Hak Aborsi Korban Perkosaan di UU TPKS dan Gagal Paham Media
Riset terbaru ‘Konde’ menunjukkan, media massa di Indonesia masih belum berpihak pada korban pemerkosaan yang memilih aborsi.
Pemberitaan di banyak media massa kita, ternyata belum berpihak pada korban pemerkosaan yang memilih aborsi. Demikian salah satu kesimpulan riset Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat Indonesia (Yayasan IPAS Indonesia) dan Konde.co yang dirilis pada (10/8). Tak cuma nihil keberpihakan, media dalam riset bertajuk Media Memandang Aturan Kebijakan pada Tubuh Perempuan: Hak Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan, juga masih menulis dengan gaya normatif.
Ini sangat disayangkan, mengingat regulasi di Indonesia relatif sudah melindungi korban pemerkosaan, termasuk UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009. Di Pasal 75 ayat (2) disebutkan, aborsi boleh dilakukan pada korban pemerkosaan yang mengalami trauma psikologis.
Meski begitu, dari enam media ( Okezone.com, Pikiran-rakyat.com, Tribunnews.com, Kumparan.com, Merdeka.com, dan Liputan6.com), yang diteliti IPAS dan Konde.co sejak April 2021-April 2022 menemukan, pemberitaan dengan kata kunci aborsi atau menggugurkan kandungan memiliki persentase kecil ketimbang kata kekerasan seksual, pemerkosaan, dan lainnya. Perbandingannya mencapai satu banding dua belas.
Baca juga: 4 Alasan Kenapa Aborsi Aman dan Legal Diperlukan
Sebagai contoh, Okezone.com, menggunakan hanya kata kunci aborsi dan menggugurkan kandungan pada 95 berita yang dipublikasikan. Namun, ada 248 berita dengan kata kunci pelecehan dan kekerasan seksual yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan, penggunakan kata kunci aborsi hanya untuk kepentingan SEO saja saat pengesahan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) beberapa waktu lalu.
Penggunakan kata aborsi pun digunakan tanpa adanya penjelasan kontekstual, seperti urgensi aborsi aman bagi korban perkosaan. Berita soal hak aborsi aman bagi korban perkosaan hanya diangkat jika kaitannya dengan pengesahan UU TPKS.
Media juga dilihat kurang paham akan isu aborsi dan masih terganjal stigma. Ini tergambar dari hasil penelitian yang menyebutkan, banyak wartawan belum membaca secara baik UU Kesehatan yang mengatur isu hak aborsi bagi korban. Temuan ini makin parah karena mayoritas mereka masih menggunakan perspektif agama dan atau sosial untuk cari aman.
Terlebih, media daring khususnya, rerata sibuk mengejar klik. Karena itulah pemberitaan seputar hak aborsi biasanya diangkat ketika ada kasus viral. Angle yang digunakan pun tak jauh-jauh dari siapa tersangka, motif, dan proses peradilan yang dijalankan. Tak ada konteks, tak ada solusi struktural, tak ada gambaran utuh soal kenapa persoalan aborsi mendesak didiskusikan.
Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan
Tak Bisa Tidak, Media Wajib Berbenah
Media dianggap mempunyai peranan besar dalam perjuangan layanan aborsi aman yang layak bagi korban perkosaan. Dalam rilis riset IPAS dan Konde.co ditekankan, media dalam hal ini bisa mengkonstruksi realitas di masyarakat, dengan adanya pilihan keberpihakan kepada korban.
Karena itulah, media diharapkan bisa mendukung advokasi hak aborsi korban pemerkosaan dengan terus menulis dan mengampanyekan dengan perspektif korban. Tujuannya semata-mata demi menggalang dukungan masyarakat dan pemerintah.
Contoh liputan yang baik soal hak aborsi korban pemerkosaan pernah dilakukan BBC. Dalam artikel mereka, wartawan menggambarkan tekanan psikologis yang korban hadapi dan ancaman kematian karena melakukan aborsi tidak aman. Media lainnya pernah mengangkat hak isu aborsi aman setidaknya menyadur berita internasional, seperti Kompas.id dan Tribunnews.com.
Baca juga: Jalan Panjang Mengupayakan Hak Aborsi Legal bagi Korban Pemerkosaan
Lebih lanjut, agar wartawan lebih sensitif terhadap isu ini, maka pelatihan jadi salah satu kunci. Ini terutama berangkat dari pengakuan sejumlah wartawan yang tak punya perspektif yang baik seputar isu kekerasan seksual terhadap perempuan.
Sudah saatnya media melepaskan stigma buruk aborsi dan berdiri di samping korban.