Bukan Pujian Tapi Perangkap: Saat Perempuan Dipuji untuk Tetap di Dapur
Kita sering mendengar frasa seperti “perempuan adalah garda terdepan mendidik anak”, atau “madrasah pertama bagi keluarga.” Di permukaan, kalimat-kalimat ini terdengar manis dan penuh penghormatan kepada Perempuan. Tapi jika dilihat lebih dalam, benarkah itu pujian? Atau justru jebakan yang mengunci perempuan dalam peran domestik tanpa pilihan?
Frasa-frasa ini bukan pujian tulus, melainkan bentuk manipulasi bahasa yang menyamarkan beban menjadi kehormatan. Sementara laki-laki bebas menjalani perannya di ranah publik tanpa embel-embel “ayah tangguh” atau “pahlawan rumah tangga”, perempuan—seberhasil apa pun kariernya—akan terus dinilai dari kemampuan mengurus rumah dan anak.
Manipulasi ini tidak hanya hadir dalam ujaran sehari-hari, tapi juga di banyak program formal, bahkan yang katanya pro-perempuan. Contohnya, isu seringkali dilabeli sebagai “masalah ibu”, padahal itu soal sistem pendukung keluarga secara keseluruhan. Dalam kampanye literasi digital, ibu juga yang dipersalahkan kalau anak kecanduan gawai. Ironisnya, bahkan saat Hari Perempuan Internasional, narasi yang diangkat bukan perjuangan kolektif melawan ketidakadilan, tapi “perempuan tangguh” yang bisa bekerja sekaligus jadi ibu rumah tangga teladan. Bahasa yang katanya memuliakan perempuan justru menormalisasi beban ganda.
Baca juga: 9 Kata untuk Perempuan, 1 Kata untuk Laki-Laki
Di balik pujian ada beban berlapis
Menurut Robin Lakoff, linguis feminis, bahasa bukan sekadar alat komunikasi dan tidak netral, tapi cermin (dan penguat) ketimpangan sosial. Ketika perempuan disebut “tiang penyangga keluarga dan negara,” terdengar agung memang. Tapi siapa yang menanggung beban penyangga itu? Dan mengapa hanya perempuan yang disebut-sebut?
Analisis wacana kritis ala Sara Mills membantu kita mengurai jebakan ini. Frasa seperti “garda terdepan” tak hanya melanggengkan peran gender tradisional, tapi juga membenarkan minimnya dukungan struktural. Dengan narasi heroik, perempuan didorong merasa bangga mengorbankan karier, waktu istirahat, dan bahkan kesehatan mentalnya demi “tugas mulia” di rumah. Ini bukan soal pujian, ini strategi halus mempertahankan status quo.
Mills menunjukkan bahwa kekuasaan bekerja bukan hanya melalui penindasan langsung, tetapi juga melalui wacana yang mengaburkan ketidakadilan, sehingga membatasi perempuan atas dasar pertimbangan jenis kelamin, bukan potensi atau kemampuan mereka untuk meraih kesejahteraan keluarga.
Baca juga: Alasan Ramai-ramai Tolak Istilah Pelakor Masuk ke KBBI
Penerapan manipulasi linguistik ini efeknya nyata. Banyak perempuan bekerja karena kebutuhan ekonomi, tapi urusan rumah tetap di pundaknya. Kalau ada bantuan dari pasangan, itu dianggap “bantuan”, bukan tanggung jawab bersama. Kontribusi finansial pun sering tak diakui setara. Ujung-ujungnya, perempuan terus dibayangi rasa bersalah: “Anakku kurang perhatian,” “Aku bukan ibu yang cukup baik,” “Aku egois karena memilih mengejar karier.” Padahal yang salah bukan dia, tapi sistem yang membuatnya merasa begitu.
Sayangnya, pola ini juga terlihat di institusi yang seharusnya mendukung kesetaraan. Masih banyak lembaga pemerintah maupun swasta yang menggunakan narasi manipulatif ini secara sadar atau tidak. Mulai dari poster posyandu, iklan layanan masyarakat, hingga seminar parenting. Bahkan lembaga yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan sekalipun tak kebal dari jebakan ini.
Narasi semu seperti “perempuan berdaya adalah yang bisa mengurus semuanya” perlu dikritisi. Berdaya bukan berarti bisa melakukan semua hal sendirian, tapi punya pilihan, dukungan, dan ruang yang adil untuk berkembang. Tanpa itu, narasi berdaya hanya jadi label lain untuk multitasking yang melelahkan.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Pertama, kita perlu jeli mengenali pola-pola manipulatif ini dalam bahasa sehari-hari. Mulai dari iklan susu formula, caption Hari Ibu, sampai pernyataan pejabat publik. Kedua, penting untuk menciptakan narasi tandingan yang menekankan kolaborasi, bukan pengorbanan sepihak. Misalnya, alih-alih mengatakan “ibu adalah sekolah pertama anak,” lebih adil jika dikatakan “orang tua adalah ruang tumbuh pertama bagi anak.”
Narasi yang setara perlu disampaikan dengan bahasa yang mudah diakses, tanpa kehilangan maknanya. Bahasa bukan milik akademisi atau aktivis saja, melainkan alat kita bersama untuk menata ulang cara pandang yang lebih adil. Maka, penting bagi media, lembaga pendidikan, komunitas, dan siapa pun yang punya ruang bicara untuk berhati-hati memilih kata.
Baca juga: Antara Wanita dan Perempuan, Apa Bedanya?
Lebih jauh lagi, perubahan juga harus menyasar institusi dan kebijakan. Pendidikan gender dan literasi kritis terhadap bahasa perlu masuk dalam kurikulum, pelatihan aparatur negara, bahkan SOP pembuatan program dan kampanye publik. Kalau negara ingin mendorong kesetaraan, jangan lagi menyebarkan pesan-pesan yang justru memperkuat patriarki dalam bungkus pujian.
Karena pada akhirnya, pujian yang membebani bukanlah bentuk penghormatan. Ia adalah bentuk penjinakan yang halus. Dan satu-satunya cara untuk keluar dari jebakan itu adalah dengan menyadari bahwa kita berhak menolak diksi-diksi yang meromantisasi ketidakadilan, dan memilih bahasa yang membebaskan.
Mia Olivia adalah Program and Community Development Specialist, konselor, dan penikmat nasi goreng pedas. Ia adalah seorang non-binary.
















