Neraka untuk Para Jurnalis Perempuan
Riset terbaru membuktikan, jurnalis perempuan rentan mengalami kekerasan. Karena itulah, SOP tentang kekerasan seksual mendesak dibuat tiap-tiap ‘newsroom’.
Jurnalis perempuan dari Apahabar.com menjadi korban pelecehan seksual saat meliput agenda Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Ummat di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta timur, (14/2). Ia mengaku ada yang mencubit dan meremas bagian belakang tubuhnya, dilansir dari Tempo.
Namun, alih-alih mendapatkan respons yang sesuai saat melaporkan kasus ini, panitia berdalih kekerasan itu tak mungkin dilakukan kader partai. Mereka menduga ada pihak penyusup yang sengaja merusak acara tersebut.
Jurnalis perempuan itu cuma satu di antara sekian banyak gung es pelecehan yang dialami para jurnalis perempuan. Mereka mengalami berbagai jenis pelecehan, mulai dari pelecehan verbal, catcalling, hingga pemerkosaan. Arena pelecehannya pun beragam dari ruang publik bahkan dilakukan oleh rekan kerja dan kerabat sendiri.
Baca juga: Dari Fisik Sampai Kinerja, Jurnalis Perempuan Hadapi Tuntutan Tinggi
Menanggapi masalah ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) melakukan riset untuk pembuatan SOP Kekerasan Seksual (KS). SOP ini akan diajukan untuk jurnalis perempuan dan perusahaan pers pada umumnya.
“Dari banyaknya perusahaan pers yang kami teliti, banyak dari mereka membutuhkan SOP yang lebih spesifik untuk penanggulangan pelecehan seksual,” ujar Nani Afrida, Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia.
Tujuan dari pembuatan panduan SOP ini, imbuh Nani, adalah untuk membuat penyelesaian kasus kekerasan, terlebih jika terjadi di ruang redaksi. Pada akhirnya, SOP penting untuk mendorong terciptanya ruang aman bagi jurnalis perempuan agar bisa bekerja semaksimal mungkin.
Sementara itu, PR2Media melakukan kajian pustaka terhadap konsep kekerasan seksual sebelum memulai riset SOP KS. Hasilnya, mereka menyimpulkan ada dua kategori besar KS, yaitu pelecehan seksual (sexual harassment) dan serangan seksual (sexual assault).
Peneliti PR2Media mengelompokkan jenis-jenis pelecehan seksual dan serangan seksual lewat luring serta daring. Di antaranya:
- Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring.
- Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring.
- Body shaming (ejekan/komentar negatif tentang bentuk tubuh) secara daring.
- Body shaming (ejekan/komentar negatif tentang bentuk tubuh) secara luring.
- Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring.
- Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara luring.
- Catcalling (pelecehan seksual melalui ekspresi verbal di tempat umum) secara luring.
Sementara, serangan seksual hanya terjadi di ranah luring saja, di antaranya:
- Mengalami sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan.
- Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku.
- Dipaksa melakukan hubungan seksual.
Baca juga: Rekam Jejak Jurnalis Perempuan Indonesia dan Tantangan yang Harus Mereka Hadapi
Hasil Riset
Riset ini sendiri menggunakan metode kuantitatif melalui survei pada September 2022, dan wawancara beberapa di antaranya, termasuk dari RRI, TVRI, media komersial, media alternatif/ nirlaba, pada Oktober 2022. Tujuannya untuk mengetahui pengalaman para responden terkait sepuluh jenis kekerasan seksual. Dengan responden sejumlah 852 jurnalis perempuan dan margin of error 3,4 persen, peneliti menanyakan sejumlah hal krusial.
Misalnya, menurut mereka, seberapa penting SOP KS bisa mengatasi kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan. Lalu, apakah sudah ada SOP di perusahaan pers tempat mereka bekerja, apa arti penting SOP, dan tantangan untuk menyusun atau melaksanakan SOP KS.
Hasilnya, sebanyak 82,6 persen pernah mengalami kekerasan seksual, minimal satu jenis KS dari sepuluh jenis yang ada. Sementara, 17,4 persen tidak pernah mengalami KS.
PR2Media pun membuat rangking beberapa kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh para jurnalis perempuan:
- Body Shaming secara luring (58,9 persen dari total responden),
- Catcalling secara luring (51,4 persen),
- Body shaming secara daring (48,6 persen),
- Menerima pesan teks maupun audio visual yang bersifat seksual dan eksplisit secara daring (37,2 persen),
- Sentuhan fisik bersifat seksual yang tidak diinginkan secara luring (36,3 persen),
- Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara luring (36 persen),
- Komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara daring (35,1 persen),
- Diperlihatkan pesan teks maupun audio visual bersifat seksual dan eksplisit secara luring (27,2 persen),
- Dipaksa menyentuh atau melayani keinginan seksual pelaku secara luring (4,8 persen).
- Dipaksa melakukan hubungan seksual secara luring (2,6 persen).
Baca juga: Dari Pelecehan Seksual sampai Kawin Paksa, RUU PKS Jamin Hak Penyintas
Untuk pelaku kekerasan seksual ini sangat beragam, ada yang mengalami KS dari atasan di tempat kerja, rekan kerja, narasumber berita, hingga anonim. Anonim menduduki persentase paling banyak melakukannya. Misalnya, ketika para jurnalis sedang meliput atau melakukan aksi, mereka mendapatkan catcalling dari entah siapa.
Sementara, KS yang dilakukan rekan kerja berupa candaan-candaan yang tanpa disadari masuk dalam kategori kekerasan itu sendiri. Penelitian ini menunjukkan bagaimana para jurnalis perempuan lebih memilih untuk diam.
Hasil riset juga menunjukkan, ada lebih dari 60,9 persen penyintas kekerasan seksual tidak mendapat bantuan dari perusahaan pers. Lalu, 39,1 persen lainnya menerima bantuan dari perusahaan pers. Sebagian mayoritas dari penyintas ini memilih bantuan psikologi sebagai bantuan yang paling mereka inginkan. Para penyintas merasa membutuhkan psikolog untuk menceritakan kejadian yang ada dan bagaimana cara untuk mengambil langkah selanjutnya.
Separuhnya Bilang Tak Ada SOP KS di Media
Dari 852 responden jurnalis perempuan yang diwawancarai, 42,8 persen mengatakan sudah memiliki SOP dan 57,2 persen belum. Buat mereka yang sudah punya SOP, kebanyakan isinya masih bersifat umum, tak spesifik tentang kekerasan seksual. Namun, lebih seperti standar untuk perlindungan dan perilaku terhadap karyawan. Ada juga SOP yang sedikit menyinggung tentang kekerasan seksual tapi tidak mendalam dan belum ada cara untuk mengatasinya.
Menurut Wendratama, peneliti PR2Media, banyak perusahaan pers yang mengaku arti penting SOP KS. SOP KS menjamin perlindungan terhadap korban dan menyediakan ruang aman bagi penyintas kekerasan seksual.
Karena pentingnya SOP KS, Wendratama berharap laporan riset ini bisa membantu media dmembuat SOP tersebut.