Issues Politics & Society

Kenapa Kita Masih Tak Percaya pada Politisi Perempuan?

Berbagai riset membuktikan kepemimpinan perempuan di bidang politik lebih efektif dan menguntungkan ketimbang lelaki. Lalu kenapa mereka masih diragukan?

Avatar
  • November 6, 2024
  • 10 min read
  • 1064 Views
Kenapa Kita Masih Tak Percaya pada Politisi Perempuan?

Beberapa waktu lalu, publik ramai-ramai dibikin berang oleh Dimyati Natakusumah, Calon Wakil Gubernur (Cawagub) Nomor Urut 2 dari Banten. Saat debat perdana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), (16/10), ia bilang, perempuan tak seharusnya dibebani tanggung jawab berat seperti menjadi gubernur. Sebagai konteks, kala itu Dimyati sedang ditanya soal strategi mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Banten. 

Namun alih-alih menjawab pertanyaan, ia cuma bilang, “Wanita itu lebih harus mendapatkan perhatian, karena memang wanita itu spesial, maka kita harus melindungi wanita, ya. Rasulullah juga mengatakan, bahwa yang memuliakan wanita itu akan mendapatkan kemuliaan. Oleh sebab itu wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur itu berat lho.” 

 

 

Pernyataan tersebut secara tidak langsung diarahkan pada Airin yang jadi kandidat cagub perempuan Banten satu-satunya. Dimyati sendiri panen kritik publik setelahnya. Salah satunya dilontarkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati. Dihubungi Magdalene pada (29/10), ia mengungkapkan, ucapan Dimyati jadi bukti bagaimana ruang politik di Indonesia masih belum ramah buat perempuan. Untuk bisa berkompetisi, perempuan secara struktural kerap hadapi hambatan. 

“Mulai dari marginalisasi, stereotip, beban ganda. Belum lagi jika konteksnya di Indonesia, tafsir keagamaan juga berperan kuat. Perempuan tidak layak menjadi pemimpin itu jadi anggapan umum masyarakat. Debat itu bisa jadi gambaran partai politik dan politisi laki-laki terhadap politisi perempuan,” kata Khoirunnisa. 

Ia menambahkan, dalam kampanye Pilkada, kandidat politik pasti akan melakukan segala cara untuk bisa menarik simpati publik. Dari kasus Dimyati kita belajar perempuan sering kali jadi target empuk kampanye negatif dan hitam demi mengerek suara pribadi. 

“Ini enggak terjadi sekali, tapi ada pola berulang. Yang disasar atau dikritisi adalah keperempuanan mereka, bukan visi misinya. Jadi ruang politisi perempuan untuk berkontestasi masih sulit,” sebutnya. 

Baca Juga: Perempuan di Kabinet Merah Putih: Tak Sekadar Jumlah, Tak Sekadar Pemanis 

Ketidaksukaan Kita pada Politisi Perempuan 

Kurang disukainya perempuan menjadi pemimpin, khususnya di bidang politik adalah fenomena global. Di Indonesia, dari momen Pilkada saja kita bisa melihat beragam contoh lain betapa kepemimpinan perempuan didiskreditkan. Misalnya teks baliho pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman Harda Kiswaya-Danang Maharsa yang viral medio Oktober silam. Ada tulisan ‘Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang’, yang artinya ‘Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria’. 
 
Contoh lain bisa dilihat dari Reykjavík Index yang menilai sikap terhadap kepemimpinan perempuan di negara-negara G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat), negara-negara Nordik (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia, serta Belanda serta India, Kenya dan Nigeria.  

Lewat temuan terbarunya pada 2024, beberapa negara G7 masih menilai perempuan enggak cocok jadi pemimpin. Di Jepang dan Jerman, cuma 36 persen orang yang merasa nyaman dengan ide kepala pemerintahan perempuan atau CEO perempuan di perusahaan besar. Di Kanada, Prancis Inggris, dan Amerika Serikat persentase skor yang ditemukan berkisar antara 50 hingga 69 persen saja. Angka ini masih jauh dari skor 100 yang mengindikasikan perempuan dan laki-laki sama cocoknya jadi pemimpin. 

Temuan mengejutkan lain, di seluruh dunia, generasi muda progresif justru punya prasangka tinggi terhadap kepemimpinan perempuan. Jika hal ini terus berlanjut, kita berpotensi mengalami kemunduran dalam kesetaraan gender yang telah dicapai selama tiga puluh tahun terakhir. 

Prasangka generasi muda ini, menurut Reykjavík Index, timbul karena dua faktor, yakni fragmentasi media tradisional dan paparan media sosial yang bias gender. Keduanya punya akar sama, yaitu seksisme dan misogini. Pada akhirnya ini juga yang menyuburkan gagasan bahwa kepemimpinan itu seharusnya maskulin alias didominasi lelaki.

Soal prasangka ini para peneliti politik dari Universitas Cambrige membuktikan, banyak orang yang justru sibuk denial atau menyangkalnya. Padahal dalam survei yang sama diperlihatkan, ada bias gender yang kentara terhadap kepemimpinan perempuan. 

Alice Eagly, psikolog di Universitas Northwestern di Evanston, Illinois dalam wawancaranya bersama BBC bilang, dalam bias ini perempuan selalu dianggap enggak punya agensi. Mereka tidak tegas dan berwibawa, sifat-sifat yang secara tradisional dikaitkan dengan laki-laki dan pemimpin. Ketika perempuan bekerja sesuai dengan atau melawan stereotip gender, mereka bakal terjebak dalam masalah baru yang disebut sebagai belitan ganda (double bind).  

Mantan perdana menteri Australia Julia Gillard pernah mengalami belitan ganda ini selama menjabat. Dalam penelitian Leadership and the media: Gendered framings of Julia Gillard’s ‘sexism and misogyny’ speech (2012) dijelaskan, Gillard mendapatkan serangan baik dari media massa dan akun-akun media sosial dan lawan politiknya, Tony Abbott. 

Serangannya sarat seksisme. Ia disebut sebagai pemimpin yang punya emosi tak terkendali, hal yang seharusnya tidak boleh dimiliki perempuan. Bahkan ada slogan seksis yang sengaja dibuat untuk memukulnya mundur. Slogan itu berbunyi “Ditch the witch” atau singkirkan penyihir itu. 

Belitan ganda perempuan pemimpin itu direspons pakar politik Yoshikuni Ono dari Universitas Waseda, Tokyo. Dalam wawancara BBC ia mengungkapkan, politisi perempuan selalu menghadapi tantangan yang lebih sulit dibandingkan kandidat politik laki-laki. 

“Mereka harus mencari tahu apa yang akan menjadi strategi yang baik untuk memenangkan pemilihan atau mendapatkan lebih banyak dukungan dari orang-orang. Di saat yang sama, mereka perlu menyesuaikan diri dengan stereotip gender yang menghukumnya,” jelas Ono.

Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin 

Kepemimpinan Perempuan Terbukti Menguntungkan 

Seksisme dan misogini yang mengakar dalam masyarakat merugikan perempuan. Keduanya membuat perempuan sulit berkontestasi secara adil dan setara melawan politisi laki-laki. Perempuan sedari awal dijegal masuk dalam ruang-ruang politik strategis, kata Khoirunnisa. 

Dalam konteks Indonesia, kita bisa bercermin dari keterwakilan perempuan di pemerintahan. Sejak Pemilihan Legislatif (Pileg) pertama 1999, kuota 30 persen perempuan di parlemen belum pernah tercapai. Partai politik (parpol) disebut Khoirunnisa sebagai biang keroknya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, parpol sebenarnya diwajibkan untuk mencalonkan sedikitnya 30 persen perempuan dalam pencalegan, baik di DPR RI maupun DPRD. 

Kewajiban ini disusul dengan keharusan parpol untuk menempatkan sedikitnya 30 persen perempuan dalam kepengurusan. Sayang di lapangan, kewajiban yang jadi bagian dari tindakan afirmatif ini cuma berakhir di atas kertas saja. Hal ini tercermin dalam perolehan kursi perempuan di DPR RI periode 2024-2029 yang masih di angka 22,1 persen, hanya naik sebesar 1,6 persen dari periode 2019-2024. 

Udah dilakukan berkali-kali, tapi parpol masih kesulitan mencari perempuan. Mereka bahkan bilang perempuannya enggak berkualitas, memang laki-lakinya sudah berkualitas? Yang jadi pertanyaan kan kemudian parpol sudah melakukan apa untuk perempuan? Perempuan tuntutannya harus sempurna, tanpa cela. Sedangkan laki-laki main terima aja. Kalau pandangan parpol seperti itu terus, parpol belum bisa jadi ruang aman buat perempuan untuk aktualisasi diri,” ucap Khoirunnisa. 

Sedikit di parlemen, keterwakilan perempuan pun tidak kalah menyedihkan di kabinet kerja pemerintahan. Dalam pemerintahan baru Prabowo-Gibran, dari total 53 menteri, hanya terdapat 5 menteri perempuan. Meskipun ditambah dengan wakil menteri, proporsinya tetap timpang, karena hanya 8 wakil menteri perempuan dari 56 wakil menteri yang dipilih. Ini berarti keterwakilan perempuan dalam kabinet Prabowo-Gibran hanya 13 persen. 

Minimnya perempuan dalam pucuk kepemimpinan terutama di pemerintahan, sempat dikritisi oleh Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA). Misbah Hasan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Seknas FITRA mengungkapkan, dalam masyarakat di mana perempuan masih tergolong sebagai kelompok rentan yang mengalami kekerasan dan diskriminasi, kepemimpinannya jadi krusial didorong. Kepemimpinan perempuan memberikan harapan pada kebijakan-kebijakan yang lebih responsif gender dan inklusif pada kelompok rentan dan termarjinalkan lainnya. 

“Pengaruhnya akan besar. APKM (akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat atau empat indikator dalam keadilan dan kesetaraan gender) terutama kontrol atas sumber daya alam atau finansial dalam hal ini anggaran bisa lebih tepat sasaran. Semua ini pemegang kuasanya ada di level pimpinan strategis. Sehingga, menempatkan perempuan di posisi kepemimpinan strategis berpotensi pada peningkatan ekonomi yang lebih bagus,” jelas Misbah pada Magdalene, (28/10). 

Senada, Khoirunnisa bilang, kepemimpinan dibutuhkan untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan perempuan. Kehadiran mereka harapannya memang untuk mendorong politik ide atau gagasan yang lahir Ini lewat pengalaman khas perempuan yang berbeda dari laki-laki. 

Secara biologis saja, perempuan bisa hamil dan melahirkan. Keberadaan pimpinan perempuan di posisi strategis bisa mendorong dibentuknya kebijakan yang responsif gender, seperti kewajiban pengadaan daycare atau ruang menyusui di perusahaan swasta atau instansi pemerintahan. 

“Kebijakan seperti itu bisa keluar kalau ada perempuan di situ. Ini adalah pengalaman khas perempuan yang tidak bisa disampaikan laki-laki. Keuntungannya nanti bukan cuma buat perempuan. Keuntungannya bisa ke anak bahkan lebih inklusif ke kelompok disabilitas yang bisa ikut terwadahi kalau perempuan ada di situ,” jelasnya.

Pernyataan Misbah dan Khoirunnisa bukan cuma isapan jempol. Keduanya bisa dibuktikan lewat penelitian Women Political Leaders (WPL) bertajuk “Representation Matters: Women Political Leaders” yang terbit pada 2023. Dengan menggunakan data dari 156 negara dari tahun 1970 hingga 2015 dan mencakup ukuran proporsi perempuan di badan legislatif nasional dan posisi kabinet, WPL menemukan hubungan signifikan antara keterwakilan perempuan di politik dan pembuatan hukum dan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif gender. 

Ditulis dalam laporan itu, negara dengan pemimpin politik perempuan, mengubah hakikat politik dan hubungan internasional. Caranya dengan menantang stereotip yang dapat memengaruhi cara isu-isu dibahas dan dipersepsikan. Misalnya mereka bisa mengubah skala prioritas dari isu dan yang sebelumnya terabaikan, seperti kekerasan berbasis gender, akses air bersih, dan kesehatan reproduksi.  

Mereka juga mendorong diskusi dan pengambilan keputusan kolaboratif, yang dapat menghasilkan hasil yang lebih inklusif. Karena itu, sebagai pembuat kebijakan, perempuan memprioritaskan area isu yang menguntungkan kelompok paling rentan di masyarakat melalui perawatan kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan. 

“Mereka mampu mengubah kerangka politik dengan memperkenalkan undang-undang yang sebelumnya dianggap berada di luar lingkup pemerintah, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga mutilasi alat kelamin perempuan, tetapi juga dengan memperluas perspektif pada area kebijakan lainnya. Dengan demikian, semakin banyak perempuan pemimpin tampaknya menciptakan masyarakat yang lebih setara dan peduli,” tulis mereka. 

Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu 

Selain itu, perempuan dalam politik juga memprioritaskan isu perawatan sosial yang lebih luas daripada laki-laki. Mereka paham dengan baik bagaimana peran perawatan lekat dengan peran gender yang secara sistemik berhasil mendiskriminasi dan menjauhkan perempuan dari banyak kesempatan. Reformulasi isu prioritas ini pula membuat perempuan pemimpin lebih sedikit menghabiskan anggaran untuk militer dan lebih memfokuskan sumber daya pada kualitas dan konsistensi pemberian layanan publik. 

Dengan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif gender, pada akhirnya perempuan pemimpin secara nyata terbukti berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Tercatat bahwa rata-rata skor WBL (Women, Business, and Laws atau indeks Band Dunia untuk mengukur bagaimana hukum dan peraturan memengaruhi peluang ekonomi perempuan) untuk negara-negara yang memiliki 50 persen atau lebih perempuan di parlemen, memiliki 10 poin persentase lebih tinggi dibandingkan negara di bawah rata-rata.

Di negara-negara yang memiliki setidaknya setengah dari posisi menteri diisi oleh perempuan, skor rata-rata WBL adalah 17 poin persentase lebih tinggi daripada negara-negara yang memiliki lebih sedikit menteri perempuan. Selain itu, rata-rata skor WBL untuk negara-negara yang memiliki perempuan pemimpin adalah 10 poin persentase lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki pemimpin laki-laki. 

Dampak besar yang dibawa oleh perempuan pemimpin inilah yang butuh didorong. Indonesia masih punya PR besar untuk merealisasikannya. Khoirunnisa menjelaskan, kita bisa sama-sama mendorong parpol untuk bisa lebih demokratis dan inklusif. Dari sisi rekrutmen dan kaderisasi, parpol harus bisa memastikan pemberian akses kepada perempuan.

Tak cuma itu, perempuan juga harus didorong untuk menjalankan fungsinya memberikan pendidikan kepada kadernya. Parpol harus memastikan adanya investasi khusus pada kader-kader perempuan mereka. Memberikan mereka pendidikan yang cukup agar mereka bisa bersaing. Lalu mengacu pada tindakan afirmatif 30 persen keterwakilan perempuan dalam kepengurusan parpol, Khoirunnisa menilai harus mulai dimaknai lebih luas. 

“Jangan dimaknai hanya lewat jumlahnya saja, yang penting ada perempuan. Padahal yang tidak kalah penting adalah menempatkan perempuan di posisi-posisi strategis. Misalnya ada enggak mereka di posisi ketua hariannya di mana mereka bisa ambil keputusan?” sebutnya. 

Ia menambahkan, pemerintah bisa ambil andil dalam mendorong tindakan afirmatif ini dengan memberikan intensif kepada parpol yang bisa memenuhi syarat keterwakilan perempuan di pemilihan umum legislatif. Ia mengatakan memang sudah sepatutnya parpol “dipaksa” untuk berbenah karena ia percaya adanya perempuan di posisi kepemimpinan mampu memberikan efek bola salju. 

“Ini mendorong perempuan lainnya untuk melihat mereka bisa kok duduk di posisi kepemimpinan politik,” tutupnya.  

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *