December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

Menonton Kembali ‘Turang’, Film yang Dilarang dan Dilenyapkan Orde Baru

Ia sempat hilang dan dilarang. Semua karya sutradaranya dilenyapkan, bahkan ia dibuang ke Pulau Buru.

  • April 30, 2025
  • 6 min read
  • 2728 Views
Menonton Kembali ‘Turang’, Film yang Dilarang dan Dilenyapkan Orde Baru

Suatu hari di 2024, seorang seniman video asal Uzbekistan mengirimkan kabar kepada Bunga Siagian, seorang peneliti, kurator film, dan seniman. Ia baru saja mengakses arsip Gosfilmofond di Rusia dan menemukan sebuah berkas film dengan judul Turang. Tidak ada nama sutradara, tidak ada sinopsis. Hanya judul.

Butuh waktu dan proses administrasi rumit untuk memverifikasi isinya. Tapi, begitu potongan film dikirim dan diputar, jelaslah: Ia memang Turang, film revolusioner Indonesia tahun 1957 yang selama puluhan tahun dianggap hilang. 

Turang bukan sekadar artefak sinema. Ia adalah warisan yang ditolak oleh negaranya sendiri. 

Setelah penayangan perdananya di Istana Negara dan penghargaan Film Terbaik di Pekan Apresiasi Film Nasional (yang kelak menjadi Festival Film Indonesia) 1960, Turang menghilang dari sirkulasi. Jejak distribusinya di Festival Film Asia Afrika pertama di Tashkent, Uzbekistan, lah yang secara tak langsung menyelamatkan keberadaan Turang.

Baca juga: Arti Ingatan dan Kematian Penyintas 1965 dalam Dokumenter ‘Eksil’

Pada April 2025, saya duduk menonton ia diputar kembali di Cafe Society Cinema di IFI Yogyakarta, dan kisah penemuannya diceritakan Bunga di sana. Saya, akhirnya, menyaksikan Tipi dan Rusli, dua karakter utama, hidup kembali di layar dalam warna hitam putih yang lembut dan getir.

Sejarah penghilangan Turang tidak bisa dilepaskan dari konteks politik Indonesia setelah 1965. Sutradaranya, Bachtiar Siagian, adalah anggota LEKRA—Lembaga Kebudayaan Rakyat—organisasi kebudayaan progresif yang menjadi bagian dari gerakan kiri Indonesia. Setelah perubahan rezim, seluruh yang berhubungan dengan LEKRA ikut dihapus dari catatan resmi, termasuk karya-karya seninya.

Nama Bachtiar sendiri dibangkitkan lagi dalam laporan “Sineas yang Dilenyapkan” oleh Majalah Tempo, pada 2015 silam. Ia adalah Sutradara Terbaik yang sempat diasingkan di Pulau Buru dan baru dibebaskan pada 1978. Bachtiar menghabiskan 12 tahun di sana. Dalam catatan Detik X, Bachtiar berkumpul dengan “ribuan tahanan politik Golongan B, seperti sutradara Basuki Effendy, dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer”.

Saat meneliti karya-karya Bachtiar, Bunga menemukan dokumen internal Perusahaan Film Negara (PFN) secara spesifik menginstruksikan penyingkiran dan pemusnahan film-film dengan muatan komunis. Meski Turang tidak diproduksi oleh PFN, iklim ketakutan dan penyensoran menyebar ke seluruh ekosistem perfilman. Banyak karya yang dimusnahkan. Turang, yang tak mengusung pesan ideologis secara eksplisit, tapi menunjukkan simpati terhadap rakyat biasa, tetap dianggap ‘terlalu kiri’.

Setelah era Orde Baru berakhir, arsip film nasional Indonesia masih tertatih-tatih. Sinematek Indonesia baru didirikan pada 1975, dua dekade setelah Turang diproduksi. Dalam rentang waktu itu, nasib banyak film bergantung pada kolektor layar tancap, produser independen, atau keberuntungan.

Realisme, Sinema Dunia Ketiga, dan Perlawanan dari Layar

Turang mengguncang—setidaknya buat saya pribadi—bukan cuma karena mengisahkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda, tapi juga menangkap perjuangan yang dimaknai sebagai salah satu bagian dari kehidupan sehari-hari. 

Dalam film ini, warga desa tidak melulu digambarkan siap siaga untuk angkat senjata. Mereka juga duduk-duduk santai bertetangga, sesekali gitaran dan nyanyi bersama, dan ada yang saling jatuh cinta.

Baca juga: Bayang-bayang Stigma ‘Anak PKI’ Generasi 90-an

Estetika seperti ini mengingatkan pada neorealisme Italia, gerakan sinema pasca-Perang Dunia II yang menolak glamor Hollywood dan memilih kisah rakyat jelata sebagai fokus. Seperti Bicycle Thieves (1948) atau Rome, Open City (1945), Turang menggunakan aktor lokal (95 persen pemainnya adalah warga desa Seberaya dan sekitarnya), lokasi nyata, serta dialog sederhana dan alur yang sangat dekat dengan kehidupan.

Namun pendekatan Turang tidak bisa dipahami hanya sebagai imitasi neorealisme. Film ini menggabungkan realisme dengan konteks lokal Indonesia pasca-revolusi, menampilkan karakter-karakter yang hidup dalam konflik sosial dan politik tanpa kehilangan sisi kemanusiaannya. Tipi dan ayahnya bukan simbol, mereka adalah orang-orang biasa yang dipaksa membuat pilihan-pilihan luar biasa.

Dalam konteks global, Turang adalah bagian dari arus besar Sinema Dunia Ketiga, sebuah gerakan sinema yang muncul di negara-negara pascakolonial dan menyuarakan pengalaman rakyat dalam melawan imperialisme dan ketidakadilan.

Film seperti Mandabi (1968) karya Ousmane Sembène dari Senegal dan Do Bigha Zamin (1953) karya Bimal Roy dari India mengangkat perjuangan petani, birokrasi kolonial, dan sistem sosial yang menindas. Dalam Mandabi, surat wesel dari luar negeri malah membawa bencana karena birokrasi yang kejam. Dalam Do Bigha Zamin, petani harus menjadi buruh di kota demi mempertahankan tanah leluhurnya. Film-film ini, seperti Turang, tidak menonjolkan militer sebagai pahlawan, tapi menggambarkan rakyat biasa sebagai aktor utama perjuangan.

Baca juga5 Hal Seputar Peristiwa 1965 yang Sungkan Kamu Tanyakan

Bachtiar Siagian sendiri merupakan bagian dari generasi pembuat film yang percaya bahwa sinema bisa menjadi alat untuk membangun kesadaran politik. Ia pernah membuat teater, terlibat dalam jaringan perjuangan rakyat Karo, dan mengenal teori-teori film Rusia seperti Pudovkin.

Ia bukan hanya seniman; ia adalah bagian dari sejarah kemerdekaan yang lebih kompleks dari sekadar kisah perang.

Imajinasi yang Diubah oleh Film

Pengalaman menonton Turang di tahun 2025, ketika genosida dan pendudukan Israel atas Palestina masih terjadi, kontan merombak yang selama ini saya imajinasikan sebagai ‘aksi perjuangan kemerdekaan’. 

Saat masih kecil, narasi sejarah Indonesia yang saya dapatkan datang dari buku-buku resmi terbitan pemerintah, tempat citra yang umum tergambarkan adalah tentang pahlawan sebagai ‘sosok’, lengkap dengan aksi mereka yang heroik dan segala rintangan yang berhasil dihadapi. Turang memberikan imaji lain. 

Pejuang dalam film ini bukanlah pahlawan mitologis. Mereka adalah orang-orang yang merawat luka, menghabiskan waktunya di dapur menanak nasi dan memanggang babi. Bahkan ketika perasaan bahaya konstan siap siaga di sudut kesadaran, mereka tetap punya ruang untuk jatuh cinta.

Refleksi ini mengingatkan saya pada No Other Land (2024), film dokumenter tentang perlawanan warga Palestina. 

Dalam salah satu adegan, Basel Adra menyatakan tidak bisa ikut sebuah aksi karena di hari tersebut harus bekerja sebagai tukang bangunan di kota. Dialog itu ia lontarkan cepat saja, dan dalam scene yang sederhana. Namun, hal itu cukup membuat saya terhenyak dan sadar, bahwa di balik aksi ‘perjuangan kemerdekaan’ ada orang-orang biasa; yang dalam kasus Basel, masih harus kerja untuk menyambung hidup.

Turang bukan hanya film yang diselamatkan. Ia adalah sejarah yang dibuka kembali, dengan luka, cinta, dan segala kompleksitasnya. Menontonnya bukan sekadar menyaksikan masa lalu, tapi juga membaca ulang masa kini. Sebab, dalam bayangan-bayangan hitam putih yang hidup di layar, kita melihat apa yang selama ini disembunyikan: Bahwa rakyat pun bisa bicara. Bahwa sejarah tidak hanya milik yang bersenjata, tapi juga milik yang tetap hidup di tengah penjajahan.

Hari ini, Turang kembali beredar melalui pemutaran komunitas di berbagai kota. Bunga sengaja memilih mekanisme terbuka, agar film ini tidak hanya diputar di pusat kebudayaan— yang umumnya hanya ada di kota-kota besar—tapi, juga di komunitas-komunitas kecil di berbagai penjuru Indonesia.

Bachtiar meninggal pada 19 Maret 2002. Ia dimakamkan di Kalimulya, Depok, Jawa Barat. Hari itu Bunga masih berusia 14 tahun. “Tak ada media yang menulis, tak ada yang mengingat, kecuali keluarga dan kerabat,” tulis Detik X. Buat Bunga, membangkitkan lagi Turang mungkin bukan cuma tentang menyajikannya buat penonton lebih luas, tapi juga upaya menjaga satu-satunya warisan Bachtiar, ayahnya. Kalau ada ‘warisan’ yang ditinggalkan ayahnya buat dia, kata Bunga, itu adalah kesukaannya pada film.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply