December 6, 2025
Environment Issues Opini

Jendela di Kos Jakarta: Udara Segar dan Matahari jadi Barang Mewah 

Cuma di Jakarta, warganya harus repot membayar mahal untuk udara segar dan sinar matahari. Enggak heran jika jendela bukan cuma bagian rumah, tapi komoditas seperti AC atau air panas.

  • September 24, 2025
  • 6 min read
  • 1846 Views
Jendela di Kos Jakarta: Udara Segar dan Matahari jadi Barang Mewah 

Di Eropa ada anekdot yang sering kudengar. Katanya, untuk menilai status sosial keluarga, cukup lihat berapa banyak jendela di rumahnya. Kedengarannya konyol, tapi masuk akal. Pada abad ke-17, diberlakukan pajak jendela atau window tax. Semakin banyak jendela, semakin tinggi pula pajaknya. Ini berarti pemilik rumah berjendela banyak, biasanya memang otomatis dikenal lebih kaya. 

Aku sudah mendengar cerita ini berkali-kali, tapi enggak pernah menyangka akan mengalami hal serupa sendiri. Bukan di Eropa atau di abad ke-17, tapi di Jakarta, abad ke-21. 

Beberapa waktu lalu aku mencari kos di Jakarta. Sebagai mahasiswa perantau dari Bogor dengan riwayat penyakit pernapasan akut, satu hal yang jadi prioritasku adalah ventilasi. Lewat ventilasi, udara segar dan sinar matahari bisa bikin aku jadi enggak gampang sakit. 

Baca juga: Ongkos Mahal Kesehatan Mental di Negeri Konoha 

Dari puluhan pilihan, satu pola jelas terlihat. Kos dengan jendela selalu lebih mahal dibanding kos tanpa jendela. Enggak main-main, harganya bisa dua kali lipat. Catatanku, kos tanpa jendela rata-rata Rp750 ribu–Rp1,2 juta per bulan. Kos dengan jendela? Bisa mencapai Rp1,5–Rp2,5 juta per bulan. 

Karena keterbatasan biaya, setahun lalu aku akhirnya tinggal di kamar tanpa jendela. Ukurannya sempit, hanya 3 x 2,5 meter, dengan harga sewa Rp850 ribu per bulan. Agar tidak terlalu panas dan pengap, kipas angin harus selalu menyala. Meski begitu, kelembaban ruangan sering memicu kambuhnya gangguan pernapasanku. Minimnya cahaya matahari membuat kamar terasa suram, menekan, dan sering menyeretku pada perasaan depresi. 

Aku terkejut menyadari hal sederhana seperti udara segar dan sinar matahari yang biasanya gratis di Bogor, harus ditebus mahal di Jakarta. Jendela bukan lagi sekadar bagian rumah. Ia menjadi komoditas, fasilitas tambahan yang harus dibayar, seperti AC atau air panas. 

Pengalamanku ternyata bukan kebetulan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya 39,03 persen rumah tangga di DKI Jakarta yang memiliki akses terhadap hunian layak dan terjangkau. 

Indikator “layak huni” mencakup aspek kualitas bangunan, luas lantai, akses sanitasi, air minum layak, pencahayaan, hingga ventilasi. Singkatnya, udara segar dan cahaya matahari, yang seharusnya jadi kebutuhan dasar, menjelma barang mewah yang enggak bisa diakses semua orang. 

Padahal, ventilasi udara dan akses cahaya alami berhubungan dengan kesehatan fisik dan mental manusia. Studi yang dipublikasikan di PubMed Central menyoroti dampak ventilasi buruk terhadap kesehatan pernapasan. Penelitian ini mencatat, ventilasi yang tidak memadai dapat meningkatkan risiko gangguan pernapasan, termasuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).  

Sementara itu, penelitian dari School of Public Health (2017) menunjukkan ruang dengan ventilasi buruk menurunkan fungsi kognitif seseorang hingga 61 persen. Artinya, tinggal di kamar tanpa jendela bukan hanya memperburuk kondisi fisik, tetapi juga menggerogoti kemampuan berpikir jernih dan produktivitas. 

Lebih ngeri-ngeri sedap, studi yang dipublikasikan di ScienceDirect (2024) mengungkapkan, orang yang terpapar cahaya matahari lebih banyak memiliki risiko depresi lebih rendah, dibandingkan mereka yang tidak terpapar cahaya matahari. Hal ini memperkuat bahwa ventilasi hunian berhubungan erat dengan kesehatan fisik dan mental penghuninya.

Padahal, data BPS (2023) menginventarisasi 54,3 persen penduduk Jakarta tinggal di hunian sewa. Angka ini memperlihatkan betapa besar ketergantungan terhadap kos-kos. Namun, ketiadaan regulasi yang tegas membuat banyak pemilik kos membangun kamar sempit tanpa ventilasi, hanya berorientasi pada keuntungan, tanpa mempertimbangkan kesehatan penghuni.

Baca Juga: Nasib Pekerja Komuter: Gaji Tipis, Biaya Transpor Bikin Tiris 

Minim Regulasi Kelayakan, Penyewa Kos Rentan jadi Korban 

Indonesia sebenarnya memiliki regulasi soal hunian, misalnya dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Keduanya menekankan pentingnya standar hunian layak, termasuk aspek kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan. Namun, regulasi tersebut lebih banyak diarahkan pada rumah tapak dan rumah susun, bukan hunian sewa kecil seperti kos-kos. 

Aturan teknis rumah kos masih bergantung pada kebijakan daerah masing-masing. Di Kota Pekalongan, Perda Nomor 15 Tahun 2015 mengatur perizinan, kewajiban, dan sanksi bagi pemilik, namun hanya menyoroti aspek administratif tanpa standar teknis seperti ventilasi, pencahayaan, atau luas kamar. Sementara itu, Jakarta belum memiliki aturan khusus tentang rumah kos; satu-satunya regulasi terkait hunian sewa adalah Pergub Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Rusunawa, yang fokus pada hunian milik pemerintah.  

Padahal, data BPS (2023) menginventarisasi 54,3 persen penduduk Jakarta tinggal di hunian sewa. Angka ini memperlihatkan betapa besar ketergantungan terhadap kos-kos. Namun, ketiadaan regulasi yang tegas membuat banyak pemilik kos membangun kamar sempit tanpa ventilasi, hanya berorientasi pada keuntungan, tanpa mempertimbangkan kesehatan penghuni. 

Ketiadaan regulasi dan pengawasan yang ketat dari pemerintah Indonesia, menempatkan penyewa kos menjadi kelompok rentan gangguan penyakit. Mereka dibayangi gangguan pernapasan dan kecenderungan depresi lebih tinggi imbas tidak layaknya hunian. 

Kelompok rentan ini lantas terjebak dalam dilema. Mau memilih kos murah tapi berisiko bagi kesehatan, atau membayar mahal untuk akses terhadap jendela dan cahaya matahari.  

Apalagi mengingat catatan Kementerian Kesehatan (2022) menemukan Jakarta masih memiliki prevalensi tuberkulosis aktif sebesar 0,6 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Lingkungan hunian padat tanpa ventilasi menjadi salah satu faktor risiko utama penyebaran penyakit ini.  

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, sepertinya pemerintah Indonesia bisa mencontoh Jepang. Sebab, Jepang memiliki aturan dan pengawasan yang ketat terhadap hunian sewa. Tempat tinggal seperti rumah, termasuk kos atau share house, diatur oleh Building Standards Act. 

Misal, setiap kamar wajib memiliki ventilasi alami melalui jendela atau sistem ventilasi mekanis yang memenuhi standar. Selain itu, ukuran kamar tunggal minimal 6 m², dan rasio luas jendela terhadap lantai harus cukup agar cahaya alami masuk secara memadai.  

Jepang juga mengatur ventilasi silang agar udara bergerak lancar dan kelembaban tidak menumpuk, mencegah pertumbuhan jamur dan risiko gangguan pernapasan. Pemilik hunian yang melanggar standar ini bisa dikenai sanksi administratif, termasuk denda atau pembatasan izin operasional.  

Dengan kata lain, ventilasi dan pencahayaan bukan lagi fasilitas tambahan yang bisa diperdagangkan, melainkan hak dasar penghuni yang dijamin oleh regulasi. 

Baca juga: Rumah untuk Milenial: Bahkan Kerja Selamanya pun Masih Tak Terbeli (Bagian 2)

Jika dibandingkan dengan Jakarta, perbedaan ini terasa signifikan. Di Jakarta, kamar kos yang sempit dan tanpa jendela tetap legal, dan banyak pemilik hanya fokus pada kapasitas serta keuntungan finansial. Standar kesehatan ruang hampir tidak diindahkan sebab regulasi dan pengawasan pemerintah lemah.  

Akibatnya, penyewa kos terpaksa membayar mahal untuk akses terhadap udara segar dan cahaya matahari, atau menghadapi risiko kesehatan yang serius jika memilih kos murah tanpa ventilasi. 

Belajar dari Jepang, regulasi yang jelas dan tegas bisa memastikan keadilan ruang, sehingga setiap penghuni memiliki akses terhadap kebutuhan dasar: udara bersih, cahaya alami, dan ruang yang layak.  

Jakarta bisa mengambil pelajaran dari model ini, misalnya dengan menetapkan standar minimum ventilasi dan luas kamar kos, serta pengawasan rutin oleh dinas terkait. Dengan begitu, jendela tidak lagi menjadi kemewahan, tetapi hak yang dijamin bagi setiap penyewa kos. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.