Apa Itu ‘Sextortion’ dan Apa Hubungannya dengan Korupsi?
Masalah penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapat gratifikasi seksual sering kali luput dari perhatian masyarakat sehingga keadilan untuk korban sulit didapat.
Mari membuat kesepakatan bersama di awal. Bahwa korupsi dan kekerasan seksual adalah dua fakta yang sama hinanya. Valid, No debate!
Namun, pernahkah tebersit dalam bayangan, bagaimana jika keduanya terakumulasi dalam satu tindakan? Tentu sangat meresahkan lantaran dampak yang dirasakan korban berlipat-lipat.
Baru-baru ini, dunia aktivisme anti-korupsi dan keadilan gender dibuat geram, sebuah fakta tindak sextortion beredar di jagat maya. Tidak tanggung-tanggung, data yang dihimpun oleh Global Corruption Barometer (2020), mengungkapkan bahwa Indonesia menempati posisi pertama se-Asia dengan tindak sextortion tertinggi (18 persen), diikuti oleh Sri Lanka (17 persen), dan Thailand (15 persen). Angka ini lebih dari dua kali lipat di atas rata-rata negara-negara dalam survei (8 persen).
Sebelumnya, mari kita samakan pandangan terkait sextortion. Istilah ini terbilang baru dan belum banyak orang yang familier dengannya. Sextortion pertama kali digunakan oleh International Association of Women Judges (IAWJ) pada 2008. Hal ini diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual, sering kali terjadi sebagai imbalan atas layanan publik, seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Sextortion juga sering dikenal dengan pemerasan seksual.
Meski definisi ini masih sangat universal, istilah sextortion dinilai mampu mewakili akumulasi dua tindak kejahatan. Penyalahgunaan kekuasaan layaknya koruptor, serta pemaksaan kegiatan seksual lakunya penjahat seksual.
Kasus sextortion bernasib sama dengan kasus kekerasan seksual lainnya: Ibarat gunung es yang hanya tampak permukaannya. Data di atas terbilang rendah secara persentase. Namun ketika berbicara data kekerasan seksual, sering kali bilangan statistik tidak mencerminkan realitas yang terjadi.
Terbatasnya informasi adalah alasan valid dari rendahnya persentase tindak sextortion. Kasus-kasus yang tidak terungkap menjadi buah stigma sosial dan lemahnya mekanisme pelaporan.
Sudah pasti, akarnya terletak pada pemikiran masyarakat yang masih patriarkis. Korban kekerasan seksual termasuk sextortion dibungkam oleh budaya victim blaming, bahkan reviktimisasi. Lagi-lagi kasus semacam ini menjebak korban dalam tekanan psikologis dan krisis kepercayaan terhadap lingkungan sekitar. Lagu lama, kurang perhatian!
Melihat data bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia dalam kasus sextortion, sudah sepatutnya kita mendalami masalah ini dengan lebih serius.
Sextortion, Korupsi, dan Masalah Kesetaraan Gender
Korupsi kerap diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang atau posisi untuk mendapatkan uang atau barang sebagai imbalan atas otoritas. Lalu bagaimana jika yang diminta adalah imbalan seksual? Apakah hal tersebut tidak dikategorikan gratifikasi juga?
Perlu dipertegas batas yang seakan tak ada ini, bahwa sebagai pembeda antara sextortion dan korupsi pada umumnya adalah imbalan berupa seks. Pembeda antara sextortion dan kebanyakan kekerasan seksual lainnya adalah penyalahgunaan wewenang. Sedangkan pembeda antara sextortion dengan fenomena gratifikasi seksual adalah adanya pemaksaan.
Samarnya batas-batas tersebut dikarenakan perbincangan terkait sextortion masih terbilang asing, tapi jika boleh mengira-ngira, bukankah praktik ini sering terjadi?
Menolak lupa, ada sejumlah kasus dosen predator yang mengiming-imingi kelulusan mahasiswanya dengan syarat melakukan hubungan seksual. Sebagai mahasiswa dengan tuntutan lulus cepat dan nilai baik dari orang sekitarnya, juga karena tekanan ekonomi, tentu tidak ada pilihan lain. We have to pay double price. Sudah bayar uang perkuliahan, ditambah lagi terjebak pemerasan seksual. Jelas hal ini terjadi karena dosen merasa berkuasa atas mahasiswanya.
Baca juga: Bagaimana Ciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual
Contoh di atas hanyalah satu dari beragam modus sextortion. Hakikatnya, sextortion merupakan korupsi yang terjadi di berbagai sektor, bukan hanya pendidikan, tapi juga beragam akses layanan publik.
Sayangnya, definisi korupsi yang sangat sempit sebatas pembayaran uang suap dan barang berwujud, menjadikan fenomena ini kerap tersandung tuduhan konsesual (suka sama suka) dalam penyelesaiannya.
Mengulik lebih jauh tentang sextortion dan kaitannya dengan upaya mewujudkan kesetaraan gender, pertanyaan yang muncul adalah: Siapa yang paling dirugikan? Tentu kelompok rentan dalam tatanan sosial masyarakat yang patriarkis nan kapitalis. Perempuan dan anak menjadi sasaran utama pelaku penyalahgunaan otoritas ini.
Studi tentang fenomena sextortion menunjukkan bahwa laki-laki masih cenderung menempati puncak-puncak kekuasaan. Sementara, perempuan dengan beban peran gender tradisional “tanpa bayaran”, sangat bergantung pada layanan-layanan publik.
Asimetri kekuatan sosial menjadikan perempuan terempas ke dasar jurang eksploitasi. Jika perempuan terus dihalangi untuk berdaya secara ekonomi dan politik, dapat dipastikan penyalahgunaan kekuatan akan menjadi normal. Maka, upaya mengatasi kejahatan sextortion adalah ikhtiar dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Saat memikirkan solusi, pesimisme seakan menghantui mengingat betapa sulitnya memperjuangkan balasan setimpal bagi pelaku kekerasan seksual. Ini dikarenakan oleh regulasi yang tak kunjung ada serta penegakan keadilan yang cenderung setengah-setengah.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur tindak sextortion, hanya sebagai kondisi yang memberatkan. Karena itu, mendorong adanya regulasi khusus adalah solusi konkret meskipun sekali lagi, tidak akan semudah membalik telapak tangan.
Baca juga: Kaukus Perempuan Parlemen: Kekerasan Seksual Urusan Negara
Apa yang Bisa Dilakukan terkait Sextortion?
Sementara belum adanya regulasi, upaya sederhana dan tepat sasaran harus dilakukan guna memberi perhatian pada fenomena ini. Setidaknya lewat tiga cara.
Pertama, mengadakan kampanye kesadaran tentang sextortion yang merupakan bagian dari bentuk korupsi dan kekerasan seksual. Upaya ini juga mendorong agar korban mendapat akses pada mekanisme pelaporan yang aman, nyaman, dan sensitif gender.
Kedua, perlu disadari bahwa kurangnya perhatian akan kasus sextortion dikarenakan masyarakat masih asing dengan pengertian dan modus tindakannya. Kita perlu mengintegrasikan sosialisasi tentang sextortion dalam kegiatan-kegiatan anti korupsi dan anti kekerasan seksual dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat sesuai latarnya.
Ketiga, data yang telah dipaparkan di awal hanyalah gambaran umum. Keterbatasan data dan rumusan definisi yang masih parsial menuntut untuk terus dilakukannya riset, terutama pada tingkat sektoral. Bisa jadi pada setiap sektor layanan publik terdapat modus sextortion yang berbeda.
Ingat. Sekali berjuang, kita harus terus bertahan, sampai secercah harapan datang menghampiri. Salah satunya dengan terus mengampanyekan kesetaraan gender di berbagai sektor layanan publik.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.