidak” agar pemberian amnesti Hasto tampak netral. “Jadi Tom Lembong bidak yang dipermainkan untuk mengimbangi pemberian amnesti kepada Hasto,” ujarnya.
Ketua organisasi gerakan anti-korupsi, IM57+ Institute Lakso Anindito menyebut proses kasus Hasto selama ini tak lepas dari intervensi politik. Ia merujuk pada peristiwa penghalangan penyidikan di PTIK yang melibatkan penyidik KPK dalam kasus Harun Masiku.
“Karena pada akhirnya yang menghentikan segala proses penegakan hukum ini adalah Presiden Prabowo Subianto sendiri. Karena proses penegakan hukum diselesaikan melalui negosiasi yang sifatnya politis,” katanya.
Menurutnya, gejala intervensi ini berpotensi mengarah pada otoritarianisme. “Gejala otoritarianisme yang dikeluarkan Presiden Prabowo, jadi ini bentuk kemunduran yang luar biasa,” ujarnya.
Desakan Perbaikan Institusi Penegak Hukum
Sementara itu, Koordinator ICW Almas Sjafrina menyebut kebijakan ini sebagai “aksi koboi” Presiden Prabowo.
“Jika Presiden Prabowo mempunyai komitmen terhadap pemberantasan korupsi seharusnya memperbaiki penegakan hukum kita agar lebih independen, lebih kuat, lebih bersih dari cawe-cawe politik,” kata Almas.
Ia menambahkan, seharusnya pemerintah dan DPR mengembalikan ekosistem penegakan hukum yang berkeadilan, termasuk mengembalikan fungsi KPK seperti sebelum revisi UU KPK.
Organisasi masyarakat sipil seperti ICW, TII, dan IM57+ menuntut agar pemberian abolisi dan amnesti dilengkapi dengan standar teknis dan verifikasi terbuka. Mereka menyoroti bahwa dari 44.000 napi, hanya 1.116 yang mendapat amnesti, sehingga metode verifikasinya perlu dibuka ke publik.
“Penyelesaian perkara yang dinilai politis dengan kebijakan yang juga politis hanya akan memperburuk kualitas penegakan hukum itu sendiri,” tutup pernyataan kolektif mereka.
















