LGBT di Media: Minim Perwakilan, Terancam RUU Penyiaran
RUU Penyiaran dikhawatirkan akan benar-benar menghilangkan kawan-kawan LGBT dari media, baik konvensional maupun digital.
Mobil satelit dengan tulisan TV One terparkir di depan kediaman Dede Oetomo, Surabaya pada Desember 2017 silam. Pendiri Yayasan GAYa Nusantara itu baru pulang mengajar dan langsung bersiap-siap duduk di depan kamera yang menyambungkan dirinya ke studio Indonesia Lawyers Club (ILC).
Saat itu, dia diminta mengomentari kegagalan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) dalam uji materi Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagai informasi, pada 2016, AILA ingin MK mengubah Pasal 292 KUHP yang mengatur larangan hubungan seksual sesama jenis antara orang dewasa dan belum dewasa. Mereka meminta MK menghapus frasa “belum dewasa”, agar semua hubungan seksual sesama jenis dapat digolongkan sebagai perbuatan kriminal. MK menolak permohonan uji materi itu pada 2017, dengan alasan tidak punya kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru.
ILC yang kala itu masih bagian dari TV One, mengundang Dede untuk berbicara dan memberi tanggapan soal peristiwa tersebut. Sebenarnya, Dede sudah diperingatkan oleh teman-temannya untuk menghindar jika diminta jadi pembicara ILC. Teman-teman Dede beranggapan, berbicara di program tersebut sia-sia dan buang-buang waktu semata.
“Kalau bisa menghindar saja, enggak ada gunanya, paling nanti di-bully, rugi nanti, nanti malah kita jadi negatif,” kata Dede menirukan ungkapan teman-temannya, ketika dihubungi Magdalene melalui telepon Whatsapp pada (26/6).
Namun, Dede memilih untuk tetap jadi pembicara. Menurutnya, kesempatan tampil dan membicarakan isu LGBT di televisi merupakan momen berharga untuk mengedukasi generasi muda.
“Saya melihatnya gini, sebagai aktivis ya, kapan lagi saya bisa ngomong sama anak muda Indonesia, jutaan. Karena kalau mereka nonton ILC kan enggak usah takut sama orang tuanya,” jelas Dede.
Baca juga: Siapa Yang Paling Berhak Bicara Tentang LGBT?
Dibicarakan, tapi Jarang Diajak Bicara
Nahasnya, kekhawatiran teman-teman Dede jadi kenyataan. Seusai tampil di ILC, Dede jadi bulan-bulanan di media sosial. Pernyataannya digoreng sedemikian rupa. Hinaan menyesaki kolom komentar akun media sosial pribadinya. Dede pun harus memblokir akun-akun yang merundungnya di kolom komentar. “Bully-bully-an di Instagram, di Facebook, itu saya blokir. Demi ketenangan saya,” tuturnya.
Nampaknya ada kelompok yang tak siap mendengar Dede membawa suara pemenuhan hak kawan-kawan LGBT ke layar televisi. Keluar dari kebiasaan media yang tidak menghadirkan narasumber dari kelompok marginal, dalam kesempatan ini, TV One memberikan ruang kawan-kawan LGBT untuk menjelaskan diri. Namun, berdasarkan dampak buruk yang diterimanya, Dede menilai kemarahan tersebut muncul karena melihat seseorang dari kawan-kawan LGBT menuntut haknya.
“Yang membuat marah itu adalah ketika kami-kami yang aktif di sini, bukannya tobat, malah kemudian nuntut kesetaraan dan hak asasi manusia (HAM),” jelas Dede.
“Di mata mereka, HAM itu cuma untuk mereka yang alim. Jadi manusia itu dibedakan dalam dua golongan, yang saya terima dan yang tidak, dan pola pikir itu kuat sekali di sini,” lanjutnya.
Selaras, jurnal berjudul “Wacana Pernikahan Sesama Jenis di TV One” karya Ardiansyah Megah Putra dan Siti Karlinah pada 2018, membahas representasi LGBT di program yang membahas kesetaraan pernikahan. Penelitian ini pun menemukan, sebagian besar masyarakat Indonesia belum bisa menerima wacana kesetaraan pernikahan.
Tak hanya masyarakat, media pun sebenarnya masih gagap untuk menyiarkan isu LGBT dengan adil. Putra dan Siti mengungkap, walaupun diundang sebagai narasumber, kawan-kawan LGBT belum tentu diberi keadilan dalam mengutarakan pendapat. Kebijakan redaksi yang kontra terhadap kesetaraan pernikahan misalnya, membuat isi acara bias dan tak seimbang.
“Redaksi telah menerapkan konsep ‘giving voice to the voiceless’, namun pada akhirnya tidak dibarengi dengan memberikan porsi berbicara yang seimbang antara kubu pro dengan kubu kontra saat tayangan berlangsung,” sebagaimana tertulis dalam kesimpulan penelitian.
Program Manager Media dan Keberagaman Remotivi Bhenageerushtia atau yang kerap dipanggil Bhena mengatakan ekosistem pers di Indonesia memang belum ramah untuk kawan-kawan LGBT. Media, kata Bhena, memiliki seperangkat nilai internal yang membatasi kawan-kawan LGBT.
“Media memang sudah punya seperangkat nilai yang tidak akan memberitakan kawan-kawan LGBT dengan perspektif LGBT itu sendiri,” tuturnya ketika ditemui di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Selasa (26/06/24).
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
Ancaman Baru Bernama RUU Penyiaran
Di tengah keadaan media yang tidak memiliki perspektif LGBT, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggulirkan masalah baru bernama Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran. Terdapat beberapa pasal dalam RUU Penyiaran yang secara spesifik melarang kawan-kawan LGBT untuk tampil di media, di antaranya Pasal 28A ayat 1 huruf d, Pasal 46A ayat 2 huruf h, dan Pasal 50B ayat 2 huruf g.
Bhena menilai RUU Penyiaran akan benar-benar menghilangkan kawan-kawan LGBT dari media, baik konvensional maupun digital. Walaupun masih rancu, potensi paling buruk yang akan terjadi jika RUU ini akhirnya sah adalah, tak akan lagi ada berita mengenai LGBT.
“Jangan-jangan sampai enggak ada sama sekali, baik pemberitaan soal kriminalisasi LGBT atau bahkan tentang ekspresi gender itu sendiri,” ucap Bhena.
Permasalahannya, jelas Bhena, RUU Penyiaran tak hanya ditujukan kepada pers, tetapi juga berlaku untuk ruang digital. Walaupun belum ada kejelasan soal ruang digital mana yang akan menjadi sasaran, Bhena mengatakan platform Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC) berpotensi untuk menjadi target RUU ini.
“Means, teman-teman LGBT tidak boleh mengekspresikan diri di platform-platform yang kami duga OTT dan UGC,” imbuhnya.
Artinya, jika keadaan tujuh tahun lalu kembali terjadi, yaitu terdapat pihak atau kelompok yang ingin membuat peraturan anti-LGBT, publik tak bisa lagi melihat orang seperti Dede Oetomo mengutarakan haknya di media. Lebih parah, kabar serupa juga tidak akan muncul di ruang digital, seperti media sosial.
“Mengandung berita soal LGBT artinya di-banned, dalam pers maupun di platform digital, sebagai konten siaran,” pungkas Bhena.
Baca juga: Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia
Di luar semua itu, terdapat kabar menggembirakan terkait RUU Penyiaran. Komisi I DPR RI sepakat untuk menunda pembahasan RUU ini. Namun di kesempatan lain, Anggota Komisi I DPR dari fraksi Golkar Dave Laksono mengungkap, pihaknya menargetkan mengesahkan RUU Penyiaran sebelum berakhirnya masa periode 2019-2024, yakni 30 September 2024.
Karena itu, Bhena mengajak publik untuk tidak lengah. Penolakan yang dilakukan beberapa waktu ke belakang memang sudah membuat pembahasan RUU Penyiaran di Badan Legislasi (Baleg) dibatalkan. Akan tetapi, memperluas penolakan terhadap RUU Penyiaran, lanjut Bhena, masih sangat krusial setidaknya hingga akhir September nanti.
“Harapannya sisa tiga bulan terakhir kita enggak bisa kendor menyuarakan isu penyiaran karena biasanya regulasi bisa lolos atau gol kalau publik lengah,” tutup Bhena.