Bagaimana Kelompok Berprivilese Menyamankan Diri di Tengah Ketimpangan
Sebagian orang yang punya privilese tidak sadar atau menyangkal hak istimewa yang mereka miliki itu dan ini memperparah masalah ketimpangan sosial.
Sebagian masyarakat, khususnya kelompok berprivilese, sering menganggap kemiskinan bersumber dari kemalasan atau kurang kerasnya usaha seseorang. Ada di antara mereka yang memang menyadari punya privilese dan mengabaikannya, ada yang belum menyadari itu, apalagi sampai menyadari bahwa kemiskinan terkait masalah ketimpangan akses juga.
Sekeras apa pun kelompok berprivilese menolak untuk mengakui keistimewaan bawaan yang mereka miliki, fakta menunjukkan bahwa kelas ekonomi masih berperan signifikan dalam menentukan garis hidup seseorang.
Pandemi COVID-19 saat ini memperdalam jurang antara kelompok menengah-bawah dan atas di Indonesia yang sebelumnya sudah sangat lebar. Di saat pekerja menengah-atas masih bisa bekerja dari rumah, misalnya, sebagian pekerja dari kelompok rentan harus kehilangan penghasilan akibat kondisi ekonomi yang memburuk.
Di dunia pendidikan, anak-anak dari kelompok menengah-bawah belajar lebih sedikit selama pandemi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga mampu.
Lalu mengapa di tengah jurang ketimpangan ini sulit sekali bagi kelompok dominan untuk mengakui keistimewaan yang mereka miliki?
Baca juga: Perempuan dan Ketergantungannya pada Privilese Pria
Menyangkal Privilese
Privilese merupakan hak istimewa individu yang didapatkan secara otomatis — tidak melalui usaha — karena menjadi anggota kelompok tertentu. Privilese ini dimiliki oleh kelompok dominan baik dalam kelas ekonomi, gender, ras, maupun yang lainnya. Kelompok dominan cenderung menyangkal keistimewaan yang mereka miliki.
Menurut beberapa akademisi yang meneliti kelompok dominan kulit putih di Amerika Serikat (AS), penyangkalan ini terjadi karena kelompok dominan terdorong untuk berlindung dari ancaman psikologis yang berpotensi mengganggu kepercayaan meritokrasi dan konsep diri individu. Kepercayaan meritokrasi menekankan bahwa kesuksesan adalah buah dari bakat dan kerja keras.
Individu dari kelompok dominan yang menyadari pentingnya faktor kelas ekonomi akan mengakui bahwa usaha dan kerja keras saja tidak cukup untuk menempatkan mereka pada situasi yang baik yang mereka nikmati. Pengakuan semacam ini akan mengganggu kepercayaan meritokrasi kelompok dominan.
Teo You Yenn, sosiolog dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura menjelaskan bahwa salah satu kendala terbesar untuk membongkar ketimpangan di negara jiran itu adalah narasi meritokrasi yang selama ini diterima begitu saja oleh masyarakat tanpa upaya untuk mengkritisinya.
Selanjutnya, individu enggan untuk mengakui privilesenya untuk menghindari perasaan bersalah karena menjadi suatu anggota di kelompok dominan tertentu. Mengakui privilese maka mengakui bahwa mereka cenderung diuntungkan dari ketidakadilan yang terjadi. Hal ini bisa menimbulkan penilaian negatif individu, baik tentang dirinya maupun kelompoknya.
Baca juga: ‘Influencer’ dan ‘Beauty Privilege’: Ketimpangan yang Harus Dibicarakan
Menutupi Keistimewaannya
Mengakui privilese menimbulkan ketidaknyaman pada diri individu. Untuk menghindari hal itu, kelompok privilese menggunakan beberapa cara dalam menutupi privilesenya.
Pertama, individu mengakui bahwa mereka adalah bagian dari kelompok dominan, namun menolak mengakui bahwa mereka mendapatkan keuntungan secara tidak adil. Penolakan ini biasanya justru menguatkan pemahaman bahwa kesuksesan yang mereka dapatkan adalah hasil usaha keras selama ini.
Cara lain untuk menolak mengakui keistimewaan adalah dengan menggunakan narasi kemujuran (luck) dalam menjelaskan capaian. Penelitian yang dilakukan pada sekelompok mahasiswa Singapura di University of Oxford dan University of Cambridge, Inggris, pada 2020 menunjukkan bahwa faktor kemujuran umum digunakan oleh kelompok dominan untuk menjelaskan keberhasilan mereka masuk kampus-kampus top dunia.
Menggunakan faktor kemujuran terdengar lebih rendah hati dibandingkan dengan penggunaan narasi kerja keras — yang seolah hanya fokus pada diri sendiri. Sayangnya, narasi kemujuran justru bisa menguatkan legitimasi kelompok dominan atas keuntungan-keuntungan yang mereka dapatkan dan juga abai pada ketimpangan yang ada.
Kedua, kelompok dominan menolak untuk mengakui bahwa mereka adalah bagian dari kelompok privilese. Menurut Brian Lowery, psikolog sosial dari Stanford University, AS, salah satu cara yang anggota kelompok dominan lakukan adalah mendaftar kesengsaraan yang selama ini mereka alami. Dengan begini, mereka bisa menunjukkan bahwa mereka juga mengalami penderitaan.
Tentu, semua manusia punya derita hidupnya masing-masing. Kesengsaraan yang dialami kelompok berprivilese dan kelompok minoritas sama-sama valid dan penting untuk dipahami.
Namun, derita kelompok yang mengalami diskriminasi serta penyingkiran secara sistematis tentu harus dibedakan dengan derita sehari-hari individu dari kelompok dominan. Misalnya, kita tidak bisa menyamakan kesengsaraan kurir aplikasi belanja online yang harus bekerja dengan upah tidak layak dan jaminan sosial yang belum memadai dengan kesulitan mahasiswa menengah-atas yang sedang mengenyam pendidikan master di luar negeri.
Terakhir, menutupi privilese bisa dilakukan lewat misidentifikasi kelas ekonomi. Misalnya, anggota kelompok ekonomi atas yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok menengah-bawah.
Di Inggris, kelompok profesional kerap menganggap dirinya bagian dari kelompok kelas pekerja menengah-bawah. Studi oleh London School of Economics menunjukkan bahwa misidentifikasi dilakukan salah satunya dengan cara mengaitkan kisah hidup individu saat ini dengan leluhur mereka yang sudah hidup puluhan tahun lalu.
Dengan melakukan ini, mereka bisa membingkai cerita hidup dan keluarganya sebagai kelompok pekerja yang juga berjuang sebelum mendapatkan kesuksesan. Cerita seperti ini bermakna dalam membentuk identitas individu, namun di sisi lain juga dapat membuat individu meremehkan keuntungan yang mereka miliki saat ini.
Misidentifikasi kelas ekonomi umumnya terjadi karena ketimpangan yang semakin parah. Analisis psikologi terkait ketimpangan menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi cenderung membuat seseorang merasa miskin, bahkan jika secara materi dia sebenarnya berkecukupan.
Di Indonesia, misidentifikasi sering dilakukan oleh kelompok menengah urban dengan menggunakan istilah ‘sobat misqueen’. Istilah ini umum terlontar ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu mengikuti gaya hidup kelompok yang lebih elit.
Baca juga: Arti ‘Privilege’ yang Perlu Kalian Ketahui dan Apakah Semua Orang Punya?
Memulai untuk Mengakui
Menurut studi di AS, pengakuan atas privilese akan sejalan dengan dukungan yang individu berikan pada kebijakan pro rakyat kecil, seperti kebijakan afirmasi dan bantuan sosial.
Dengan mempertimbangkan bahwa kelompok privilese mendominasi panggung politik Indonesia dan memiliki kuasa besar untuk mendorong kebijakan yang lebih berpihak ke kelompok bawah, maka penting sekali mengajak kelompok ini untuk membongkar privilese yang dimiliki.
Di level personal, kita bisa melakukan refleksi kritis terkait keistimewaan yang kita miliki. Refleksi ini bisa dibantu dengan menggunakan analisis data-data berdasarkan kelas ekonomi sehingga mampu menggambarkan besarnya ketimpangan yang terjadi di sekitar kita.
Selain itu, kita juga bisa melakukan beberapa latihan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kelas ekonomi dalam menentukan hidup seseorang.
American Psychological Association (APA), organisasi yang menaungi ilmuwan psikologi, menyediakan beberapa metode latihan untuk membantu kita menyadari keterkaitan kelas ekonomi dengan pembentukan sikap, pengalaman diskriminasi dan penindasan, pendapatan, privilese, dan kepemilikan properti.
Selanjutnya, interaksi dengan lebih banyak anggota di luar kelompok diyakini dapat meningkatkan empati individu terhadap perjuangan kelompok lain.
Mengingat ada ketimpangan kuasa dalam hubungan antara individu dari kelompok dominan dengan anggota di luar grupnya, maka interaksi harus dilakukan dengan tujuan untuk menyeimbangkan relasi kuasa tersebut. Salah satu yang bisa dilakukan oleh kelompok dominan adalah memberikan kesempatan lebih banyak kepada kelompok minoritas untuk menyampaikan cerita mereka.
Eksperimen yang dilakukan di AS dan Timur Tengah menunjukkan bahwa kelompok minoritas lebih mungkin untuk menggambarkan kesulitannya secara lebih akurat jika mendapat kesempatan didengar, dan lebih membantu kelompok dominan untuk lebih memahami derita kelompok lain.
Terakhir, upaya untuk membongkar privilese merupakan hal yang kompleks yang membutuhkan peran negara serta institusi seperti sekolah serta masyarakat.
Ketimpangan harus dipersempit sehingga sekat-sekat antara kelompok kaya dan miskin bisa dibuka. Dengan begini, seluruh anggota masyarakat bisa saling berinteraksi dan memahami kehidupan kelompok lain.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari