Gender & Sexuality Opini

Jilbab Paskibraka dan Pancasila: Kapan Negara Berhenti Mengatur Tubuh Perempuan?

Ada amanat konstitusi yang dilanggar dari larangan anggota paskibraka mengenakan jilbab.

Avatar
  • September 11, 2024
  • 5 min read
  • 734 Views
Jilbab Paskibraka dan Pancasila: Kapan Negara Berhenti Mengatur Tubuh Perempuan?

Penggunaan jilbab kini tengah menjadi polemik di Indonesia. Baru-baru ini, sebuah rumah sakit di Jakarta diduga membatasi pekerjanya dalam penggunaan jilbab.

Sebelumnya, tepat menjelang peringatan Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus lalu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sempat menjadi sorotan publik karena mengeluarkan aturan yang mengatur standar pakaian bagi pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) putri saat melaksanakan tugas kenegaraan. Kebijakan tersebut berujung pada 18 paskibraka putri melepas jilbabnya saat acara pengukuhan paskibraka pada 15 Agustus 2024.

 

 

Baca juga: ‘Seks dalam Ketetapan Negara dan Tuhan’: Tubuh Perempuan Dijajah atas Nama Moral

Kepala BPIP menyebutkan, tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman dalam pengibaran bendera.

Namun, peneliti gender dan Islam, Lies Marcoes, menekankan bahwa berjilbab atau tidak adalah kebebasan setiap individu untuk memilih dalam kerangka hak asasi manusia (HAM). Kebebasan untuk mengenakan atau tidak itulah yang justru perlu dilindungi untuk merawat kebhinekaan.

Pelarangan menggunakan jilbab pada dasarnya sama saja dengan pemaksaan mengenakan jilbab yang sempat terjadi di sebuah sekolah negeri di Yogyakarta dan, diyakini, banyak juga terjadi di sekolah-sekolah di beberapa kota lainnya.

Polemik pelarangan ataupun pemaksaan penggunaan jilbab ini memantik kembali perdebatan yang fundamental tentang otoritas perempuan atas tubuhnya dalam kerangka ideologi Pancasila.

Tubuh Perempuan dalam Pancasila

Di bawah rezim Orde Baru, negara melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadikan Pancasila sebagai alat propaganda untuk melegitimasi apa yang dianggap negara sebagai sebuah ancaman, serta kebijakan untuk merespons ancaman tersebut.

Kala itu, jilbab yang identik dengan identitas kelompok Islam dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas negara. Maraknya siswi berjilbab pada saat itu membuat negara, melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 052/C/Kep/D/1982 yang mengatur standardisasi seragam sekolah secara nasional. Kebijakan tersebut menjadi alat pihak sekolah untuk mendiskriminasi bahkan merepresi para siswi berjilbab.

Atas tuntutan Reformasi setelah runtuhnya rezim Orde Baru, melalui Ketetapan MPR No. V/MPR/2000, negara menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka. Negara memberikan peluang bagi masyarakat untuk berwacana dan berdialog secara terbuka dalam menafsirkan Pancasila.

Baca juga: Mulus Tanpa Bulu: Ekspektasi Tak Masuk Akal pada Tubuh Perempuan

Pengamat politik Indonesia dari University of Western Australia, David Bourchier, berargumen bahwa Pancasila saat ini harus dipahami sebagai kerangka tempat berlangsungnya perdebatan tentang ideologi di Indonesia.

Dalam artikel saya yang lain, saya menjelaskan bahwa tubuh perempuan—dan konsep relasi dan tatanan gender yang ideal—menjadi hal yang tidak terpisahkan dari pertarungan ideologi tersebut.

Intervensi Negara Soal Penutup Kepala

Seiring dengan munculnya kembali kelompok Islam konservatif di era Reformasi, sila pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sering kali digunakan sebagai dalil untuk menjustifikasi peraturan yang memaksakan penggunaan jilbab sebagai standar berbusana perempuan.

Dalam merespons kekuatan arus politik Islam, negara di bawah pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo melembagakan kembali Pancasila melalui BPIP yang berupaya untuk memformalkan tafsir Pancasila yang tunggal. Pada tahun 2020, seruan untuk pembubaran BPIP pun datang dari sebagian kelompok umat Islam di Indonesia.

Kebijakan BPIP tentang standar busana paskibraka yang mengatasnamakan keseragaman perlu dipahami dalam konteks sejarah politik Pancasila. Melalui kebijakan itu, negara menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi tubuh perempuan di ruang dan waktu tertentu: agar paskibraka putri yang berjilbab melepaskan jilbabnya selama menjalankan “tugas kenegaraan”.

Secara simbolis, perempuan Indonesia yang ideal di hadapan negara menurut BPIP adalah perempuan tanpa jilbab. Ini mengingatkan kita kembali kepada fenomena pelarangan jilbab di era Orde Baru.

Alih-alih mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, negara lagi-lagi mencederai hak dan kebebasan setiap perempuan untuk mengatur tubuhnya sendiri dengan penafsiran Pancasila yang salah kaprah.

Penutup Kepala Simbol Pembebasan Perempuan

Pada tahun 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara dari beberapa daerah di Indonesia. Festival yang mengusung tema “Merawat Kebangsaan, Merayakan Keberagaman” ini bertujuan untuk melawan bentuk-bentuk penyeragaman termasuk dalam hal berbusana berdasarkan ajaran agama tertentu.

Penutup kepala dari masing-masing daerah tersebut memiliki makna filosofis tersendiri. Di Minangkabau, Sumatera Barat, misalnya, penutup kepala perempuan dikenal dengan sebutan “Tingkuluak”. Tingkuluak menyimbolkan kedaulatan dan kekuatan hati perempuan Minangkabau sekaligus menjadi hiasan.

Paskibraka dilarang pakai jilbab
Ilustrasi perempuan mengenakan jilbab. Hengky Pagipho/Shutterstock

Jika Pancasila memang digali dan diambil dari bumi Indonesia sendiri, maka sepatutnya BPIP memahami betul bahwa penutup kepala perempuan bukanlah sesuatu yang asing dalam budaya masyarakat Indonesia.

Pengetahuan publik tentang keragaman penutup kepala perempuan adat sayangnya masih sangat terbatas. Seharusnya, hal ini mendorong BPIP untuk terus menggali dan merawat kemajemukan yang merupakan identitas masyarakat Indonesia.

Baca juga: Teknologi dan Obsesi Cantik yang Problematik

Keragaman penutup kepala perempuan Indonesia menunjukkan bahwa konsep perempuan Indonesia yang ideal tidaklah tunggal. Kebijakan penyeragaman busana paskibraka putri ini justru bertolak belakang dengan komitmen BPIP terhadap nilai-nilai nondiskiriminatif yang terkandung dalam Pancasila.

Pada tahun 2020, BPIP bersama Komnas Perempuan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan penandatanganan nota kesepahaman untuk menertibkan peraturan daerah yang diskriminatif. Dalam acara tersebut, perwakilan BPIP secara tegas menyampaikan bahwa “sila Pancasila mengandung nilai-nilai yang bebas diskriminasi apalagi diskriminasi gender.”

Polemik aturan jilbab di Indonesia ini menjadi indikasi yang kuat bahwa perempuan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Ini menjadi catatan penting bagi kita bersama untuk selalu kritis terhadap penafsiran Pancasila oleh siapapun yang berkuasa agar tidak ada lagi perempuan yang mengalami diskriminasi atas pengalaman ketubuhannya.

Menggali dan menggaungkan tafsir Pancasila yang nondiskriminatif gender adalah langkah penting yang perlu kita lakukan bersama untuk kemerdekaan perempuan Indonesia seperti yang diamanatkan dalam konstitusi.

Muhammad Ammar Hidayahtulloh, PhD Candidate, The University of Queensland

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Muhammad Ammar Hidayahtulloh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *