‘Love in the Big City’: Cinta Platonik Antara Seorang Gadis dan Teman Gay-nya
Korea Selatan akhirnya serius membahas hidup seorang gay jadi minoritas dan didiskriminasi di negara sendiri.
Jae-hee (Kim Go-eun) adalah perempuan yang menurut banyak orang “cewek gampangan”. Reputasi buruk itu lebih terkenal daripada personaliti aslinya. Konon, Jae-hee mengambil jurusan Sastra Prancis karena dia punya affair dengan profesornya. Jae-hee tidak peduli kata orang. Fashion sense-nya serampangan. Ia merokok dengan gaya tidak peduli. Setiap malam ia mabuk. Cowok datang dan pergi dalam kehidupannya. Tapi apakah ia benar-benar jatuh cinta?
Heung-soo (Noh Sang-hyun) adalah lawan dari Jae-hee. Ia sengaja duduk di belakang untuk tidak menarik perhatian. Ia cerdas, tapi ia tidak mau menyombongkan diri. Berbeda dengan Jae-hee yang bisa bebas merdeka menjadi diri sendiri, Heung-soo menutup dirinya karena dia gay. Rahasia ini jangan sampai ketahuan siapa pun.
Ketika ia ciuman dengan seorang lelaki dan Jae-hee memergokinya, Heung-soo mengancam perempuan itu. Tapi ketika rahasianya hampir terbongkar, justru Jae-hee yang menyelamatkannya, Heung-soo melihat lapisan baru dari gadis urakan ini. Tak butuh lama bagi keduanya untuk menjadi sahabat.
Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah ‘Queer Gaze’
Film Persahabatan Terbaik dan Isu Korea yang Homofobik
Menonton Love in the Big City tanpa mencari-cari tau info tentangnya, bisa jadi cara terbaik untuk menikmati film ini. Namun, kalaupun kamu sudah membaca bukunya yang ditulis Sang Young Park, film ini tetap berhasil menawarkan kejutan yang akan membuatmu tersenyum senang. Bisa dibilang Love in the Big City adalah salah satu film persahabatan terbaik yang saya tonton.
Tentu saja kita tidak bisa mengindahkan fakta bahwa film ini menulis sejarah dalam sinema Korea. Love in the Big City mungkin adalah film komersial Korea pertama yang membahas tentang gay dengan gamblang. Topik ini bukan hanya sekadar tempelan seperti yang dilakukan oleh produk Disney. Dalam film ini semua hal yang dirasakan kebanyakan komunitas LGBTQ+ yang tinggal di negara sekolot Korea dibahas total. Dari insekuritas, bagaimana efeknya dengan norma sosial, apa dampaknya pada keluarga sampai hubungan romansa dikupas habis-habisan.
Disutradarai oleh Lee Eon-hee yang membuat The Accidental Detective 2 dan serial The Killer’s Shopping List, film ini lebih dari meyakinkan untuk membuat penonton percaya bahwa kedua karakter ini memang ditakdirkan untuk bersahabat. Tidak ada momen-momen luar biasa seperti kenalan dengan CEO terkenal atau karakter yang tiba-tiba sakit keras seperti drama Korea. Senjata utama film ini justru di adegan-adegan yang sangat relatable bagi penonton. Dari adegan mabuk-mabukan, hangover dan tetap memutuskan untuk minum soju, skincare bersama, belanja baju bersama sampai berantem kemudian balikan lagi; semua ditampilkan di film ini dengan begitu baik.
Baca juga: Hubungan Platonik: Dekat dengan Seseorang tapi Sebatas Teman
Sebagai sebuah drama, Love in the Big City tidak kekurangan bahan untuk membuat penonton peduli dengan nasib dua karakter utamanya. Semua orang pasti pernah merasakan bagaimana persepsi orang lain terhadap kita kadang menjadi masalah serius. Di film ini, kita akan melihat bagaimana cap “cewek gampangan” menjadi masalah serius bagi Jae-hee yang sebenarnya mendambakan cinta. Kedengarannya klise bahwa di tahun 2024 masih ada plot tentang cowok toxic yang memanfaatkan “cewek gampangan” untuk kepentingannya sendiri. Tapi, dalam Love in the Big City adegan tersebut diramu dengan cukup realis sehingga hasilnya efektif. Tidak ada satu pun momen bikin saya tidak peduli dengan percintaan Jae-hee.
Heung-soo memang memiliki drama yang berlebih karena konfliknya yang lebih serius. Selain urusan romansanya yang sukar untuk dieksekusi karena Heung-soo belum siap untuk coming out, ia juga harus berhadapan dengan ibunya yang konon berubah menjadi religius sejak mengetahui bahwa anaknya gay. Tapi bukan film Korea namanya kalau tidak berhasil membuat penonton terbawa dengan drama di dalamnya. Ada momen dramatis dalam film ini yang membuat momen coming out Heung-soo kepada publik dan terutama ibunya terasa sinematis.
Sebagai sebuah komedi, Love in the Big City adalah apa pun yang saya inginkan dalam sebuah film ringan persahabatan. Lee Eon-hee sangat pandai memainkan kamera dan editing sehingga adegan sesederhana belanja baju menjadi sumber komedi yang baik. Ia tahu bagaimana meramu momen sehingga semua kelucuan bisa tersampaikan dengan baik. Ada salah satu momen yang melibatkan Heung-soo dengan ibunya yang begitu jenius, siapapun yang menontonnya pasti akan tertawa terbahak-bahak.
Baca Juga: Daya Tarik ‘Boys Love’ yang Bikin Perempuan Terpikat
Akting Cemerlang
Sebagai sebuah film yang berpusar pada kedua karakter utamanya, Love in the Big City tentu saja bergantung pada permainan aktornya. Berhasil tidaknya film ini ada di tangan pemeran utamanya. Kalau mereka gagal membuat penonton percaya bahwa mereka sahabat, film ini akan kehilangan maknanya. Tapi hal itu tidak perlu saya khawatirkan karena dalam lima menit pertama, saya percaya bahwa Kim Go-eun dan Noh Sang-hyun mempunyai sejarah pertemanan yang kuat.
Kim Go-eun yang selalu tampil memikat dalam drama atau film yang ia mainkan (Little Women, Yumi’s Cells sampai film musikal Hero) lebih dari meyakinkan menjadi Jae-hee. Ia adalah salah satu aktor korea yang selalu bisa memberikan hal yang berbeda dalam peran-perannya. Kim Go-eun selalu terasa in the moment dan memiliki gestur yang realistis. Melihatnya merasakan berbagai emosi dalam Love in the Big City adalah highlight film ini.
Noh Sang-hyun mungkin tidak seterkenal Kim Go-eun tapi ia mengimbangi lawan mainnya dengan juara. Chemistry mereka begitu pekat; semua momen mereka terasa seperti rekaman dokumenter. Bahkan ia berhasil membuat saya percaya bahwa ia adalah cowok gay yang kekurangan cinta.
Dengan bentuk tubuh dan wajah rupawan, di atas kertas rasanya mustahil melihat cowok seperti Noh Sang-hyun kekurangan cinta. Tapi di film ini ia berhasil menerjemahkan semua rasa insekuritas yang dirasakan banyak komunitas LGBTQ+ sehingga semua itu tidak menjadi masalah.
Begitu film berakhir, semua penonton bertepuk tangan. Saya tidak bisa mengingkari kalau saya agak sedikit sedih menyaksikan film ini berakhir. Persahabatan antara Jae-hee dan Heung-soo mungkin bukan sesuatu yang baru di lanskap sinema yang lebar ini. Tapi hubungan mereka yang sangat hangat membuat saya ingin melihat mereka lebih lama lagi. Love in the Big City berhasil tidak hanya untuk menyampaikan tugas besarnya untuk memperlihatkan pentingnya untuk tidak melihat orang dari satu point of view saja. Ia berhasil menjadi salah satu tontonan paling memuaskan yang akan mengundang banyak penontonnya untuk menyaksikannya lagi dan lagi.