Komunitas Salihara Arts Center kembali menggelar Literature and Ideas Festival (LIFEs) pada 2025. Bertajuk “Menjadi Indonesia”, festival ini menjadi ruang refleksi untuk merenungkan kembali arti kebangsaan melalui medium seni dan gagasan.
Digelar pada 8–16 Agustus, LIFEs menghadirkan rangkaian acara seperti pentas baca, pertunjukan teater, musik, diskusi, hingga pameran interaktif.
Ayu Utami, Direktur LIFEs, dalam siaran pers menyatakan keinginan festival ini untuk menghadirkan proses berkarya yang lebih mendalam. “LIFEs ingin menjadi lebih dari sekadar ngobrol-ngobrol kecil,” ungkapnya.

Baca Juga: SamaBhav Travelling Film Festival, Bersama Dorong Kesetaraan Gender
Melawan Pembungkaman Sejarah
Salah satu program yang paling menyentuh dalam rangkaian LIFEs tahun ini adalah pertunjukan teater interaktif in(her)ited silence. Diselenggarakan pada (2/8), karya ini mempertemukan dua aktor teater dari Indonesia dan Jepang, Sri Qadariatin dan Kozue Ito. Dalam empat babak berdurasi 90 menit, mereka menghidupkan kembali kisah para jugun ianfu—perempuan yang menjadi korban perbudakan seksual militer Jepang—melalui medium tubuh, suara, dan ruang.
Pertunjukan ini menyuguhkan pengalaman mendalam, bukan hanya melalui naskah yang kuat, tetapi juga tata panggung yang penuh simbol dan bunyi-bunyi repetitif yang menusuk. Penonton seolah diajak menjadi saksi hidup atas peristiwa yang selama ini direduksi atau dibungkam dalam sejarah resmi. Suara retakan, detak langkah kaki, dan bisikan yang berulang menciptakan suasana intim sekaligus menegangkan, memaksa audiens untuk tidak sekadar menonton, melainkan turut merasakan beban sejarah yang disampaikan.
Sri Qadariatin menjelaskan naskah pertunjukan ini merupakan hasil riset kolaboratif lintas negara yang intens. Ia dan Kozue Ito menggali arsip, testimoni, studi sejarah, dan bahkan mengunjungi situs-situs relevan di Indonesia dan Jepang.
“Kami ingin membuka ruang alternatif bagi cerita-cerita yang selama ini dilupakan,” katanya dalam sesi tanya jawab seusai pertunjukan.
Karya ini juga dibuat dalam konteks peringatan 25 tahun Persidangan Internasional untuk Kejahatan Perang terhadap Perempuan (Women’s International War Crimes Tribunal on Japan’s Military Sexual Slavery) yang digelar pada 2000. Persidangan ini diinisiasi oleh masyarakat sipil dari berbagai negara sebagai bentuk perlawanan terhadap impunitas negara dan militer Jepang atas kejahatan seksual selama Perang Dunia II.

Baca Juga: Pesta Perempuan: Mari Jaga Semangat Kita #MendobrakBias
Tubuh Perempuan dan Ingatan
Dalam pertunjukan, Kozue Ito membacakan fragmen kesaksian penyintas. Sementara itu, Sri Qadariatin menggunakan gerak tubuh yang repetitif sebagai simbol luka yang diwariskan antar-generasi. Ito menekankan bahwa kebisuan yang diwariskan pada tubuh perempuan adalah bentuk kekerasan berlapis.
“Diam bukan hanya karena takut. Diam juga bisa karena dipaksa oleh sistem yang tidak mau mendengar,” ujarnya.
Teater ini tidak menawarkan resolusi. Ia justru memantik pertanyaan: Siapa yang berhak menuliskan sejarah? Mengapa tubuh perempuan selalu dijadikan alat tawar politik? Mengapa negara lamban dalam memberikan pengakuan?
Semua pertanyaan ini dilontarkan tanpa pretensi memberikan jawaban pasti—mendorong audiens untuk berpikir kritis dan merasa tidak nyaman. Karena hanya dari ketidaknyamananlah kesadaran bisa tumbuh.
Dengan pendekatan lintas budaya dan dokumentasi sejarah yang solid, pertunjukan ini menjadi upaya sadar untuk merawat ingatan. Bukan hanya tentang masa lalu, tapi tentang bagaimana ingatan dan trauma diwariskan, dibisukan, atau justru diperjuangkan.
Pertunjukan ini penting bukan hanya sebagai pengingat sejarah, tapi juga sebagai cermin terhadap cara kita hari ini memperlakukan isu kekerasan seksual, penyintas, dan keadilan transisional. Minimnya pengakuan negara terhadap korban, peminggiran cerita perempuan dalam narasi sejarah nasional, dan dominasi perspektif maskulin dalam pendidikan sejarah masih menjadi persoalan.
Respons penonton pun membuktikan kekuatan pertunjukan ini. Beberapa terlihat menangis, lainnya terdiam cukup lama setelah tirai ditutup. Ada yang mencatat, ada pula yang memeluk sesama penonton. Semua menandakan seni bisa membuka luka lama sekaligus memberi ruang untuk menyembuhkan bersama.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Dengan pertunjukan seperti in(her)ited silence, kita diingatkan bahwa sejarah tidak pernah benar-benar selesai. Ia hidup, dipertanyakan, dan terus diperjuangkan agar tak jatuh ke dalam diam yang mematikan.
in(her)ited silence adalah salah satu contoh paling kuat dari bagaimana seni pertunjukan bisa menjadi sarana untuk merebut kembali narasi yang lama dikuasai negara dan militer. Dalam konteks Indonesia yang masih minim pengakuan terhadap penyintas kekerasan seksual masa lalu—termasuk dalam kasus 1965 dan konflik di Papua—pertunjukan ini menjadi penting. Ia tidak hanya menyuarakan sejarah perempuan yang terbungkam, tapi juga mengajak kita memikirkan kembali bagaimana kita mencatat, mengajarkan, dan merawat sejarah bersama.
















