Patriarki dan Kolonialisme Jadi Penyebab Utama KDRT di Seluruh Dunia
Studi terbaru: Perempuan di negara-negara yang pernah dijajah, punya kemungkinan 50 kali lebih besar menerima KDRT.
Satu dari tiga perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan dari pasangan intim mereka. Kenyataan tersebut memang mengejutkan. Namun, yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa di 23 negara – dari Amerika, Afrika hingga Asia dan Pasifik – kemungkinannya meningkat menjadi dua dari tiga perempuan.
Sebagai bagian dari penelitian mengenai negara-negara dengan prevalensi kekerasan terhadap perempuan yang tinggi, kami menganalisis data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah sumber akademis.
Dari analisis tersebut kami menemukan bahwa perempuan di negara-negara yang pernah dijajah memiliki kemungkinan 50 kali lebih besar mengalami kekerasan oleh pasangan intim. Ketika suatu negara memiliki budaya masyarakat patriarki yang tinggi sekaligus sejarah kolonialisme, risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga meningkat.
Banyak akademisi dari masa pasca kolonialisme yang telah mengatakan hal serupa. Dari kemiskinan yang meluas hingga diskriminasi rasial dan ketidaksetaraan gender, penjajahan menjadi akar dari tumbuhnya sistem dan struktur yang menyebabkan tingginya kekerasan terhadap perempuan.
Baca juga: Kasus KDRT Meningkat Namun Rumah Aman Terbatas
Kebijakan Kolonial
Banyak sistem pemerintahan kolonial berdasarkan pada kebijakan “me-ras-kan” penduduk lokal: mengategorikan dan mengelompokan individu berdasarkan ras atau etnis. Contohnya bisa dilihat dari perpecahan antara pemeluk Hindu dan Muslim sebelum pemisahan India, dan sistem hierarki ras yang diterapkan di Afrika Selatan yang apartheid.
Perpecahan tersebut menyebabkan banyak terjadinya konflik bersenjata di dunia. Para akademisi juga kerapkali menyebut tentang daya tahan kolonial untuk menggambarkan bagaimana sejarah kolonialisme masih berperan dalam membentuk dunia saat ini.
Contoh berikutnya adalah tragedi genosida (pembantaian massal) yang terjadi di Rwanda 1994. Lebih dari 800.000, atau sebagian besar, kelompok Tutsi dibunuh oleh ekstremis Hutu – dua kelompok yang awalnya dirasialisasi oleh pemerintah kolonial Belgia, melalui pembentukan hierarki kewarganegaraan dan eksklusivitas. Genosida melihat meluasnya kekerasan seksual terhadap perempuan Tutsi sebagai cara melucuti mereka dari kemanusiaan.
Mereka yang selamat dari genosida tersebut mengalami trauma berat. Penelitian menunjukkan bahwa trauma ini dapat meningkatkan kemungkinan bagi laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap keluarga dan pasangan intim mereka, serta membuat perempuan cenderung tidak berdaya untuk mencegahnya.
Banyak sistem pemerintahan kolonial yang menerapkan peraturan dan kerangka hukum yang sangat merugikan perempuan.
Terlepas dari kenyataan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya posisi di kursi kepemimpinan pemerintahan Nigeria pada masa pra-kolonial, pejabat kolonial Inggris menolak untuk bernegosiasi dengan pimpinan perempuan. Mereka juga menerapkan sistem kepemilikan tanah yang secara eksplisit mengecualikan perempuan.
Warisan dari kebijakan ini adalah bahwa di Nigeria, kesempatan bagi perempuan untuk memiliki tanah masih jauh lebih kecil daripada laki-laki di Nigeria.
Studi terbaru terhadap data nasional menunjukkan bahwa perempuan yang tidak memiliki tanah lebih mungkin untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga daripada mereka yang memiliki. Hal ini karena kepemilikan tanah memberikan ruang bagi perempuan untuk memiliki pendapatan finansial dan kuasa dalam suatu hubungan. Kepemilikan tersebut juga membuat mereka punya pilihan ketika mereka perlu pergi ke suatu tempat. Perempuan yang memiliki kuasa dan pilihan cenderung tidak tahan dengan kekerasan dan lebih memilih untuk pergi.
Baca juga: Pendidikan Perempuan dan Hal-hal yang Belum Selesai
Trauma Sejarah
Jaman sekarang, masyarakat mungkin tidak mengalami sendiri praktik kolonialisme, tapi bisa jadi mereka tinggal di komunitas yang memiliki trauma historis. Peristiwa yang dirasakan oleh komunitas atau kelompok etnis dapat mengakibatkan rasa trauma yang bisa diturunkan dari generasi ke generasi.
Trauma seringkali didefinisikan sebagai suatu kondisi yang muncul dari suatu peristiwa di masa lalu – seperti pelecehan pada anak, atau bencana alam. Tapi trauma sejarah berbeda.
Trauma sejarah tidak berakhir ketika individu yang mengalami peristiwa itu sembuh atau meninggal. Penelitian menunjukkan trauma tersebut justru bisa diperparah oleh praktik diskriminasi dan penindasan yang dialami oleh generasi berikutnya.
Psikiater dan filsuf politik Frantz Fanon adalah ahli yang pertama kali memahami konsekuensi emosional dan psikologis dari trauma sejarah yang timbul dari penjajahan. Dalam Black Skin White Mask (1967), Fanon berpendapat bahwa pembentukan representasi kolonial sebagai pahlawan orang kulit putih telah membuat individu kulit hitam dalam masyarakat pasca kolonial memiliki keinginan untuk menjadi orang lain. Rasa percaya diri mereka, hak mereka untuk memilih, serta kekuatan mereka untuk mengambil keputusan seakan dirampas.
Aktivis hak-hak perempuan Karen Max yang bekerja untuk komunitas First Nations di Kanada berpendapat bahwa kita perlu melihat bagaimana di suatu komunitas, penyebab kekerasan terhadap perempuan bukan hanya perihal ketidaksetaraan gender, tetapi juga bagaimana pengalaman traumatis laki-laki di komunitas tersebut.
Baca juga: Dekolonisasi Sains: Memerdekakan Ilmu Pengetahuan dari Watak Kolonial
Dengan cara yang hampir sama, pengalaman traumatis dari generasi sebelumnya dapat mempengaruhi rusaknya jaringan sosial dan ikatan keluarga di dalam komunitas. Kebijakan sekolah asrama di Kanada membuat anak-anak First Nations dipindahkan secara paksa dari keluarga mereka sepanjang abad ke-20. Penelitian menunjukkan dampak jangka panjang kebijakan tersebut pada komunitas First Nations, yakni tingkat kekerasan dalam rumah tangga, pelepasan emosi, dan bunuh diri yang lebih tinggi.
Sejarah kolonialisme tentu saja bukan satu-satunya yang menyebabkan tingginya kekerasan terhadap perempuan. Faktor signifikan lainnya termasuk norma sosial yang memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki sehingga mereka dianggap layak mendapat kekerasan dalam situasi tertentu. Namun, penelitian kami menunjukkan bahwa sejarah kolonialisme membuat faktor risiko lain ini menjadi lebih buruk.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.