December 5, 2025
Health Issues Lifestyle

Jangan Jadi ‘New Normal’, Vape dalam Ruangan juga Bahaya 

Penggunaan rokok elektrik semakin marak di ruang tertutup, seperti kafe dan mal. Perempuan paling rentan terpapar asap dan mengalami gangguan pernapasan.

  • June 13, 2025
  • 6 min read
  • 1271 Views
Jangan Jadi ‘New Normal’, Vape dalam Ruangan juga Bahaya 

“Kalau ditegur malah mengelak, bilang ini bukan rokok tapi vape,” ungkap Anna Abelina, 21, barista kafe bilangan Jakarta Timur. 

Anna belum lama ini memutuskan untuk bekerja paruh waktu di sela-sela aktivitas kuliahnya. Selama menjadi barista, ia mengalami kejadian tidak menyenangkan dengan pelanggan yang tetap menggunakan rokok elektrik atau vape di dalam ruangan, meski sudah diingatkan. 

Padahal, kafe tempat Anna bekerja memiliki dua area: Bagian dalam ber-AC yang bebas rokok, dan bagian luar yang diperbolehkan untuk merokok. Namun, banyak pengguna vape bersikeras alat yang mereka gunakan tidak mengganggu, dengan alasan tidak mengeluarkan abu dan memiliki aroma yang “wangi”. 

“Pengguna vape sering beralasan, asap yang mereka hasilkan tidak menyengat dan tidak mengganggu pengunjung lain seperti rokok biasa,” ujar Anna ketika diwawancarai Magdalene (10/6). 

Baca juga: Rokok Tembakau dan Elektrik Sama-sama Bahaya, Jokowi Didesak Sahkan RPP Kesehatan 

Anna mengaku sering menerima keluhan dari pengunjung yang merasa tidak nyaman terhadap asap vape di dalam ruangan. Beberapa bahkan sampai terbatuk-batuk karena menghirupnya. 

Ia sudah menyampaikan keluhan tersebut kepada pemilik kafe, tetapi hanya diarahkan untuk memberikan teguran. Anna tidak diperkenankan mengusir pengguna vape karena jumlah pelanggan yang menggunakan vape cukup banyak, dan hal itu dianggap dapat merugikan penjualan. 

“Selain karena jumlahnya yang banyak, vape juga dianggap tidak merusak AC seperti rokok tembakau. Jadi, pemilik kafe memilih membiarkan. Tapi tetap saja, saya dan pengunjung lain merasa terganggu,” tambahnya. 

Anna juga menyoroti lemahnya regulasi penggunaan rokok elektrik di ruang publik. Ia menyayangkan belum ada aturan tegas yang membatasi penggunaan vape di tempat umum, tidak seperti rokok tembakau. 

“Kalau rokok tembakau kan sudah jelas dilarang di ruang tertutup. Namun vape belum ada aturan yang tegas, jadi orang merasa bebas menggunakannya di mana saja, termasuk di dalam ruangan,” keluhnya. 

Senada dengan Anna, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Khalda Syifa, 19, juga mengeluhkan masifnya penggunaan rokok elektrik, terutama di ruang tertutup. 

“Waktu SMA, bahkan ada yang menggunakannya di dalam kelas karena vape lebih mudah disembunyikan,” ujarnya, Rabu (11/6). 

Menurut Khalda, jejak pemakaian vape sulit dideteksi karena asap dan aromanya tidak menyengat. Hal ini membuat guru sulit mengetahui jika ada siswa yang diam-diam menggunakannya. 

Khalda juga merasa terganggu dengan penggunaan vape di pusat perbelanjaan. Sebab, ia memiliki sistem pernapasan yang sensitif terhadap asap. 

“Kalau terlalu sering terpapar asap, bisa sesak napas. Padahal saya memilih berada di ruangan tertutup supaya terhindar dari asap rokok, tapi justru vape sekarang marak digunakan di situ,” tambahnya. 

Berbeda dengan Anna yang masih berani menegur, Khalda memilih diam. Sepengalamannya, pengguna vape cenderung keras kepala dan tidak peduli pada teguran. 

“Sering kali ditegur pun tetap dilanjut. Banyak ngeles-nya,” ucapnya. 

Ia berharap ada lebih banyak tempat umum yang tegas menolak penggunaan vape di ruangan tertutup. Baginya, asap rokok elektrik berbahaya bukan hanya bagi pengguna namun juga bagi orang di sekitarnya. 

Baca juga: Jerat Rokok Elektrik untuk Perempuan: Kisah ‘Vaping’ dari Aceh

Penggunaan Vape Meluas, Risiko Kesehatan Meningkat 

Penggunaan rokok elektrik seperti vape memang tengah menjamur di Indonesia, khususnya di kalangan anak muda. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang diterbitkan Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan mencatat, penggunaan rokok elektrik meningkat sepuluh kali lipat dalam satu dekade terakhir. Angka pengguna vape di kelompok usia 10–18 tahun naik dari 0,06 persen menjadi 0,13 persen dalam lima tahun terakhir. Pada kelompok usia dewasa, mayoritas pengguna berada di kalangan mahasiswa berusia rata-rata 20 tahun. 

Lebih lanjut, menurut catatan Statista Consumer Insights 2023, 25 persen masyarakat Indonesia pernah mencoba rokok elektrik. Angka ini lebih tinggi dibandingkan Swiss (16 persen) dan Amerika Serikat (15 persen). 

Dokter Spesialis Penyakit Dalam Aru Ariadno menjelaskan, rokok elektrik dapat menimbulkan risiko kesehatan yang signifikan, terutama jika digunakan dalam jangka panjang. 

“Meski belum ada penelitian berskala besar, sejumlah riset menunjukkan bahwa vape dapat merusak paru-paru dan bagian tubuh lain. Vape dan rokok tembakau sama-sama menyebabkan kecanduan, dan keduanya sama-sama berbahaya,” jelas Aru. 

Menurutnya, meskipun aroma uap vape tidak menyengat, kandungan kimia pelarut seperti propilen glikol dan gliserin tetap berpotensi merusak jaringan paru. Ia menyebut, dalam praktiknya, terdapat peningkatan pasien dengan gangguan seperti kanker paru, gangguan saluran pernapasan, serta peningkatan kasus GERD (Gastroesophageal Reflux Disease) yang dapat diperburuk oleh kandungan zat dalam rokok elektrik. 

Paparan asap vape juga lebih rentan menyasar perempuan, terutama mereka yang bekerja di sektor jasa atau pelayanan seperti kafe, restoran, dan pusat perbelanjaan. Sebuah laporan dari Global Center for Good Governance in Tobacco Control (GGTC, 2022) mencatat, perempuan memiliki risiko paparan pasif yang lebih tinggi karena peran mereka di ruang-ruang kerja tertutup yang belum dilindungi kebijakan pengendalian vape. 

Selain itu, uap vape yang mengandung partikel halus dan senyawa kimia tertentu, juga berdampak lebih besar pada sistem hormonal perempuan. Khususnya jika perempuan terpapar dalam jangka panjang atau selama kehamilan. 

Temuan ini selaras dengan laporan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tentang penyakit EVALI (E-cigarette or Vaping Product Use-Associated Lung Injury). Penyakit ini pertama kali diidentifikasi di AS pada 2019 dan dikaitkan dengan penggunaan cairan vape yang mengandung vitamin E asetat dan Tetrahidrokanabinol (THC). Gejala EVALI meliputi batuk, sesak napas, nyeri dada, mual, muntah, dan penurunan berat badan. 

Baca juga: Cari Jodoh Anti Asap: #BiroJodohNonPerokok dan Tren Asmara Digital

Agar Perokok Pasif Lebih Terlindungi 

Hingga saat ini, Indonesia memang belum memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur penggunaan rokok elektrik di ruang publik tertutup. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif dalam Produk Tembakau menyebutkan, ruang tertutup seharusnya bebas dari segala bentuk produk tembakau. 

Namun, belum ada pembaruan kebijakan yang mencakup produk tembakau alternatif seperti vape. Ketiadaan inilah yang membuka celah penggunaan di berbagai ruang publik, mulai dari pusat perbelanjaan, kafe, hingga transportasi umum. 

Ketiadaan regulasi juga berimplikasi pada minimnya perlindungan terhadap kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, dan orang dengan penyakit pernapasan. Riset dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA, 2022) merekomendasikan agar negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memperkuat regulasi untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya asap rokok elektrik, termasuk dengan pelabelan yang jelas dan larangan penggunaan di ruang tertutup. 

Sementara di Indonesia, kata Aru, naiknya angka penyakit akibat penggunaan rokok elektrik, seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mengeluarkann kebijakan mengenai rokok elektrik. Diketahui, sampai saat ini belum ada kebijakan khusus yang ketat dan diberlakukan secara menyeluruh mengenai pembatasan dan pemakaian rokok elektrik. 

Pengaturannya masih terbatas dan berbeda-beda di tiap daerah. Sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat mengenai batasan penggunaannya di ruang publik. Dalam hal ini, kebijakan nasional yang lebih komprehensif melalui Peraturan Pemerintah turunan dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 pun belum disahkan. Padahal, regulasi semacam ini penting untuk mengantisipasi dampak kesehatan dari rokok elektrik yang kian masif digunakan, terutama di kalangan anak muda. 

“Rokok elektrik merupakan kemajuan atau modernisasi. Seharusnya pemerintah sudah menyiapkan regulasi-regulasi untuk hal-hal seperti ini,” ujarnya. 

Penting juga mendorong pelibatan pelaku usaha, seperti pemilik kafe, restoran, mal, dan lainnya untuk membatasi penggunaan vape di ruang tertutup. Edukasi berbasis bukti serta pelabelan risiko di kemasan produk dinilai bisa menekan persepsi keliru bahwa vape lebih aman daripada rokok konvensional. 

Jika tidak segera diatur, kebiasaan penggunaan vape di ruang publik tertutup berpotensi menjadi norma sosial yang baru, yang justru melemahkan upaya pengendalian tembakau yang telah dibangun selama lebih dari dua dekade. 

About Author

Zahra Pramuningtyas

Ara adalah calon guru biologi yang milih jadi wartawan. Suka kucing, kulineran dan nonton anime. Cita-citanya masuk ke dunia isekai, jadi penyihir bahagia dengan outfit lucu tiap hari, sembari membuat ramuan untuk dijual ke warga desa.