Screen Raves

‘Mencuri Raden Saleh’: Taktik Melawan Penguasa Lewat Pencurian Lukisan

Bukan sekadar pencurian lukisan, ada cerminan penguasa yang mengopresi rakyat dan perlawanan terhadap sistem dilakukan dalam film ini.

Avatar
  • August 31, 2022
  • 8 min read
  • 4158 Views
‘Mencuri Raden Saleh’: Taktik Melawan Penguasa Lewat Pencurian Lukisan

Enggak butuh waktu lama buat saya meyakinkan diri, untuk pergi ke bioskop dan menyaksikan Mencuri Raden Saleh (2022). Meskipun enggak mengikuti berita atau info tentang proses pembuatan filmnya—sejak diumumkan lewat konferensi pers pada 2019, judulnya yang catchy bikin saya menebak-nebak intisari filmnya.

Film ini bercerita tentang pencurian lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh. Alih-alih dilakukan oleh sekelompok pencuri yang mahir, penulis sekaligus sutradara Angga Sasongko memilih enam anak muda yang pengalamannya nol. Mereka cuma menjalankan aksi karena enggak punya pilihan.

 

 

Salah satunya karena Piko (Iqbaal Ramadhan), mahasiswa seni rupa sedang butuh uang. Memalsukan lukisan jadi cara cepat yang dipilih Piko.

Namun, kebutuhan Piko tiba-tiba meningkat dan mendesak. Situasi itu membawanya ke permasalahan baru, ketika mantan presiden Permadi (Tio Pakusadewo) meminta Piko mencuri lukisan bersejarah itu di Istana Presiden.

Sebagai seorang sipil yang hanya bisa tunduk terhadap kekuasaan lebih tinggi, satu-satunya cara menyelamatkan diri dari situasi tersebut adalah melakukan pencurian. Layaknya karakter Profesor dalam serial Money Heist (2017-2021), Ucup (Angga Yunanda), seorang hacker dan sahabat Piko, langsung menggoreskan kapur di papan tulis untuk membantu dengan menyusun rencana pencurian.

Mengetahui apa saja yang dibutuhkan untuk melancarkan aksi, membuat Ucup tampak pintar dan meyakinkan sebagai seorang mastermind. Mulai dari membentuk komplotan, menyusun strategi, dan mengeksekusi. Ucup dan Piko juga mengajak Sarah (Aghniny Haque), Fella (Rachel Amanda), Gofar (Umay Shahab), dan Tuktuk (Ari Irham) bekerja sama dalam pencurian ini.

Sesuai julukan dalam promo filmnya, keenam karakter tersebut memiliki keahliannya masing-masing. Piko si pemalsu lukisan, Ucup sang mastermind sekaligus peretas, dan Sarah yang jago berkelahi. Kemudian, ada Fella si negotiator dengan privilesenya, Gofar si teknisi cekatan, dan Tuktuk yang siap jadi sopir buat gengnya.

Lebih dari itu, dalam Blueprint: Making of Mencuri Raden Saleh, Angga menganalogikan mereka sebagai seorang manusia yang saling melengkapi.

“Otak dari pencuriannya adalah Ucup, Piko sebagai jantung yang lebih emosional, Fella yang menangkap sense. Lalu Sarah yang instinctive, dan kaki tangan yang membawa lari itu Gofar dan Tuktuk,” kata Angga.

Kendati demikian, mungkin ada juga yang menilai Mencuri Raden Saleh malah kurang rasional, karena menyederhanakan situasi lewat adegan Fella, yang menyelamatkan gengnya dengan privilese yang dimiliki. Tapi, di Twitter space beberapa waktu lalu Angga Sasongko mengatakan, bahwa simplifikasi keadaan justru kerap dilakukan sejumlah film heist lainnya.

Salah satunya Inception (2010), ketika Saito (Ken Watanabe) membeli sebuah maskapai penerbangan untuk menemani Fischer (Cillian Murphy) terbang ke Los Angeles. Padahal, menurut logika penonton mungkin akan lebih masuk akal kalau Saito menyewa jet pribadi.

“Lagi pula (adegan itu) tetap bisa dinikmatin, selama situasinya memungkinkan,” terang Angga. “Namanya juga bikin film. Kalau semuanya makes sense, berarti bikin dokumenter.”

Meskipun secara keseluruhan kontribusi Fella sangat signifikan, sayangnya eksekusi dari rencana yang kelihatannya matang masih jauh dari kata sempurna. Sebenarnya konflik yang dihadapi terlalu sepele dan sangat bisa diselesaikan, tapi penyebab aksinya yang meleset masih masuk akal. Mengingat mereka bukan komplotan Danny Ocean (George Clooney) dalam Ocean’s Eleven (2001), yang latar belakangnya adalah para kriminalis.

Misi yang enggak 100 persen berhasil dijalankan itu, justru membawa Piko dan Ucup menjawab pertanyaannya di awal cerita: apa tujuan mereka diminta memalsukan lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” semirip dan sedetail mungkin?

Namun, ulasan ini enggak akan menjawab pertanyaan tersebut secara spesifik. Ada aspek lain yang lebih menarik untuk dibahas, yaitu alur film Mencuri Raden Saleh, yang relevan dengan makna lukisannya dan perjuangan Pangeran Diponegoro.

Sumber: Istimewa via Berita Satu

 

Baca Juga: Review Money Heist Korea: Selatan dan Utara akhirnya Bersatu

Mencuri Raden Saleh Simbol Perlawanan Terhadap Penguasa

Dari adegan pembuka, sebenarnya Mencuri Raden Saleh langsung menampilkan dua aspek penting dalam alur cerita, yakni lukisan dan sosok penguasa. Di sebuah acara pelelangan lukisan, Permadi tertarik membeli lukisan “Hutan Rimba” karya Widayat. Namun, seorang kurator lukisan menghentikannya.

“Palsu? Kamu kenal master forgery-nya?” tanya Permadi, disambut anggukan sang kurator. Anggukan tersebut seperti pembuka alur cerita, yang mengantar pertemuan penonton dengan komplotan Piko dan rencana pencurian lukisannya.

Tentu rencana pencurian itu enggak lepas dari tuntutan sang penguasa. Di saat Permadi sedang ongkang-ongkang kaki menikmati “kemenangannya”, rencana pencurian yang meleset itu membawa Piko dan teman-temannya pada sebuah konsekuensi, yaitu keberadaan mereka yang diketahui polisi.

Setelah mengetahui motif Permadi yang memperalat untuk mencuri lukisan, mereka enggak tinggal diam. Enam anak muda itu ingin memberikan ganjaran terhadap si penguasa, yang memanfaatkan kekuatannya untuk mengancam keselamatan mereka. Itu pula yang melatarbelakangi aksi mereka selanjutnya.

“Permadi kira kita bocah ingusan yang bisa diketekin. Tapi kita kasih liat, kalau kita bisa ngelawan,” tutur Piko.

Keberanian Piko dan gengnya melawan Permadi mengingatkan kita dengan makna lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”.

Lewat karya yang diciptakan pada 1856-1857 itu, Raden Saleh melawan sistem yang lebih besar, yakni kolonialisme. Secara spesifik yang terdapat dalam lukisan Nicolaas Pieneman, berjudul “Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock”. Interpretasi itu dituliskan oleh akademisi Werner Kraus dalam penelitiannya, berjudul Raden Saleh’s Interpretation of the Arrest of Diponegoro: An Example of Indonesian “proto-nationalist” Modernism (2005).

Baik Pieneman maupun Raden Saleh memang menangkap momen yang sama, yaitu penangkapan Pangeran Diponegoro. Namun, keduanya menyampaikan dengan sudut pandang berbeda.

Sumber: Instagram Mencuri Raden Saleh

 

Dalam karya Pieneman, Pangeran Diponegoro terlihat submisif di hadapan De Kock dan pasukannya. Ia berdiri di anak tangga yang lebih rendah dari sang jenderal, yang berdiri gagah. Hal itu menunjukkan perbedaan kasta antara orang Jawa, yang dipotret lebih rendah dibandingkan Belanda.

Sementara lukisan Raden Saleh, menurut Kraus, menunjukkan komposisi yang berbeda. Pangeran Diponegoro yang berdiri di tengah menjadi pusat perhatian. Postur tubuh dan tatapan matanya terlihat menantang, seolah tak gentar dengan pasukan Belanda. Gestur tangan De Kock juga berbeda. Ia tampak mempersilakan Pangeran Diponegoro masuk ke dalam kereta, berbeda dengan di lukisan Pieneman yang terlihat memerintahkan.

Perlawanan itu yang ditampilkan Angga Sasongko dalam Mencari Raden Saleh. Lewat karakter anak muda yang kerap dipandang sebelah mata, ia membuktikan bahwa mereka bukan sosok tidak berdaya. Mereka punya kekuatan untuk mengalahkan kekuasaan yang lebih besar.

Perkara stereotip terhadap anak muda dan merendahkan generasi mereka seperti yang diyakini Permadi, sebenarnya berupa sifat generasional manusia. Terbentuk karena seseorang dari generasi yang lebih tua memproyeksikan dirinya saat ini, dengan di masa lalu.

John Protzko dan Jonathan Schooler menyebutkan, perilaku tersebut dilakukan secara tidak sadar. “Mereka membandingkan dirinya hari ini dengan anak muda masa kini. Jadi kesannya karakter anak muda enggak berkualitas,” tulis mereka dalam riset Kids these days: Why the youth of today seem lacking (2019).

Karena itu, sang mantan presiden enggak menyangka—ataupun mengetahui, siapa dalang dari hilangnya lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang disimpan di rumahnya.

Lebih dari itu, perlawanan yang dilakukan keenam anak muda dalam Mencuri Raden Saleh juga belajar dari kesalahan Pangeran Diponegoro, yang tidak memiliki contingency plan. Dalam sebuah adegan, Piko mengatakan, “Lukisan Raden Saleh bukan cuma tentang perlawanan. Di balik peristiwa penangkapan itu juga ada pengkhianatan.”

Piko merujuk pada peristiwa yang dialami Pangeran Diponegoro. Sewaktu diundang De Kock ke rumahnya untuk bernegosiasi guna mengakhiri permusuhan, ia berakhir ditangkap oleh Belanda dan diasingkan.

Mungkin pada saat itu, Pangeran Diponegoro berpikir tindakan yang dilakukan Belanda akan sesuai dengan yang dikatakan padanya. Sementara Piko tahu, pemegang kekuasaan seperti Permadi akan kembali menang hanya dengan menjentikkan jari.

Alhasil ia mengusulkan untuk melancarkan rencana cadangannya, yang juga menjadi twist dalam film ini. Adegan itu merepresentasikan bahwa tidak mustahil bagi kelas pekerja untuk mengalahkan penguasa, tetapi membutuhkan kerja ekstra untuk dapat menggulingkan mereka.

Siasat tersebut sekaligus membuktikan, bagaimana komplotan Piko bisa menukar keadaannya dengan kemenangan yang lebih dulu dipegang Permadi.

Sumber: Visinema Pictures via Youtube

 

Baca Juga: Dengan Kuas dan Kopi, Aji Yahuti Gambarkan Perjuangan Perempuan

Penguasa Memanfaatkan Rakyat

Dalam Mencuri Raden Saleh, karakter Permadi dipotret sebagai sosok yang ingin membalas kehancuran karier politiknya. Demi memperoleh keinginannya, ia memanipulasi Piko, Ucup, Sarah, Fella, Gofar, dan Tuktuk. Sekalipun artinya harus mengorbankan keselamatan mereka.

“Saya bisa bikin bapakmu tersiksa lebih lama di sana (penjara), atau berkelahi lalu mati. Kamu enggak punya pilihan, Piko.”

Kalimat itu diucapkan Permadi, ketika menjebak Piko dan teman-temannya dalam situasi untuk mencuri. Baginya, bagaimanapun rencana yang telah disusun harus berjalan, termasuk melibatkan orang kecil untuk melakukan pekerjaan kotornya.

Yang dilakukan Permadi termasuk dalam konsep ketidakberdayaan, salah satu jenis opresi yang digagaskan filsuf Iris Young, dalam Oppression, Privilege, & Resistance (2004). Young menjelaskan, konsep tersebut terjadi ketika seseorang kehilangan kontrol atau otoritas atas dirinya, akibat individu yang memiliki kekuatan tertentu. Mereka menuntut yang tidak berdaya untuk mengikuti aturannya, dan memperlakukan mereka secara buruk karena status yang lebih rendah.

Penjelasan itu mencerminkan bagaimana Piko, teman-temannya, dan Budiman (Dwi Sasono)—ayah Piko—hidup di bawah ketakutan dan kontrol Permadi. Mereka tidak memiliki kebebasan selama tidak dapat menyenangkan Permadi sebagai pihak berwenang.

Hal itu ditampilkan dalam dialog Permadi yang lainnya, ketika ia mendesak Piko untuk menjalankan aksinya dengan memberikan modal sejumlah uang. “Kalau saya punya rencana itu matang. Kalian tinggal menjalankan,” tegasnya.

Kemudian, relasi Permadi, komplotan Piko, dan Budiman sekaligus mengkritik classism di masyarakat, yang didefinisikan Joanna Kadi dalam Thinking Class (1996) sebagai sikap individu, perilaku, sistem kebijakan, dan praktik yang dibuat untuk menguntungkan kelas atas dengan mengorbankan kelas bawah.

Permadi tahu betul bagaimana kelas pekerja membutuhkan uang, meskipun tidak semua dalam anggota Piko membutuhkannya. Tapi, setidaknya masa depan beberapa di antara mereka bergantung pada imbalan yang akan diberikan.

Hal tersebut semakin memberikan celah bagi Permadi untuk memperlakukan mereka secara buruk. Akibatnya, kondisi tersebut dimanfaatkan Permadi untuk menindas, dengan iming-iming 17 miliar rupiah apabila berhasil memenuhi kepentingannya.

Perlakuan itu bahkan berujung pada relasi antara Piko dan Budiman yang merenggang. Masing-masing dari mereka memiliki kepentingan dari pencurian lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro”. Piko menganggap langkahnya dapat membebaskan ayahnya, sementara bagi Budiman lukisan itu satu-satunya cara yang bisa menyelamatkannya.

Rusaknya hubungan anak dan orang tua tersebut merupakan metafora, bahwa pada akhirnya kelas pekerja akan diadu sebagai “boneka”, sedangkan yang di kelas atas akan tetap berkuasa.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *