June 21, 2025
Gender & Sexuality Issues

Cari Jodoh Anti Asap: #BiroJodohNonPerokok dan Tren Asmara Digital

Fenomena #GakNgerokokCuy bukan cuma soal selera, tapi juga kritik sosial soal kesehatan, ekonomi, dan relasi setara.

  • May 30, 2025
  • 5 min read
  • 1177 Views
Cari Jodoh Anti Asap: #BiroJodohNonPerokok dan Tren Asmara Digital

“Tapi dia gak suka cowok perokok.” Kalimat ini sekarang lebih bikin deg-degan daripada “Dia anak orang kaya”. Dan inilah yang membuat saya, yang mantan perokok aktif, tergerak berhenti. Bukan karena kampanye kesehatan atau foto paru-paru gosong, tapi karena algoritma X memperkenalkan saya pada gerakan cinta-cintaan sehat dengan tagar #GakNgerokokCuy dari akun @Intinyadeh.

Ternyata, mencari pasangan yang tidak merokok kini jadi kriteria penting bagi banyak perempuan. Gerakan ini berkembang menjadi semacam biro jodoh informal di X (dulu Twitter), dengan ribuan partisipan dan interaksi tiap kali muncul unggahan baru. Cinta boleh buta, tapi paru-paru dan dompet tetap perlu dijaga.

Per 26 Mei 2025, akun @intinyadeh tercatat sudah enam kali membuka sesi #GakNgerokokCuy, alias biro jodoh non-perokok. Sejak dimulai 2024, inisiatif ini telah mempertemukan sejumlah pasangan yang akhirnya benar-benar cocok. Di tengah populasi perokok aktif di Indonesia, gerakan ini jadi semacam oase. Menurut Global Action to End Smoking, ada 79,3 juta pengguna produk tembakau di Indonesia pada 2022 terdapat, dan 75,9 juta di antaranya laki-laki.

Tidak heran kalau para perempuan langsung memadati kolom komentar setiap kali sesi #GakNgerokokCuy dibuka. Dalam unggahan pada 24 Mei misalnya, ribuan tanggapan muncul, mayoritas dari perempuan yang secara eksplisit menyatakan ketidaksukaan mereka terhadap laki-laki perokok.

Mengapa fenomena ini bisa begitu digemari? Penelitian Delpi Oktarina Amelia, dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga Yogyakarta, menunjukkan bahwa pencarian jodoh via Twitter dianggap lebih aman dan transparan dibanding platform sejenis. Lewat #BiroJomblo, misalnya, pengguna bisa melihat latar belakang calon pasangan langsung dari cuitan mereka. Ruang publik digital menjadi ajang seleksi awal yang cukup efektif.

Baca Juga: Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2024: Ada 3 Juta Lebih Anak Indonesia Menjadi Perokok

Di platform lain seperti Quora, diskusi soal kenapa perempuan lebih memilih laki-laki yang tidak merokok jadi bahasan panjang. Dari 39 tanggapan, 20 perempuan menyebut tiga alasan utama: rumah tangga sehat, tidak tahan bau asap, dan efisiensi ekonomi.

Tangkapan layar X @Intinyadeh dengan peminat yang tinggi serta jangkauan juta postingan.
Tangkapan layar X komentar para peserta yang ikut biro jodoh @Intinyadeh

Baca Juga: Jerat Rokok Elektrik untuk Perempuan: Kisah ‘Vaping’ dari Aceh

Tertarik? Begini cara mainnya

Kalau kamu ingin coba peruntungan jodoh bebas asap, caranya cukup simpel. Seperti ditulis Delpi, ada tiga strategi umum yang digunakan pengguna. Pertama, unggah foto diri dan biodata. Lalu tulis komentar di unggahan orang yang dianggap menarik, atau ikut nimbrung di komentar orang lain yang kelihatan seru.

Di #GakNgerokokCuy, proses mencari pasangan berjalan cukup natural dan menyenangkan. Awalnya, seseorang akan mengunggah foto dan deskripsi singkat tentang dirinya di kolom komentar. Kalau ada yang tertarik, biasanya obrolan berlanjut ke DM untuk saling mengenal lebih jauh. Kalau komunikasi terasa nyambung dan nyaman, mereka akan sepakat untuk bertemu langsung dan membicarakan arah hubungan secara lebih serius. Jika semuanya klik, langkah berikutnya tinggal mengatur tanggal nikah. Jadi sesederhana (dan seserius) itu.

Ratih, 21, memiliki alasan kuat untuk menolak pasangan perokok. Dalam pengalaman masa lalunya, ia merasa pasangannya yang perokok abai terhadap kesehatan diri dan orang lain. Bahkan untuk sekadar mematikan rokok pun enggan. Trauma ini membuatnya lebih selektif dalam mencari pasangan.

“Kalau dia enggak ngerokok, biasanya gaya hidupnya juga sehat. Enak diajak aktivitas bareng tanpa perlu mikirin asap. Apalagi kalau nikah nanti, pengeluaran rumah tangga bisa lebih fokus ke kebutuhan penting. Enggak habis buat beli rokok,” ujarnya.

Ratih tidak berlebihan. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa dalam rumah tangga miskin, pengeluaran untuk rokok sering kali lebih besar daripada kebutuhan gizi anak. Cut Putri Arianie, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, pernah menyebut bahwa rokok menggeser prioritas belanja rumah tangga dari telur dan susu ke bungkus kretek.

“Ini memprihatinkan. Banyak rumah tangga termiskin lebih memilih beli rokok daripada makanan bergizi,” kata Cut, seperti dikutip laman resmi Kemenkes.

Ratih ogah berada dalam kondisi seperti itu. “Kalau sampai belanja dapur dikorbankan demi rokok, itu masalah. Prioritas harus tetap kebutuhan dasar keluarga. Anak-anak butuh makan sehat supaya tumbuh optimal.”

Pandangan Ratih divalidasi oleh organisasi oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam bukunya “Rumah Tangga Menderita, Negara Buntung.” Berdasarkan analisis data Survei Sosio-ekonomi Nasional (Susenas) 2017–2020 dari 908.103 rumah tangga, pengeluaran untuk tembakau terbukti mengurangi anggaran belanja pangan seperti beras, daging, susu, sayur, dan buah. Hal ini bahkan berdampak juga ke pos non-pangan seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Efek crowding out ini terasa di semua kelompok ekonomi, dari miskin sampai kaya.

Penelitian Teguh Dartanto dkk. dari Universitas Indonesia juga menyebut bahwa anak-anak dari orang tua perokok lebih rentan mengalami stunting, pertumbuhan rendah, dan kemampuan kognitif yang buruk.

Baca Juga: Ramai-ramai Mengebiri Hak Anak Lewat Rokok

Tetap waspada dalam mencari jodoh

Meski menyenangkan dan terasa organik, cari pasangan secara online tetap punya risiko. Di biro jodoh #GakNgerokokCuy, peserta diminta menyertakan foto diri, domisili, pekerjaan, umur, hingga deskripsi singkat soal kepribadian. Terbuka dan transparan, iya. Tapi aman?

Penelitian Regita Amelia dan Rizqa Febry Ayu (UIN Sunan Kalijaga) menyebutkan bahwa biro jodoh online memang bukan hal baru, tapi tetap rawan pelanggaran privasi dan kejahatan digital. Akses data pribadi bisa dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab.

Fakta dari Southeast Asia Freedom of Expression Net SAFEnet memperkuat kekhawatiran ini. Sepanjang 2024, tercatat 1.902 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dengan mayoritas korban adalah perempuan muda usia 18–25 tahun. Sebanyak 1.058 di antaranya dilaporkan langsung ke SAFEnet.

Jadi, meski cari pasangan bebas asap itu #relationshipgoals kamu, jangan sampai kamu justru terbakar karena lengah di dunia maya. Pastikan keamanan data pribadimu tetap nomor satu, karena cinta yang sehat bukan hanya soal bebas rokok, tapi juga bebas dari risiko digital.



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.