Culture Prose & Poem

Gembrot Liyan

Tubuhmu adalah tubuhmu sendiri. Kita lah yang mendefinisikan makna kita, apa pun pembungkusnya: gembrot, kurus, semampai, hitam, putih, jangkung, kerdil.

Avatar
  • February 2, 2017
  • 6 min read
  • 719 Views
Gembrot Liyan

Ada yang mengatakan, kita tidak akan pernah mengetahui apa rasanya menjadi orang lain, sampai kita berdiri di atas sol sepatu orang yang dia maksud.

Mari berpikir dan berbicara.

 

 

Orang gemuk. Laki-laki gemuk. Perempuan gemuk.

Berapa ribu film atau sinetron yang menjadikan sosok-sosok berlemak juga bundar, gendut, gembrot, gemuk sebagai tokoh bodoh yang gemar makan dan episentrum tertawaan juga ejekan.

Orang-orang gendut, gembrot, gemuk menjadi liyan. Yang tidak cukup manusiawi untuk diberi peran sebagai orang terpelajar, yang cerdas, juga mengagumkan. Orang gendut, gembrot, juga gemuk dalam televisi yang bodoh akan selalu menjadi obyek perundungan. Atau dalam banyak sekali FTV orang gendut di sekolah hanya akan menjadi orang yang berperan tanpa makna apa-apa selain kemana pun membawa plastik Chiki sambil mengunyah. Televisi yang bodoh memberitahu dan menakuti orang-orang yang mungkin dalam gennya mengalir banyak lemak — yang sebenarnya justru itulah yang menjadikannya cantik juga tampan serta mengagumkan.

Berapa banyak televisi yang cukup berani menyatakan bahwa orang gendut, gembrot, juga gemuk bermakna sama seperti mereka yang mengusahakannya. Yang memiliki jauh lebih banyak makna dibanding membawa plastik Chiki juga mengunyah.

Televisi menjatuhkan vonis pada orang gendut, gembrot, gemuk: dunia model adalah ladang haram untuk dimasuki. Kita sebut Whitney Thompson dari American Next Top Model Cycle 10 – badannya bundar padat, wajahnya cantik menawan, ia tidak bodoh dan hanya dapat mengunyah. Ia dapat berpose dan menjadi simbol merk yang manusiawi: tidak semua perempuan sepanjang hidupnya memiliki berat badan 42 kilogram.

Ada manusia lain yang eksis dan nyata hadir. Yang gendut, gembrot, gemuk. Seperti saya.

Saya gendut, gembrot, gemuk sejak kecil. Sampai sekarang. Tapi alhamdulilah, puji Tuhan semesta raya, kehidupan saya tidak semengenaskan yang digambarkan oleh FTV yang maknanya tidak ada: hanya mengunyah dan mengintili teman gengnya yang cantik dan populer.

Kehidupan saya lebih manusiawi. Saya memiliki teman yang memperlakukan saya penuh makna. Saya tidak semata-mata hidup menjadi pusat tertawaan dan ejekan. Saya bertemu dengan orang-orang yang teredukasi bahwa bentuk fisik tidak mendefinisikan bentuk sebuah jiwa. Saya teramat bersyukur saya dapat ceria dan tertawa bahagia bukan karena saya harus menjadi badut agar diterima teman-teman saya. Saya ceria karena memang saya bergembira menjadi diri saya.

Tapi tidak semua orang gendut, gembrot, gemuk seberuntung saya – bertemu dengan teman atau orang-orang yang teredukasi dan memandang lemak-lemak kami adalah identitas kami yang teramat berharga untuk dicintai.

Saya bukannya tidak pernah bertemu orang yang meremehkan saya dan menganggap saya less-human karena saya lebih berat dibanding perempuan lainnya. Tapi karena apa yang ada dalam hidup saya, saya tidak memikirkannya, karena saya bahagia memiliki banyak sekali orang yang menerima saya penuh cinta.

Tapi bagaimana dengan orang gendut, gembrot, gemuk lainnya? Yang bahkan menganggap dirinya sendiri berada dalam kutukan masa lampau, sehingga terlahir dan tumbuh dengan bekal lemak berlebih bergelambir. Anak-anak juga remaja yang hatinya pilu karena dianggap telah harus berhenti bahagia karena tidak cantik dan langsing semampai. Anak-anak juga remaja yang berpikir menenggak obat sebanyaknya dengan harapan keesokan pagi ia bangun telah menjadi personel JKT 48. Atau anak-anak juga remaja yang menahan lapar berminggu hingga pucat kuyu, agar tidak bertambah gelambir-gelambir lemak yang menjadikannya semakin liyan semakin monster.

Lemak-lemak kami, dalam tubuh gendut gembrot gemuk – yang secara lantang saya katakan sebagai mengagumkan – bukanlah hal yang harus membuat orang-orang gendut gembrot gemuk tertunduk malu penuh sesal dilahirkan di dunia. Kami mengagumkan dan menawan sama seperti kalian yang mengusahakannya! Kami tertunduk terduduk malu karena kotak kaca bodoh yang memberitahu seluruh dunia, bahwa manusia yang layak dihormat dipuja adalah perempuan-perempuan berbobot 42 kilogram dan juga pria-pria dengan perut kotak enam buah.

Majalah juga televisi, yang menyajikan perempuan mungil halus tanpa cela membuat kami, orang-orang gendut gembrot gemuk, menjadi makhluk liyan yang tak layak, paling buruk sedunia, mematikan mimpi dan harapan, menjadi alien dalam tubuh sendiri.

Berapa banyak dari kalian akan mempertanyakan apabila ada seorang perempuan gendut mendapat kekasih tampan mapan menawan idaman? Berapa banyak dari kalian akan mempertanyakan apabila ada seoran pria gendut mendapat kekasih cantik mengagumkan idaman?

Sebagian banyak dari kita akan bertanya dalam hati, atau kurang ajarnya bertanya langsung, ‘Kok mau sih?’

Doublethink.

Doublethink adalah bisa saja menjadi pakem pondasi pemikiran paling populer yang digunakan sekarang ini, tanpa disadari tentu.

Mari berpikir dua kali sebelum berkesimpulan yang cukup satu kali.

Doublethink.

dou·ble·think – /ˈdəbəlˌTHiNGk/

noun – the acceptance of or mental capacity to accept contrary opinions or beliefs at the same time, especially as a result of political indoctrination.

Doublethink.

Doublethink is the act of ordinary people simultaneously accepting two mutually contradictory beliefs as correct.

Bagi saya, tentu doublethink akan sesederhana – dalam bahasa saya tentu — penggunaan pola pikir yang salah untuk menentukan sebuah kebenaran.

Mari menghitung.

Berapa banyak dari kita yang mensyaratkan sesuatu atas terpenuhinya sesuatu.

Bahwa seorang perempuan cantik harus berupa sosok yang berbadan langsing, berkulit kuning dan putih, memiliki rambut panjang, berwajah simetris sempurna tanpa cacat, berkaki rata tidak timpang, berat badan tak lebih 42 kilogram, bersuara lemah mendayu lirih.

Bahwa seorang laki-laki menawan harus serupa sosok yang tampan simetris, wajahnya begitu maskulin, perutnya menggaris enam kotak , ototnya muncul, pundaknya bersayap, punggungnya kekar, dadanya tegap, mapan, dan mengendarai Alphard.
Di luar hal itu, simpanlah rapat-rapat. Karena itu adalah aib dan bukan cita-cita.

Perempuan akan kadang lupa diperlakukan sebagai perempuan jika ia gemuk. Laki-laki lupa diperlakukan sebagai laki-laki jika ia gemuk (apalagi ditambah kemayu).

Orang-orang gendut, gembrot, gemuk hanya pantas menjadi punakawan. Emban. Tak pernah menjadi peran utama. Tak pernah menjadi pusat cerita. Tapi sekali lagi itu hanyalah di dalam kotak kaca bodoh yang menuruti pasar tulang yang terbungkus kulit.

Hidup terkadang tidak sekejam dan sebodoh itu. Manusia-manusia yang kita temui, jauh lebih memahami makna darimu dibanding konsep kotak kaca bodoh yang tak henti menghapus makna dalammu. Undanglah mereka dengan pikiranmu. Undanglah mereka – manusia-manusia yang tak mengalienasikanmu hanya karena lenganmu sebesar paha mereka.

Mulai sekarang: tubuhmu adalah tubuhmu sendiri. Kita lah yang mendefinisikan makna kita, apa pun pembungkusnya: gembrot, kurus, semampai, hitam, putih, jangkung, kerdil.

Televisi dan lembar majalah penuh editan bukanlah pengendali tubuhmu. Maknamu bukanlah pada seberapa tipis tebalnya gelambir lemakmu. Jiwamulah pusat makna.

Jadilah mengagumkan dengan siapa dirimu. Bukan seperti seharusnya apa bentuk tubuhmu.
 
Trias Yuliana Dewi adalah seorang mahasiswa yang mencintai menulis, yang terlalu membelok sudut pandangnya untuk dibicarakan, oleh karenanya ia menulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Trias Yuliana Dewi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *