December 5, 2025
Culture Issues Opini

#MerdekainThisEconomy: Dari ‘Survival Mode’ ke ‘Survivor Mode’, Sulitnya Jadi Perempuan Penulis 

Di Indonesia, menulis fiksi adalah perlawanan. Masalahnya, pembajakan hingga sensor sejarah bikin penulis terpaksa bertahan di tengah keterbatasan.

  • August 15, 2025
  • 5 min read
  • 3446 Views
#MerdekainThisEconomy: Dari ‘Survival Mode’ ke ‘Survivor Mode’, Sulitnya Jadi Perempuan Penulis 

Menjadi penulis fiksi di Indonesia gampang-gampang susah. Itulah sebabnya warga Konoha masih menganggap menulis fiksi sebagai hobi atau kegiatan sampingan. Persaingan penulis yang terus meningkat sejalan dengan ekosistem penerbitan, yang belum mampu menopang kehidupan penulis fiksi secara penuh. 

Banyak penulis yang sebenarnya ingin produktif menulis setiap hari: Bangun pagi, menyeduh kopi, dan menyelami dunia imajiner mereka di meja kerja. Namun, impian sederhana itu sering terbentur kenyataan, enggak ada support system dari negara sama sekali. Karya mereka rentan dibajak, disebarluaskan tanpa imbalan, bahkan diintervensi atau disensor. Menulis fiksi di Indonesia pun sering berubah dari hobi menjadi perjuangan bertahan hidup. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Korupsi itu Patriarkal, Pancasila itu Emansipatoris

Salah satu tantangan terbesar adalah pembajakan karya tulis. Di Indonesia, pembajakan bukan fenomena bawah tanah atau rahasia pasar gelap. Buku-buku bajakan beredar bahkan di platform digital resmi, toko buku daring, hingga aplikasi e-commerce yang setiap hari menargetkan ponsel kita dengan iklan “gratis ongkir.” Menurut Detik.com, Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mencatat kerugian akibat pembajakan buku lebih dari Rp116,5 miliar. 

Yang lebih tragis, tindakan pemerintah untuk menindak pembajakan kerap tidak menyentuh aktor utama di rantai distribusi. Penegakan hukum lebih sering menargetkan individu kecil, yakni penjual PDF di media sosial. Sementara platform besar yang mendapat keuntungan dari algoritme pembajakan jarang tersentuh. 

Dengan kata lain, hak cipta penulis sering menjadi konsep abstrak. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memang melindungi karya, tetapi penegakannya lemah, koordinasinya kusut, dan budaya toleransi terhadap pencurian intelektual tetap ada, dengan alasan harga buku mahal atau akses literatur terbatas. 

Pemerintah mungkin akan bilang, “Kami sedang memperbaiki ekosistem kreatif.” Namun, ekosistem itu sering dimaknai sebagai festival, lomba menulis, atau lomba membuat cover buku. Di balik gemerlap acara, karya penulis tetap disebar gratis dan dibaca tanpa imbalan. Dalam kondisi seperti ini, mimpi penulis untuk hidup dari menulis tetap menjadi hobi atau selingan, karena hukum ekonomi tidak berpihak. 

Tantangan tidak berhenti di situ. Selain kurangnya perlindungan hukum, negara juga hadir untuk mengatur isi kepala para penulis. Revisi buku sejarah, penghapusan bab tertentu, atau penyisipan narasi “lebih selaras” dengan agenda politik bukanlah fenomena baru. 

Pada 2025, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengusulkan “penyempurnaan kurikulum literasi sejarah” yang memicu protes akademisi dan sastrawan. Usulan itu mencakup penghilangan beberapa catatan kelam negara demi “membangun optimisme generasi muda.” Optimisme, rupanya, didefinisikan sebagai ingatan yang dipotong-potong, membuat narasi sejarah jadi asimetris. 

Bagi penulis fiksi, ini serius. Dunia gagasan tidak lahir di ruang hampa; fiksi sering bersandar pada sejarah, fakta, dan realitas yang pernah terjadi. Jika fakta direduksi atau dihaluskan demi kepentingan tertentu, fiksi kehilangan pijakan kebenaran. Novelis mungkin tidak menulis buku pelajaran sejarah, tetapi karya mereka menjadi arsip emosi dan memori kolektif bangsa. Arsip itu tidak boleh diintervensi oleh sensor yang membungkus diri dengan kata “moral” atau “kesatuan bangsa.” 

Ironisnya, negara kerap mengajak pekerja kreatif “membangun narasi positif tentang Indonesia”. Mereka tak menyadari narasi positif bukan berarti bebas dari kritik. Narasi positif adalah ketika rakyat punya ruang untuk berkata jujur, bahkan jika jujur itu menyakitkan.  

Namun di negeri ini, jujur sering dianggap “tidak punya adab.” Maka lahirlah paradoks: Penulis diundang mempromosikan budaya atau pariwisata, tetapi dibungkam ketika karyanya menyentuh luka sejarah. Mereka diminta mengangkat nama bangsa, tetapi harus menutup mata terhadap pembajakan yang meruntuhkan kehidupan mereka. 

Kondisi ini semakin kompleks di era industri kreatif digital dan Revolusi Industri 4.0. Bahkan Era Industri 5.0, yang menekankan kolaborasi manusia dan teknologi. Teknologi memungkinkan karya tersebar luas, tetapi pengakuan ekonomi bagi penulis hampir tidak ada. Potensi kerugian akibat pembajakan buku mencapai puncaknya tahun ini, menggerus penghasilan penulis sekaligus mematikan insentif penerbit untuk berinvestasi pada karya baru. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Dear Sri Mulyani, Semoga di Kehidupan Selanjutnya Anda Jadi Anak Guru

Omong-Omon Ekonomi Kreatif 

Negara sering menyebut “ekonomi kreatif” sebagai masa depan. Namun, ekonomi kreatif tanpa perlindungan hukum tegas hanyalah istilah indah untuk “eksploitasi.” Bagi penulis yang mimpinya sederhana, jalan keluarnya sering getir: Menjadi penulis paruh waktu sambil bekerja penuh waktu di bidang yang sama sekali tak ada hubungannya dengan fiksi. Menulis menjadi hobi, bukan profesi; bakat menjadi catatan kaki di CV. 

Di sinilah satirnya. Negara mengeklaim menghargai karya anak bangsa, tetapi membiarkan karya itu disebar gratis di kanal ilegal. Kementerian menyelenggarakan workshop literasi digital, tetapi jarang menutup situs pembajakan besar yang domainnya diperpanjang tiap tahun. 

Mimpi hidup dari menulis mungkin tetap ada, tetapi hanya sebagai mimpi, bukan rencana hidup. Penulis terus menulis bukan karena negara melindunginya, tetapi karena menulis adalah bentuk perlawanan sunyi alias melawan lupa, manipulasi narasi, fakta bahwa kata-kata bisa dicuri tanpa rasa bersalah. 

Jawabannya sederhana ketika masyarakat bertanya, “Mengapa masih menulis?” Karena satu-satunya hal yang benar-benar merdeka adalah pikiran. Meski terus diintai, disensor, dan dibajak, pikiran tetap wilayah terakhir yang belum sepenuhnya dijajah. 

Di meja kayu yang sama, mimpi itu tetap ada. Kopi mungkin sudah dingin, naskah belum selesai, tetapi penulis tetap menulis. Karena di tengah ekonomi yang tak berpihak, ada satu hal yang tak bisa dicuri: Keyakinan bahwa cerita jujur dan utuh akan menemukan jalannya sendiri. 

Baca juga: #MerdekainThisEconomy: Pesan untuk Putraku: Merdekalah dari Negaramu

Menulis fiksi di negeri ini lama berada di posisi survival mode, yang sekadar mempertahankan nyala gagasan di tengah keterbatasan perlindungan hukum dan ekonomi. Namun kini saatnya pindah ke survivor mode. Maksudnya, mengubah daya bertahan menjadi tindakan tegas, termasuk dengan menuntut hak, menolak pembajakan, dan menjaga integritas karya dari intervensi yang mereduksi kebenaran. 

Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi momentum untuk mengingat, kemerdekaan bukan hanya tentang batas wilayah atau simbol negara, tetapi juga tentang kebebasan dan keamanan bagi pekerja kreatif untuk berkarya. Tanpa jaminan hak cipta dan ruang gagasan yang utuh, kemerdekaan tetap sekadar slogan, bukan kenyataan. 

Dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI 2025, Magdalene meluncurkan series artikel #MerdekainThisEconomy dari berbagai POV penulis WNI. Baca artikel lain di sini. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Foggy FF

Foggy FF adalah novelis dan cerpenis, aktif berkampanye tentang isu kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan.