December 5, 2025
Issues Politics & Society

Mampukah Menkeu Purbaya Ciptakan Ekonomi Inklusif Gender? 

Menteri Keuangan Purbaya menyalurkan Rp200 triliun untuk Himbara. Bisakah dana tersebut menciptakan kebijakan yang inklusif gender?

  • September 21, 2025
  • 5 min read
  • 1576 Views
Mampukah Menkeu Purbaya Ciptakan Ekonomi Inklusif Gender? 

Beberapa hari setelah dilantik Presiden Prabowo Subianto, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyalurkan dana senilai Rp200 triliun ke enam Himpunan Bank Negara (Himbara). Dana tersebut diharapkan dapat mempercepat penyerapan belanja negara, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen per tahun dalam dua sampai tiga tahun ke depan.  

Tak cuma itu Purbaya dikabarkan bakal terlibat dalam Tim Akselerasi Program Pembangunan, bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Investasi/ Kepala Menteri Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani. Purbaya bilang kepada CNBC Indonesia, tim tersebut dibentuk untuk membantu pemerintah meninjau program yang selama ini tak optimal dalam menyerap anggaran, serta belum berdampak signifikan terhadap pembangunan. 

Masalahnya di saat bersamaan, anggaran besar untuk megaproyek masih mengalir. Misalnya Makan Bergizi Gratis (MBG), yang pada 2026 akan naik menjadi Rp335 triliun. Lalu Rp6,2 triliun yang dialokasikan untuk pengembangan kawasan strategis Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN). Koperasi Desa Merah Putih menerima Rp3 miliar per koperasi, dan Danantara diproyeksikan mengelola Rp14 ribu triliun. 

Sementara di level mikro, situasinya cukup mengkhawatirkan. Bisnis lesu yang ditandai fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan cuma nanya (rohana), PHK massal di berbagai perusahaan, pekerja yang harus mencari penghasilan alternatif—seperti pegawai Shell yang menjual kopi karena BBM kosong, serta naiknya harga bahan pokok. Di tengah kesulitan ekonomi ini, lagi-lagi perempuan yang menanggung bebannya. 

Baca Juga: Dari Dapur ke Anggaran Negara: 30% untuk Kerja Perawatan dan Kehidupan Layak 

Target Pertumbuhan vs Realitas Lapangan 

Sejak pertengahan 2024, Nayra, 22, berjualan kue leker di Palmerah, Jakarta Barat. Ia memutuskan membantu perekonomian keluarga, karena ibunya menjadi tulang punggung sejak sang ayah kehilangan pekerjaan. 

Dalam sehari, Nayra menghasilkan pendapatan bersih sekitar Rp200 ribu sampai Rp350 ribu. Jumlah ini menurun sekitar 70 hingga 80 persen jika dibandingkan tahun lalu. Belum lagi saat aksi demonstrasi pada akhir Agustus sampai awal September lalu. Nayra tak bisa berjualan karena Palmerah termasuk zona merah. Bahkan beberapa hari setelahnya, tak banyak karyawan yang bekerja dari kantor. 

“Aku jualan dari jam 10 pagi sampai tujuh malam. Paling bersihnya cuma Rp100 ribu,” ungkapnya pada Magdalene. 

Situasi ini membuat Nayra harus ekstra hemat supaya punya tabungan. Sebab, ia tak tahu kondisi ke depannya, apakah dagangannya akan sepi atau membutuhkan uang tambahan untuk belanja. 

Melihat pedagang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perempuan seperti Nayra, Peneliti Ekonomi Digital Center of Economy and Law Studies (CELIOS) Rani Septyarini menyatakan, pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen tak realistis. 

“Pertumbuhan ekonomi paling besar kan ada di konsumsi. Sementara daya beli mengalami penurunan, belum lagi PHK massal dan megaproyek,” ujar Rani. 

Baca Juga: 5 Kebijakan yang Mempersulit Kelas Menengah di 2025 

Realitasnya, megaproyek pemerintah justru mempersempit ruang fiskal di ranah bantuan sosial dan pendidikan, seperti MBG yang memangkas anggaran pendidikan dan “keberhasilannya” sebatas dilihat dari jumlah penerima. Sayang, kualitas program tak diperhatikan, mengingat banyaknya kasus keracunan dan penyedia jasa katering yang belum dibayar. 

Yang juga dikritik adalah suntikan dana Rp200 triliun untuk himpunan bank negara (himbara). Langkah itu diklaim Purbaya untuk menggerakkan perekonomian yang selama ini cenderung mandek. Menurut dia, mayoritas uang pemerintah selama ini cuma diparkir di Bank Indonesia, sehingga sistem finansial Indonesia melambat. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi tersendat, penciptaan lapangan kerja juga jadi terbatas. 

Masalahnya bunga kredit saat ini sedang tinggi sehingga masyarakat justru menahan diri untuk mengambil pinjaman, baik untuk ekspansi maupun membangun usaha. Tak menutup kemungkinan, kebijakan ini justru memicu inflasi, yang pada akhirnya bakal lebih membebani perempuan sebagai pengelola rumah tangga. 

Karena itu, pemerintah perlu memastikan dana tersebut benar-benar terserap dan berputar secara produktif dalam jangka panjang. Misalnya dengan menyalurkannya ke sektor UMKM, pertanian, atau logistik, sehingga output barang dan jasa bisa meningkat dan tekanan harga tetap minimal. Pertanyaannya, apa lagi yang bisa dilakukan untuk menciptakan ekonomi yang inklusif? 

Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Meningkat, Tapi Tak Menambah Jumlah Pekerja Perempuan

Siapa Untung, Siapa Tertinggal? 

Dalam penyusunan program sosial dan penciptaan lapangan kerja, perempuan masih sering menjadi kelompok yang tertinggal. Banyak tenaga kerja perempuan yang sudah menikah kemudian keluar dari pasar kerja karena tanggung jawab pengasuhan. Kondisi ini membuat mereka tidak selalu punya pilihan atau kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki. Dari sisi makro, ekonomi pun kehilangan potensi pajak yang seharusnya bisa tumbuh. 

Untuk mendukung partisipasi tenaga kerja perempuan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang responsif gender. Contohnya, pemerintah bisa menyediakan fasilitas daycare agar ibu tetap bisa bekerja sementara pengasuhan anak berjalan dengan baik. Cuti melahirkan juga perlu diperpanjang, ditambah dengan cuti ayah supaya laki-laki ikut terlibat dalam perawatan anak—bukan hanya beban ibu semata. 

Selain itu, Rani menyoroti soal penerima bantuan sosial (bansos) yang biasanya diberikan kepada kepala keluarga, yang umumnya laki-laki. Belakangan, muncul kasus penerima bansos yang justru terafiliasi dengan judi online (judol), seperti terjadi di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat Juli lalu. Karena itu, ia menyarankan agar bansos lebih tepat sasaran dengan diberikan langsung kepada perempuan. 

“Perempuan akan lebih memikirkan gimana pengelolaannya lebih produktif. Untuk anak sekolah, belanja rumah tangga, atau modal usaha,” tutur Rani. 

Kebijakan yang inklusif gender penting agar fiskal tidak hanya menguntungkan elite, tapi juga melindungi kelompok rentan. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan evaluasi terhadap megaproyek pemerintah. Misalnya MBG, yang seharusnya ditinjau dari efektivitasnya dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan layanan kesehatan, serta mendukung prestasi siswa. 

Untuk menjaga daya beli masyarakat, CELIOS juga merekomendasikan penurunan pajak menjadi delapan persen, menaikkan ambang Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hingga Rp7 juta per bulan, serta menerapkan pajak kekayaan dua persen bagi pemilik aset super kaya. Kebijakan ini diharapkan bisa menekan ketimpangan sekaligus memperkuat penerimaan negara. 

Dengan demikian, harapannya pertumbuhan ekonomi bukan cuma diukur dari angka Produk Domestik Bruto (PDB). Melainkan ekonomi yang inklusif gender dan berkelanjutan. 

About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.