Makan Bergizi Gratis, Janji Manis Realitas Amis
Makan Bergizi Gratis (MBG) terdengar menggiurkan. Kami membayangkan lauk hangat, nasi pulen, sayur dan buah segar, yang Simsalabim, konon bisa menyelesaikan semua masalah pendidikan. Siapa, sih yang bisa menolaknya? Program ini sepintas tampak sempurna dengan klaim gizi dan janji generasi emas.
Di sekolah saya, program ini memang sudah lama dinanti. Namun bagi saya, MBG tidak benar-benar menarik. Menghabiskan 1,2 triliun per hari, menurut catatan Badan Gizi Nasional (2025) hanya demi kenyang sesaat, terasa seperti pemborosan. Dengan dana sebesar itu dan luasnya rantai distribusi yang tak dibarengi kebijakan jelas, transparansi, serta riset lapangan, program MBG jadi rawan diselewengkan.
Kenyataannya, banyak pelajar justru menjadi korban dari kualitas makanan yang tidak terjaga. Klaim bergizi di sisi lain terdengar muluk-muluk, sementara menu yang disajikan jauh dari standar sehat.
Menurut sains, kebutuhan gizi setiap anak berbeda. Namun program ini memukul rata seakan tubuh semua pelajar bisa dipenuhi formula serupa. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem di banyak sekolah, keracunan berulang menjadi kenyataan pahit bagi kawan-kawan siswa.
Data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dilansir dari Tempo mencatat sebanyak 4.000 siswa menjadi korban keracunan setelah menyantap sajian MBG dalam delapan bulan terakhir. Tempo juga menghitung sejak (12/8) hingga (18/9), kasus keracunan di berbagai sekolah sedikitnya menyebabkan 978 siswa harus dirawat di rumah sakit dengan gejala diare, gatal-gatal di seluruh badan, mual muntah, bengkak wajah, gatal tenggorokan, sesak napas, pusing, dan sakit kepala.
Distribusi program juga kacau balau bak benang kusut. Di Jawa saja membutuhkan waktu lama apalagi di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) yang infrastrukturnya masih jauh dari memadai. Sejumlah sekolah melaporkan keterlambatan pengiriman dan menu yang tiba dalam kondisi kurang segar. Bayangkan dampaknya bagi anak-anak yang mengandalkan makanan ini sebagai asupan utama di sekolah.
Baca juga: Nyawa Anak Kami Tak Semurah Janji Program MBG
Anda Jual, Kami Tak Mau Beli
Saya tidak menolak makanan gratis. Jika digarap dengan sepenuh hati, siapa saja pasti senang mendapatkannya. Namun saya juga tidak ingin uang negara habis hanya demi rasa kenyang yang cepat hilang. Generasi tidak bisa dibangun dari seporsi makanan yang esok hari kembali habis. Bagaimana bisa pemerintah bicara fondasi masa depan, sementara di rumah banyak anak masih kelaparan.
Maksud saya, jika punya pilihan, rasanya banyak dari kami yang mau teriak tidak butuh makan gratis. Apalagi bagi anak-anak yang orang tuanya masih mampu menyediakan makanan cukup dan benar-benar bergizi. Di luar sana, ada anak-anak yang jauh lebih membutuhkan bantuan. Mereka seharusnya menjadi fokus utama pemerintah, bukan siswa-siswa yang sudah tercukupi.
Sayangnya, dampak program MBG tidak berhenti pada distribusi salah sasaran. Program ini juga menekan ekosistem kecil di sekitar sekolah. Kantin yang dulu ramai kini sepi, penghasilan pedagang menurun drastis. Banyak keluarga yang menggantungkan hidup pada kantin terpaksa menanggung kerugian demi memenuhi target distribusi.
Ironisnya, pemerintah mengeklaim program ini membuka lapangan kerja baru. Faktanya banyak masyarakat kehilangan mata pencaharian. Lalu lapangan pekerjaan apa yang Anda maksudkan, Pak Prabowo?
Padahal kalau pemerintah tak sibuk membagi-bagikan (kue) program MBG ke kroni-kroninya, pemberdayaan kantin sebagai penyedia menu justru jauh lebih baik. Mereka bisa melayani porsi besar tanpa mengurangi kualitas atau keamanan makanan. Hal ini juga mendorong transparansi, karena pedagang lokal lebih mudah diawasi secara langsung oleh pihak sekolah dan komunitas sekitar.
Baca juga: Sadarkah Kita, MBG adalah Alat Kontrol Negara pada Rakyat?
Ini Suara Hati Kami, Mohon Didengar
Lebih jauh, anggaran besar yang digenjot untuk program ini seharusnya bisa dialokasikan lebih efisien untuk memperkuat sistem pendidikan. Dari gizi hingga pendidikan karakter, kesehatan mental, hingga pengembangan fasilitas sekolah, setiap rupiah bisa memberi dampak jangka panjang jika direncanakan secara strategis. Alih-alih fokus pada kenyang sesaat, negara seharusnya membangun fondasi kokoh bagi generasi masa depan.
Namun jika kukuh mau melanjutkan, pesan kami, pengawasan dan kontrol kualitas makanan sangat penting. Setiap tahapan produksi mulai dari pemilihan bahan baku pengolahan hingga distribusi harus memenuhi standar gizi dan keamanan pangan yang ketat. Pemerintah bisa membentuk tim inspeksi independen di setiap provinsi yang bertugas melakukan audit rutin dan mengambil sampel acak menu MBG untuk diuji laboratorium. Hal ini tidak hanya menjaga kualitas tapi juga memberi rasa aman bagi anak-anak dan orang tua mereka.
Selain itu mekanisme distribusi harus diatur agar daerah 3T mendapatkan prioritas dan keterlambatan pengiriman diminimalkan. Mengintegrasikan teknologi logistik memanfaatkan gudang regional dan memastikan transportasi memadai bisa mencegah makanan basi sampai ke tangan pelajar. Anggaran yang ada juga harus diarahkan ke program pelatihan bagi petugas kantin dan pengelola dapur sekolah bukan hanya untuk membeli bahan.
Baca juga: Makan Bergizi Gratis: Antara Janji Surga dan Ancaman Nyata
Sistem evaluasi jangka panjang juga penting. Setiap sekolah dapat mencatat feedback siswa guru dan orang tua terkait kualitas makanan. Data ini harus menjadi dasar untuk perbaikan berkelanjutan dan penyesuaian menu sesuai kebutuhan gizi setiap anak. Dengan pendekatan ini MBG tidak hanya menjadi janji kosong tapi bagian dari strategi pendidikan yang terukur dan inklusif.
Bukan berarti makan bergizi gratis sepenuhnya buruk. Namun di mata saya, ia tak lebih sebagai kebijakan populis yang dibuat pemimpin FOMO, ketimbang program visioner, saran saya, lebih baik negara memberi makanan berkualitas tinggi untuk mereka yang benar-benar membutuhkan daripada membagi seadanya untuk semua orang. Atau jika mau lebih revolusioner lagi, sebaiknya fokus saja membangun infrastruktur pendidikan dan ekonomi sebagai landasan generasi emas.
















