Dari Fiksi yang Bicara Kebenaran ke Sejarah yang Dijadikan Fiksi

Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Kalimat ikonis sastrawan Seno Gumira Ajidarma ini sekaligus menjadi judul bukunya yang terbit pada 1997, menggambarkan peran fiksi dalam mengungkap kebenaran di tengah represi Orde Baru. Seno, berikut penulis-penulis lain, menghadirkan hal-hal yang tidak mudah dituliskan wartawan tanpa risiko, termasuk soal penembak misterius (petrus), militerisme termasuk di Timor Timur, dan nasionalisme semu.
Pada 1998, Seno merilis cerita pendek “Clara Atawa Wanita yang Diperkosa”, tentang seorang perempuan Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan massal di tengah kerusuhan. Dalam salah satu bagian paling menyayat hati, sang ayah menulis surat kepada putrinya: “Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.”
Clara bukan tokoh nyata, tapi representasi dari banyak yang tidak bisa bersuara.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut pemerkosaan 98 hanya “cerita”. Keyakinannya mutlak, bahkan mengajak berdebat bagi yang menolak. Dengan enteng, ia berkata: “Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di buku sejarah?”
Ucapan ini mencerminkan bukan hanya penyangkalan, tapi pengingkaran tanggung jawab sejarah. Fadli lupa, atau pura-pura lupa, bahwa saat Reformasi ia sendiri bersuara lantang. Kini, ia justru menolak mengakui bagian paling kelam dari sejarah yang ikut ia saksikan.
Baca juga: Dear Menteri Fadli Zon, Empati Bukan Opsional bagi Korban Kekerasan Seksual
Penyangkalan fakta sejarah
Pada 15 Juli 1998, Presiden B.J. Habibie secara resmi mengutuk kekerasan dalam kerusuhan Mei, termasuk kekerasan terhadap perempuan. Pernyataan ini keluar karena tekanan publik, khususnya dari Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Gerakan ini mendesak pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), yang hasil kerjanya dipublikasikan pada 1999.
Hasilnya gamblang: 52 perempuan mengalami pemerkosaan; 14 mengalami pemerkosaan disertai penganiayaan; 10 mengalami penyerangan seksual, dan 9 menjadi korban pelecehan seksual.
Namun angka ini jauh dari representasi keseluruhan. Banyak korban memilih diam karena trauma, rasa malu, atau takut distigma. Apalagi sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa, kelompok yang dalam konstruksi sosial saat itu diposisikan sebagai “liyan”, bukan bagian dari “kita”.
Kekerasan juga tak hanya terjadi di Jakarta, tetapi menyebar ke Medan dan Solo. TGPF bahkan menemukan indikasi keterlibatan aparat keamanan sebagai provokator, termasuk oknum berbaret merah di Solo. Mereka merekomendasikan penyelidikan lebih lanjut, perlindungan bagi korban dan saksi, serta pemberian kompensasi.
Penting untuk dipahami bahwa pemerkosaan massal Mei 98 bukan sekadar tindak kriminal. Ia adalah bagian dari strategi politik kekuasaan yang membiarkan kekerasan sebagai alat pengalihan. Saat ekonomi ambruk dan tuntutan pengunduran diri Soeharto menguat, sentimen rasial sengaja dibakar. Tubuh perempuan, terutama yang beretnis Tionghoa, dijadikan sasaran dan simbol untuk dilukai, baik sebagai pelampiasan amarah maupun instrumen teror.
Baca juga: Ita Fatia Nadia: Lawan Penghapusan Sejarah Perempuan dan Pelanggaran HAM
Sejarah bernada positif dan hilangnya suara perempuan
Kini, Fadli Zon menyebut bahwa sejarah harus ditulis dengan “nada positif”. Sejarah, katanya, tak perlu menyingkap luka, cukup merayakan pencapaian. Tapi dalam sejarah yang dipenuhi euforia nasionalisme dan keberhasilan pembangunan, di manakah tempat bagi suara korban?
Fadli Zon menyebut bahwa sejarah harus ditulis dengan “nada positif”—tidak perlu membongkar luka, cukup merayakan pencapaian. Tapi dalam sejarah yang sarat euforia nasionalisme dan keberhasilan pembangunan, di mana tempat bagi suara korban?
Sejarah Indonesia terlalu maskulin, di mana pahlawan laki-laki diagungkan, sementara kontribusi perempuan kerap disingkirkan ke pinggiran. Kongres Pemuda dikenang dengan khidmat, sedangkan Kongres Perempuan nyaris terlupakan. Gerwani lebih dikenal lewat propaganda sadis “penyilet kemaluan jenderal” ketimbang perjuangannya membangun kesadaran politik perempuan.
Baca juga: 6 Pelanggaran HAM Berat yang Dihilangkan dari Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Jika penulisan ulang sejarah tetap mengabaikan tragedi pemerkosaan Mei 1998, itu bukan sekadar penghapusan sejarah perempuan melainkan juga pengukuhan impunitas. Bagaimana negara bisa mengklaim melindungi perempuan jika peristiwa sebesar itu saja dianggap “tak pernah ada”?
Lebih dari itu, kita melihat bagaimana ingatan kolektif bangsa dibentuk sesuai kepentingan politik. Ketika kenyataan terlalu mencoreng wajah negara, yang dihapus bukanlah pelakunya, melainkan catatannya.
Barangkali Fadli Zon perlu membaca ulang sejarah dari sudut yang lebih jujur. Buku seperti Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian karya Cora Vreede-de Stuers atau Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia karya Saskia E. Wieringa bisa membantunya memahami bahwa historiografi tak seharusnya jadi alat kekuasaan. Selama kiprah perempuan masih dianggap pelengkap, jangan harap tragedi yang menimpa mereka akan masuk dalam narasi resmi sejarah bangsa.
Padahal pengakuan terhadap pemerkosaan Mei 98 bukan soal membuka luka lama, tapi soal memastikan agar luka yang sama tak kembali terjadi. Hanya dengan kejujuran kita bisa merawat kemanusiaan. Dan hanya dengan sejarah yang jujur, bangsa bisa dibangun di atas fondasi keadilan.
Jika dulu fiksi menjadi alat untuk menyuarakan kebenaran saat jurnalisme dibungkam, kini sejarah justru dijadikan fiksi oleh mereka yang berkuasa. Sebagaimana dikisahkan Seno dalam “Clara”, ada orang-orang yang tugasnya “menyulap kenyataan pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif––pokoknya selalu sesuai dengan kebutuhan”.
Mukhtar Abdullah sehari-hari berkuliah di UNJ. Di luar rutinitas kampus, ia aktif di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) di Departemen Pendidikan. Sedikit banyak gemar membaca sejarah dan jalan-jalan keliling museum.
