Apa yang Sebenarnya Terjadi di 1965: 5 Buku Panduanmu
Apa yang ditulis buku-buku ini tentang tragedi 1965, kemungkinan tak diajarkan dalam literatur sekolah.
September adalah bulan peringatan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut momen ini sebagai September Hitam. Sejak 1 September lalu, peringatan itu sempat ramai disebarkan lewat stiker di Instagram dan dicuit di X.
“Sudah 1 September 2024! Saatnya kembali kita suarakan #SeptemberHitam #AdiliJokowi #NawaDosaJokowi,” tulis akun X @KontraS pada 1 September 2024.
Salah satu kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama September adalah Tragedi 65/G 30 S. Mengutip laman KontraS Sumut, G 30 S ditandai dengan kudeta besutan Mayor Jenderal Soeharto untuk menumpas partai politik berideologi komunis. Upaya ini berlumur darah karena memakan korban jutaan orang, catat Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 1965/1966).
Dengan arahan untuk menumpas tuntas partai berhaluan komunis, masyarakat sipil yang dituduh jadi anggota/ simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dikejar-kejar, diculik, disiksa, dilecehkan, dan dibunuh. Penumpasan PKI ini berdampak pada para mahasiswa yang dikirim Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu. Menyusul peristiwa 1965, sejumlah mahasiswa Indonesia tersebut terpaksa hidup luntang lantung berpuluh tahun tanpa kewarganegaraan di luar negeri karena paspor mereka dicabut.
Sayang sampai hari ini, buku-buku pelajaran sejarah yang digunakan di sekolah-sekolah, bahkan tidak menyebut terjadinya penculikan dan pembunuhan serta nasib para eksil. Dalam rangka merawat kembali ingatan kolektif terkait sejarah berdasar negeri ini, Magdalene merekomendasikan lima buku untukmu:
Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja
1. Tanah Air yg Hilang oleh Martin Aleida
Martin Aleida adalah sastrawan yang pernah jadi korban penangkapan besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang diduga berafiliasi dengan PKI. Ia sempat mendatangi para eksil yang dibuang oleh negara dan menulis cerita mereka.
Selama tiga bulan, ia pergi ke beberapa negara di Eropa, seperti Belanda, Prancis, Ceko, Jerman, dan sebagian kecil di Asia untuk bertatap muka dengan total 19 eksil. Cerita mereka kemudian ia jadikan buku berjudul Tanah Air Hilang.
Terdiri dari 18 sub judul, buku ini mampu mengajak pembaca mengenal lebih dalam cerita tentang jati diri dan pengalaman para eksil. Mulai dari siapa mereka dan keluarganya, bagaimana cara mereka menjalani kehidupan di negara orang, serta bagaimana cara orang-orang memandang mereka.
Pasca-peristiwa September 1965, para eksil yang diutus pemerintah era Sukarno untuk bersekolah ke berbagai negara di dunia, terjebak tak bisa pulang. Banyak dari mereka dicabut kewarganegaraannya. Di Eropa, orang-orang terpilih itu akhirnya memilih bersembunyi untuk menyelamatkan nyawa dan memulai hidup baru baik seorang diri atau bersama keluarga atau istri.
Walau kini hidup mereka cenderung nyaman, tidak sedikit para eksil terutama di Eropa itu ingin pulang. Mau bagaimana pun, Indonesia tetaplah tanah kelahiran mereka dan alasan utama mereka ada di negeri orang adalah untuk berkontribusi pada pembangunan tanah air mereka sendiri.
“Tujuan kami Indonesia, Bung! Bukan Belanda! Pulang untuk membangun Indonesia. Kami akhirnya tinggal di sini karena situasi yang tidak memungkinkan kami pulang pada waktu itu,” kata Chalik Hamid, penyair yang dikirim belajar ke Albania.
2. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 oleh Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri
Pada 17 Agustus 1950, sekelompok anak muda berkumpul di Jalan Wahidin 10 untuk sepakat mendirikan organisasi kebudayaan yang ikonik bernama Lembaga Kebudajaan Rakjat alias Lekra. Mengusung konsepsi “seni untuk rakyat”, Lekra memproklamasikan diri berpihak pada kaum tertindas. Mereka ingin mengembalikan kebudayaan kepada pencipta kebudayaan, yakni rakyat sendiri.
Tak cuma ingin menyingkirkan imperialisme dan kebudayaan feodal, mereka juga memberikan ruang bagi praktik-praktik kesenian yang lebih luas dan bersumber dari realitas rakyat. Dr. Sindhunata, budayawan dan penulis bilang, saat Lekra ada, budaya kerakyatan menemukan “masa keemasan”-nya. Nahas saat Orde Baru berkuasa, Lekra dibredel habis-habisan, dan karena terafiliasi oleh PKI, namanya dilabeli stigma.
Berusaha untuk membawa kembali “masa keemasaan” dalam memori kolektif bangsa Indonesia, Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri menerbitkan “buku putih” berisi riwayat Lekra dan pengaruhnya di ranah kebudayaan Indonesia era 1960-an. Dengan metode kliping, buku setebal 580 halaman itu terdiri dari hasil olah riset dan pembacaan intensif terhadap ratusan surat kabar di Indonesia yang terbit pada 1960-an.
Ia mencakup liputan menyeluruh yang diriset dari sekitar 15 ribu artikel yang terdiri dari berbagai jenis kebudayaan rakyat yang didorong Lekra seperti ketoprak, wayang, ludruk, reog, seni rupa, musik, film, sastra, buku, dan sikap-sikap kebudayaan umum lainnya.
Lebih dari itu, buku ini berusaha menunjukan bagaimana jalan kebudayaan rakyat Lekra dikelola secara saksama. Caranya dengan menampilkan kekayaan wacana, refleksi, perdebatan budaya, terlepas dari benar atau salahnya ideologi. Di dalam Lekra, banyak cendekiawan yang mampu memberi sumbangsih besar bagi kelanjutan kebudayaan Indonesia yang selama puluhan tahun direndam kekuasaan pasca-Sukarno.
Baca Juga: Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri
3. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia oleh Saskia E. Wieringa
Nama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) kini selalu diasosiasikan dengan perempuan-perempuan simpatisan PKI gila. Dalam Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, film propaganda pemerintah Orde Baru yang masih ditayangkan hingga kini, menampilkan mereka yang asyik menyilet alat kelamin para jenderal sambil berdansa. Gambaran ini begitu melekat padahal kenyataannya, mereka adalah perempuan-perempuan cerdas, paham persoalan perempuan akar rumput, dan dikader dengan baik.
Gerwani merupakan salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia pada 1965 dengan jumlah anggota mencapai 3 juta orang pada 1965. Sebagai gerakan, Gerwani bisa dibilang sangat progresif pada masanya.
Mereka memiliki tiga ideologi yakni nasionalisme, feminisme, dan sosialisme yang secara tegas menolak praktik poligami, memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan dan bekerja dengan para buruh perempuan agar mereka memiliki upah yang setara dengan laki-laki.
Namun di tengah geliat perjuangannya, nama Gerwani diseret sebagai salah satu aktor yang dianggap membunuh para jenderal pada peristiwa 30 September 1965. Dalam waktu singkat Gerwani dimatikan oleh Orde Baru. Dari organisasi yang sangat progresif menuntut hak-hak politik menjadi direpresentasikan sebagai perempuan binal dan perilaku seksual yang kejam.
Saskia Wieringa, direktur Pusat Informasi dan Arsip Internasional untuk Gerakan Perempuan di Amsterdam dan peneliti senior Universitas Amsterdam lewat bukunya Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia berusaha menguak sisi gelap dan digelapkan atas peristiwa kudeta militer 1965 yang sukses mematikan Gerwani.
Saskia menelisik seluruh dokumen-dokumen sejarah 1965 yang berhubungan dengan Gerwani dari Universitas Leiden di Belanda hingga Cornell University di Amerika. Temuannya mengungkap, demonisasi atas Gerwani, adalah dasar bagi Orba untuk melakukan pembungkaman bahkan penghancuran gerakan perempuan Indonesia hingga masa-masa setelahnya.
Baca juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah
4. Kekerasan Budaya Pasca-1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-komunisme melalui Sastra dan Film oleh Wijaya Herlambang
Komunisme selalu dipandang sebagai ideologi iblis oleh masyarakat Indonesia. Ia anti demokrasi dan anti agama, sehingga perlu diberantas atas nama NKRI. Salah satu alasan penting kenapa demonisasi komunisme begitu terasa karena ideologi anti-komunisme dibentuk langsung oleh rezim Orba lewat kampanye kebudayaan.
Dalam bukunya, Wijaya Herlambang menyajikan analisi atas upaya pemerintah Orde Baru serta agen-agen kebudayaanya dalam memanfaatkan produk budaya sebagai bagian dari strategi untuk melegitimasi pembantaian 1965-1966. Dimulai dari analisis tentang bagaimana gagasan kebebasan intelektual (intellectual liberty) dan artistik (humanisme universal), Wijaya memperlihatkan bagaimana manipulasi oleh intelektual pro-barat dijadikan sebagai basis ideologi untuk menyingkirkan komunisme.
Dalam melegitimasi kekerasan cerita-cerita dalam majalah sastra Horison antara 1966-1970 diterbitkan. Kemudian dilanjutkan melalui narasi propaganda utama berwujud film yang digarap Arifin C. Noer dan Arswendo Atmowiloto berjudul Pengkhianatan G30S/PKI. Melalui kekerasan budaya, Orde Baru sukses meyakinkan publik bahwa membunuh para komunis dengan alasan membela, jadi tindakan yang dapat diterima.
Dengan bukti-bukti empiris ditunjukkan intervensi langsung Badan Intelijen Pusat AS (CIA) kepada para penulis dan budayawan liberal Indonesia. Tujuannya guna membentuk ideologi anti-komunisme. Namun tak melulu soal propaganda, buku ini juga mencantumkan perlawanan kelompok kebudayaan Indonesia kontemporer terhadap warisan kekerasan ini.
5. Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang oleh Vincent Bevins
Vincent Bevins adalah jurnalis dan penulis Amerika yang berusaha menguak keterlibatan Amerika dalam pembantaian 1965 di Indonesia. Memakai dokumen-dokumen resmi yang baru dideklasifikasi, ditambah dengan riset arsip dan wawancara bersama para penyintas dan saksi mata, Bevins menelusuri bagaimana pembantaian 1965 bisa terjadi berikut warisan besarnya pada konstelasi politik dan ekonomi global kita sekarang.
Selama masa Perang Dingin, negara-negara Dunia Ketiga sedang gencarnya membentuk jalur politik dan ekonomi yang independen setelah lepas dari penjajahan kolonial. Ingin mencegah negara-negara ini untuk beraliansi dengan Uni Soviet dan komunisme, Amerika yang kala itu muncul sebagai kekuatan kapitalis baru berusaha mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatan mereka.
Lewat CIA, Amerika melatih dan mendanai para jenderal dari negara-negara Dunia Ketiga untuk menggulingkan, memenjarakan, dan membunuh siapa pun yang menganjurkan reformasi ekonomi di negara mereka sendiri. Di Indonesia, CIA pun ikut bermain. Pada 1965, CIA membantu penumpasan anggota partai komunis maupun orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia dengan korban kurang lebih satu juta nyawa penduduk sipil tak bersenjata.
Intervensi rahasia CIA ini kata Benvis bisa dibilang sukses besar. Tidak hanya berhasil menghabisi partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok, intervensi ini juga jarang sekali diingat dan diketahui oleh masyarakat Barat. Metode brutal inilah yang dicontoh dan menginspirasi program-program serupa di negara lain: “Operação Jakarta” di Brasil atau “Plan Yakarta” di Cile.