emuda itu bernama Jared. Selama berhubungan dengan laki-laki, Jared ingin menyentuh dan mencium pasangannya. Namun tidak dengan berhubungan seksual. Awalnya, ia menganggap hanya belum bertemu orang yang tepat dan ada yang salah dengan dirinya. Kemudian, Jared mengetahui dirinya adalah gray seksual, yakni seseorang yang ketertarikan seksualnya berada di antara aseksual dan alloseksual–orang yang memiliki ketertarikan seksual.
Kehidupan Jared merupakan bagian dari film pendek I’m Graysexual, garapan Christopher Stoudt, filmmaker asal Amerika Serikat. Dalam filmnya, Stoudt memotret perjalanan Jared yang mengidentifikasi diri sebagai gray seksual. Ia ingin menunjukkan, hubungan seks bukanlah sesuatu yang esensial bagi sebagian orang.
Baca Juga: Queer Love: Bagaimana Mengetahui Orientasi Seksual Kita?
Gray seksual sendiri berada di bawah spektrum aseksual, orientasi seksual yang hasrat seksualnya lebih sedikit atau muncul dalam situasi tertentu. Istilah gray seksual pertama kali digunakan pada 2006, oleh Asexual Visibility and Education Network (AVEN).
Menurut AVEN, orang-orang gray seksual memiliki beragam kondisi. Ada yang tidak memiliki ketertarikan seksual, ada juga yang punya ketertarikan seksual dengan libido yang rendah. Ada juga yang sekadar memiliki hasrat seksual, tanpa ingin melakukannya. Atau menginginkan dan menikmati seks, tapi hanya dalam waktu tertentu.
Definisi AVEN menunjukkan, gray seksual maupun orientasi seksual secara keseluruhan bersifat fluid. Artinya tidak ada tolok ukur yang dapat mendeskripsikan seksualitas, dan pengalaman setiap individu tetaplah valid. Sebab, masih banyak stereotip seputar gray seksual yang berada di masyarakat.
Stereotip Gray Seksualitas
Sebagian orang gray seksual pernah menginternalisasi acephobia–diskriminasi terhadap orang-orang aseksual dan aromantis berdasarkan stereotip masyarakat. Hal itu dikarenakan perbedaan pengalaman seksual, antara aseksual dengan alloseksual. Stereotipnya pun tidak jauh dari konsep menginginkan dan menikmati seks.
Baca Juga: Apa itu Demiseksual: Ketertarikan Seksual Setelah Ada Ikatan Emosional
Seperti tidak memiliki ketertarikan pada siapa pun, belum menemukan sosok yang tepat, hidup selibat atau abstinent, tidak menginginkan pernikahan, hingga punya gangguan hasrat seksual yang perlu disembuhkan.
Beberapa stereotip di atas adalah cerminan dari minimnya representasi gray seksual–maupun aseksual secara keseluruhan–di media dan budaya populer. Yang mayoritas masih menampilkan konten dan isu dari sudut pandang heteronormatif. Akibatnya, masyarakat berspekulasi setiap orang memiliki libido maupun memprioritaskan hubungan seks.
Pemahaman itu terbentuk tak lain tak bukan, karena melihat orientasi seksual hanyalah heteroseksual. Sementara di luar itu dianggap menyimpang, lantaran tidak sesuai standar masyarakat.
Begitu pula dengan asumsi, orang-orang gray seksual tidak dapat menjalin relasi romantis. Ketika kenyataannya, ketertarikan romantis dan seksual merupakan dua hal berbeda.
Ketertarikan romantis menunjukkan adanya keinginan berinteraksi secara romantis, dengan mengekspresikan perasaan dan menunjukkan kasih sayang. Sementara ketertarikan seksual adalah keinginan untuk terlibat dalam aktivitas seksual, tapi tidak harus melakukan hubungan seks.
Maka itu, sebagian orang-orang gray seksual tetap memiliki preferensi terhadap identitas gender tertentu dalam ketertarikan romantis.
Baca Juga: Nonbiner Sudah Lama Ada, tapi Kolonialisme Membuatnya Jadi Asing
Selain lewat representasi media, minimnya orang-orang gray seksual juga ditunjukkan dalam 2019 Asexual Community Survey Summary Report (2021), oleh Robin Weis, dkk. Menurut mereka, hanya ada 10,9 persen responden gray seksual dalam spektrum aseksual. Di sisi lain, angka tersebut menunjukkan gray seksual adalah istilah yang paling dikenal dalam spektrum aseksual, selain aseksual itu sendiri.
Berkaca dari definisi, realitasnya ada orang-orang gray seksual yang tertarik atau menyukai seks. Dalam wawancaranya bersama MindBodyGreen, pakar hubungan dan seks Anne Hodder-Shipp menjelaskan alasannya. Menurutnya, hubungan seks dilakukan untuk memperkuat hubungan romantis atau menikmati sensasi fisik. Toh ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan relasi romantis, tidak melulu dari hubungan seks.
Lalu, seperti apa gray seksual dalam relasi romantis?
Gray Seksual dalam Hubungan Romantis
Adanya stereotip terkait gray seksual tidak ingin menikah mencerminkan, hubungan seks diyakini sebagai fondasi bagi pasangan untuk membangun keintiman. Anggapannya, pernikahan tidak akan berhasil jika pasangan tidak melakukan hubungan seks. Atau tanpa seks menunjukkan hubungan yang tidak sehat.
Padahal, hubungan seks hanyalah satu dari berbagai cara untuk membangun keintiman relasi. Dalam relasi romantis, seorang gray seksual lebih tertarik pada kepribadian pasangan, dibandingkan fisiknya. Bukan berarti mereka enggan melakukan kontak fisik, melainkan memilih cuddling atau berpelukan dibandingkan berhubungan seks. Itu juga bergantung pada pengalaman ketertarikan dan seksual seseorang.
Dalam tulisan yang sama, Hodder-Shipp menyatakan keterbukaan merupakan kunci keberhasilan hubungan. Keterbukaan itu dibangun dengan mengomunikasikan kebutuhan dan batasan masing-masing. Baik secara seksual maupun romantis.
Sebab, kemungkinannya hubungan seks bukanlah sesuatu yang diprioritaskan oleh orang gray seksual. Tidak sebagaimana mereka mengekspresikan kasih sayang lewat perilaku dan tutur kata. Atau upaya lainnya yang dilakukan untuk memperkuat ikatan dengan pasangan.
Sayangnya, membuka diri pada pasangan sebagai gray seksual juga bukan perkara mudah. Terutama jika pasangan adalah seorang alloseksual, yang memprioritaskan hubungan seks dan masih memiliki stigma atau stereotip terhadap gray seksual.
Namun, perbedaan ketertarikan dapat diatasi dengan berkompromi. Yakni mempertimbangkan opsi lain yang dapat meningkatkan intimasi hubungan, sekaligus membuat relasi tetap bermakna. Bersamaan dengan belajar memahami, dan melihat dunia bukan dari sudut pandang heteronormatif.